Gugatan atas peran agama
“Tak percaya Tuhan bukan alasan mengamputasi bagian dari kemanusiaan kita-terutama bukan bagian yang itu ! Melepaskan agama bukan melupakan sinyalemen ditinggalkannya kehidupan spiritual seseorang”
“Bisakah kita hidup tanpa agama?” Pertanyaan “lancang” ini keluar dari mulut Andre Comte-Sponville dalam pembukaan karyanya, The Little Book of Atheist Spirituality. The Little sudah diterjemahkan dalam 14 bahasa di 14 negara. Penerbit Pustaka Alvabet di Indonesia memilihkan judul cukup memikat : Spiritualitas Tanpa Tuhan.
Lahir di Maret 1952 di Paris Prancis, Andre dikenal sebagai pemikir ateis, tapi pendukung nlai-nilai spiritualisme. Profesor Filsafat Sorbone yang dulunya penganut Katolik taat ini menyatakan ketidakpercayaan pada Tuhan tak menghalangi Andre memiliki ruh, tak pula harus melepaskan dari keharusan menggunakannya. Ruh manusia, katanya, terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada para pendeta, mullah, atau para spiritualis.
“Tak percaya Tuhan bukan alasan megamputasi bagian dari kemanusiaan kita terutama bukan bagian yang itu ! Melepaskan agama bukan melupakan sinyalemen ditinggalkannya kehidupan spiritualitas seseorang,” tandas Andre.
Ruh bangian termula atau bahkan fungsi tertinggi dari diri kita sesuatu yang membuat kita bukan hanya berbeda dari binatang-binatang lainnya. Makhluk dalam kategori binatang ini lebih hebat dan lebih unggul dari mereka. “Manusia adalah binatang metafisik,” kata filofof Jerman Arthur Achopenhauer seperti dikutip Andre. Manusia, binatang spiritual.
Andre juga berkeyakinan manusia mungkin bisa hidup tanpa agama, tapi tak bisa tanpa komune, ketaatan, atau cinta. Dengan lugas dinyatakan, manusia tidak bisa hidup tanpa spiritualitas.
Spiritualitas menurut Andre sebetulnya bisa dipisah dari konsep agama dan Tuhan. Dan itu tak mereduksi hakikat kehidupan spiritual sebenarnya. Meski begitu, mereka yang kritis pada agama, bahkan mengklaim ateis, menurut Andre tak perlu menolak nilai-nilai dan tradisi-tradisi kuno semisal Islam, Kristen, dan Yahudi. Agama-agama ini bagian dari warisan kita. Dengan nilai-nilainya seseorang bisa mempertanyakan siginikansinya bagi kebutuhan manusia berhubungan satu dengan lainnya dan alam semesta.
Pandangan Andre ini dikenal dengan paham deisme. Asalnya dari kata deus, bahasa latin berarti Tuhan. Menurut paham deisme, Tuhan berada jauh dari luar alam. Bagi penganutnya, agama-agama formal (organized religions) dinilai menyempitkan universalitas ajaran Tuhan. Untuk menyelamatkan keluhuran dan universalitas ajaran Tuhan, menurut logika mereka bentuk formal agama yang lebih berfungsi sebagai tembok-tembok pemisah harus dirobohkan. Yang dilestarikan hanya dimensi etis agama. Dengan begitu, ajaran tersebut berlaku bagi siapa saja, di mana saja dan kapan saja.
Tokoh lain yang dikenal inisiator gerakan ini adalah Thomas Jefferson, misalnya, secara tegas beriman kepada Tuhan (deisme), kepada kemaha-Esa-an Tuhan (unitarianisme), dan kepada Kebenaran Universal (Universalisme). Tapi, ia merasa tak merasa perlu mengikat diri pada salah satu agama formal. Jefferson meramalkan pahamnya kelak menjadi agama seluruh umat manusia. Dalam dua ratus tahun diyakininya akan menggeser agama-agama formal yang ada.
Deisme lahir sebagai gugatan terhadap peran lembaga agama. Dalam dunia yang kian sekuler, agama dianggap tak lagi sanggup mengisi kekosongan dan kebutuhan spiritual umat. Sebaliknya agama justru dianggap membawa perpecahan, pemicu konflik, kekerasan, bahkan pertumpahan darah.
Masalah-masalah mendasar manusia masa kini seperti kesehatan, perumahan, kehidupan berbangsa, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, perdamaian dan seterusnya dianggap lebih bisa diselesaikan ilmu pengetahuan dan ideologi. Keduanya berkembang otonom dan tak lagi memerlukan bantuan lembaga agama.
Gugatan atas agama formal muncul dalam dunia di mana pengetahuan dan filsafat menguat. Keduanya dinilai lebih gampang dicerna nalar saat menjawab persoalan hidup. Institusi agama, justru lebih domatis dan kadangkala irasional.
Sikap kritis tajam, bahkan penuh gugatan atas peran agama sebetulnya sudah berkembang sejak masa Yunani kuno. Fenomenanya makin terlihat jelas di masa renaisans atau pencerahan. Wibawa gereja dan lembaga formal agama ketika itu menurun, wacana filosofis tentang agama dan Tuhan maju amat pesat. Ini benar-benar menggeser dominasi wacana teologis yang sebelumnya berpusat di gereja. Apalagi situasi masyarakat beragama saat itu diwarnai pertentangan dan peperangan.
Meski begitu, pandangan dan keyakinan ini tak luput pula dari kritik dan penentangan. Di Indonesia, salah satunya Nurcholish Madjid. Pendiri Pusat Studi Islam Paramadina ini menilai ramalan itu tak sepenuhnya benar. Pengaruh agama-agama formal, sejarah kelahirannya hingga sekarang yang menyusut, apalagi lenyap.
Yahudi Kristen, dan Islam misalnya mampu bertahan, bahkan berkembang di berbagai belahan dunia. Yahudi masih setia dianut orang Israel. Nasrani masih kokoh di Barat (Eropa dan Amerika), meski pertumbuhan gereja tak sepesat kurun-kurun sebelumnya Islam, dilihat dari perkembangannya, bahkan mampu melampaui Yahudi dan Kristen. Tak hanya bertahan kuat di Asia dan Timur Tengah, Islam tumbuh di Eropa dan Amerika. Pertumbuhan rumah ibadah, musala dan masjid, makin mudah dijumpai di negara-negara barat yang sekuler.
Tugas berat dari tokoh dan pemeluk agama-agama formal menekuk pandangan kritis deisme tentu dengan bukti. Mereka harus membuktikan apa yang diramalkan dan diyakini pendukung deisme tak seluruhnya benar. Mereka harus bekerja keras menampilkan wajah agama yang penuh keramahan dan cinta, bukan sebaliknya. Ini tugas berat!.