Teologi pembebasan dalam Islam
Teologi pembebasan dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Teologi ini tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan kaya ketika berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata lain, teologi pembebasan establishment (anti kemapanan), baik kemapanan agama maupun politik. Teologi pembebasan memainkan peran dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata ideologi yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. Selain itu, teologi pembebasan juga tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah Islam, tetapi juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri. Teologi ini sebenarnya mendorong pengembangan praksis Islam sebagai hasil dari tawar-menawar antara pembebasan manusia dan takdir – teologi pembebasan lebih menganggap keduanya sebagai pelengkap daripada sebagai konsep yang berlawanan.
Konsep
Sebagian masyarakat memiliki pemahaman bahwa teologi tidak memberikan kebebasan kepada manusia serta bersifat spasio-temporal, padahal dalam pengertian metafisika dan di luar proses sejarah, teologi memberikan ruang yang bebas kepada manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan jika pembicaraan dalam teologi penuh dengan ketidakjelasan metafika dan masalah-masalah yang abstrak. Karakteristik teologi seperti ini telah memperkuat kemapanan dan mengakibatkan para teolog berpihak kepada status quo. Orang-orang sampai beranggapan jika teologi semakin tidak jelas secara metafisika, cenderung akan semakin memperkuat status quo. Sejauh ini, sejarah perkembangan teologi justru menguatkan anggapan tersebut.
Apabila agama masih ingin mendapat tempat di hati kelompok yang tertindas dan lemah – pemeluknya sebagian besar berasal dari kelompok ini – perlu dikembangkan teologi pembebasan. Karl Marx mengatakan agama itu candu bagi masyarakat, tetapi harus dipahami bahwa pernyataan ini bukan semata-mata menyalahkan agama, seperti yang disangka banyak orang. Dia menganggap agama justru digunakan untuk melenggangkan kemapanan dan tidak membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat. Jika agama dijadikan sebagai alat perubahan, harus menjadi senjata yang ampuh bagi kelompok masyarakat yang dieksploitasi. Agama tradisional jika diformulasikan dalam teologi pembebasan dapat memainkan peran sentral sebagai praksis revolusioner, dibandingkan agama yang hanya berupa upacara-upacara ritual yang tidak bermakna. Agama dalam bentuk tradisional hanyalah sebuah ilusi, tetapi jika ditampilkan dalam bentuk yang membebaskan dapat menjadi salah satu kekuatan.
Tindakan yang dilakukan oleh Friedrich Engels kepada Thomas Müntzer (seorang pendeta revolusioner yang menyingkir dari Martin Luther dan mendukung raja Jerman) mungkin dapat dibenarkan. Engels menulis sebagai berikut.
Doktrin politik Müntzer selaras dengan konsep keberagamannya, dan sebagaimana teologinya yang melampaui konsepsi yang saat itu sedang berlaku, doktrin politiknya juga terlalu maju untuk ukuran kondisi sosial dan politik waktu itu. Filsafat agama yang dikembangkannya lebih dekat dengan ateisme, sedangkan kebijakan politiknya lebih dekat dengan komunisme; sehingga sampai malam hari terjadinya Revolusi Februari pada abad ke-19 ada lebih dari satu sekte komunis modern yang konsep teoretisnya tidak sematang konsep yang digagas oleh Müntzer.
Engels dalam kutipan tersebut menggambarkan bahwa teologi Müntzer lebih modern daripada teologi kaum komunis. Dia juga mengatakan bahwa khotbah-khotbah yang disampaikan oleh Müntzer menunjukkan sifat militan, sehingga agama mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi kekuatan yang revolusioner dan militan pula.
Semasa nabi masih hidup dan beberapa dekade sesudahnya, Islam menjadi kekuatan yang revolusioner. Para sejarawan membuktikan bahwa nabi sebagai utusan Allah menggulirkan tantangan yang membahayakan saudagar-saudagar kaya di Mekah. Saudagar-saudagar ini berasal dari suku yang berkuasa di Mekah, yaitu suku Quraisy. Mereka menyombongkan diri dan mabuk dengan kekuasaan. Mereka melanggar norma-norma kesukuan dan betul-betul tidak menghargai fakir miskin. Orang-orang miskin dan tertindas di Mekah inilah, termasuk para budak, yang pertama-tama mengikuti Nabi Muhammad SAW ketika beliau mulai menyebarkan ajaran suci Islam. Nabi sendiri seorang yatim piatu dan berasal dari keluarga miskin tetapi terhormat dari suku Quraisy.
Nabi melalui dakwahnya menyeru kepada saudagar-saudagar kaya Mekah dengan kalimat yang pasti. Al Qur’an menyebutkan, “Mereka mengumpulkan kekayaan dengan menimbunnya, mereka mengira kekayaannya akan mengekalkannya. Sama sekali tidak! Mereka akan dilontarkan ke dalam Huthamah. Apakah Huthamah itu ? yaitu api yang dinyalakan Allah...( Al Qur’an, 104). Juga di dalam surat 102 disebutkan bahwa, “Perlombaan menimbun harta menjadi kamu lalai, sampai kamu masuk ke liang kubur. Tapi tidak, kamu akan tahu...! Kemudian pada hari iu kamu akan ditanyai tentang kenikmatan-kenikmatan duniawi”.
Pada saat itu, Al Qur’an tidak dapat langsung menghapuskan perbudakan secara keseluruhan, dan ini dapat kita pahami. Yang jelas, Al Qur’an bukan saja membangkitkan emansipasi para budak, tetapi juga menghargai mereka dalam masalah agama dengan menempatkan mereka sederajat di sisi pemeluk Islam lainnya. Bahkan Al Qur’an menganjurkan pernikahan antara gadis-gadis yang masih menjadi budak dengan laki-laki biasa, dan sebaliknya. Salah satu sahabat terdekat nabi, Bilal, adalah seorang negro. Dia ditunjuk oleh nabi untuk menjadi muazzin. Waktu itu suara adzan merupakan panggilan untuk melakukan perubahan secara revolusioner. Selanjutnya, di sini saya akan mengutip sebuah tulisan Raif Khoury yang begitu menggetarkan. Raif Khoury ini seorang Kristen pengikut Marx yang berasal dari Libanon, ungkapnya:
Betapa kita sering mendengar suara adzan dari menara di kota-kota Arab yang abadi ini: Allahu Akbar! Allahu Akbar! Betapa sering kita membaca atau mendengar Bilal, seorang keturunan Abyssinian, mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya sehingga menggema di jazirah Arab, ketika nabi mulai berdakwah dan menghadapi penganiayaan serta hinaan dari orang-orang yang terbelakang dan bodoh. Suara Bilal merupakan sebuah panggilan seruan untuk memulai perjuangan dalam rangka mengakhiri sejarah buruk bangsa Arab dan menyongsong matahari yang terbit di pagi hari yang cerah. Namun, apakah kalian sudah merenungkan apa yang dimaksud dan apa isi dari pada panggilan itu? Apakah setiap mendengarkan panggilan suci itu, kamu ingat bahwa Allahu Akbar bermakna (dalam bahasa yang tegas), berilah sanksi kepada para lintah darat yang tamak itu! Tariklah pajak dari mereka yang menumpuk-numpuk kekayaan! Sitalah kekayaan para tukang monopoli yang mendapatkan kekayaan dengan cara mencuri! Sediakanlah makanan untuk rakyat banyak. Bukalah pintu pendidikan lebar-lebar dan majukan kaum wanita! Hancurkan cecunguk-cecunguk yang membodohkan dan memecah-belah umat. Carilah ilmu sampai ke negeri Cina (bukan hanya Cina zaman dahulu, tetapi juga sekarang). Berikan kebebasan, bentuklah majelis syura yang mandiri dan biarkan demokrasi yang sebenar-benarnya bersinar! (Raif Khoury, at tharah al –qawmi al-‘arabi, nahnu humatu-h wa mukammiluuh, at-Tariq Editions, Beirut, 1942:7, Cf., Maxime Radison, Marxisme and the Muslim World, London, 1979:51).
Semua yang ditulis raif Khoury tadi benar, serta didukung oleh Al Qur’an dan Hadits. Orang yang menumpuk-numpuk kekayaan sangat dicela oleh Al Qur’an sebagaimana disebutkan di atas. Al Qur’an mengajarkan bahwa orang yang berlebih atau yang telah mampu mencukupi kebutuhan pokoknya harus memberikan sebagian hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan. “Mereka menanyakan kepadamu, seberapa banyak harta yang harus diberikan kepada orang lain. Jawablah: Kelebihan dari kekuranganmu” (Al Qur’an, 2:219). Orang-orang yang menyimpan emas dan perak diperingatkan dengan keras di dalam Al Qur’an. “Mereka yang menimbun emas dan perak, dan tiada menafkahkannya di jalan Allah, beritahulah mereka tentang siksaan yang pedih dan manyakitkan” (Al Qur’an, 9:34).