Kepayang

pohon penghasil bahan bumbu masak
Kepayang/keluak
Keluak yang siap dipasarkan.
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Divisi:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
P. edule
Nama binomial
Pangium edule

Kepayang atau keluak (Pangium edule Reinw. ex Blume; suku Achariaceae, dulu dimasukkan dalam Flacourtiaceae) adalah pohon yang tumbuh liar atau setengah liar penghasil bahan bumbu masak sejumlah masakan Nusantara, seperti rawon. Orang Sunda menyebutnya picung atau pucung, orang Jawa menyebutnya pucung, kluwak, atau kluwek, dan di Toraja disebut pamarrasan.

Biji keluak dipakai sebagai bumbu dapur masakan Indonesia yang memberi warna coklat kehitaman pada rawon, daging bumbu keluak, brongkos, serta sup konro. Zat warna tersebut dapat menjadi pengganti pewarna sintesis seperti Chocolate Brown FH dan Chocolate Brown HT. Selain itu, bijinya juga memiliki salut biji yang bisa dimanfaatkan. Tetapi ketika mentah sangat beracun karena mengandung asam sianida dalam konsentrasi tinggi. Bila dimakan dalam jumlah tertentu dapat menyebabkan mabuk.

Racun pada biji kepayang dapat digunakan sebagai racun untuk mata panah. Bijinya aman diolah untuk makanan bila telah direbus dan direndam terlebih dahulu. Untuk memunculkan warna hitam, biji yang telah direbus dan direndam akan dipendam dalam tanah (setelah dibungkus daun pisang) selama beberapa hari.

Disamping asam sianida, terdapat pula beberapa zat yang tergandung dalam keluak, seperti asam hidnokarpat, asam khaulmograt, asam glorat, dan tanin.[1]

Kayu tanaman ini juga bernilai ekonomi, dengan berat jenis 450-1000 kg.m-3.

Ungkapan "mabuk kepayang" dalam bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia digunakan untuk menggambarkan keadaan seseorang yang sedang jatuh cinta sehingga tidak mampu berpikir secara logis, seakan-akan habis memakan kepayang.

Pranala luar