Niat jahat genosida

Revisi sejak 18 Juli 2021 03.25 oleh Annisa Rizkia (bicara | kontrib) (edit teks)

Genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.[1] Secara bahasa genosida berasal dari dua kata “geno” dan “cidium”. Kata geno berasal dari bahasa Yunani yang artinya “ras” sedangkan kata “cidium” asal kata dari bahasa Latin yang artinya “membunuh”.[2] Suatu kejahatan yang dilakukan secara penyerangan terhadap orang lain akibat perselisihan dari etnis atau budaya sering disebut sebagai kejahatan manusia pada hukum internasional yang mengarah pada perbuatan dalam bentuk pembunuhan secara massal terhadap penyiksaan pada anggota tubuh manusia. Dalam hal ini perselisihan akan semakin meningkat dan mengarah pada suatu perbuatan yang lebih agresif dan orang yang melakukan hal tersebut akan semakin melakukannya di luar batas bahkan termasuk pada perbuatan yang berat. Golongan tindakan atau perbuatan yang berat ini merupakan pembantain besar-besaran terhadap suatu etnis tertentu yang mengakibatkan banyaknya korban dan kerugian materil ataupun immateril. Hal tersebut disebut sebagai kejahatan genosida. Kejahatan genosida yang berhubungan dengan pemusnahan etnis atau budaya dan juga termasuk pada kejahatan terhadap kelompok politik karena kelompok tersebut sulit diidentifikasi yang akan menyebabkan masalah internasional dalam suatu negara. Pengertian genosida dalam Konvensi Genosida tahun 1948, diartikan sebagai suatu tindakan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis atau agama.[3] Pandangan lain terkait dengan konsep gross violations of human rights ini diutarakan juga oleh Thomas van Boven ketika perumusan Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law (Remedy Principles and Guidelines) di tahun 2005. Menurutnya, kejahatan internasional yang terdaftar dalam Statuta Roma, yakni kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi, patut pula untuk dikategorikan sebagai suatu bentuk pelanggaran berat HAM.[4] Sementara itu, menurut Dahniar, Adwani, Mujibus salim dan Mahfud, mereka menafsirkan istilah “gross violations of human rights and fundamental freedoms” dengan menggolongkan pelanggaran HAM ke dalam 2 (dua) kategori. Adapun kategori yang dimaksud ini adalah pelanggaran HAM biasa atau “simple” dan pelanggaran HAM berat atau “gross”. Penggolongan jenis-jenis pelanggaran HAM ini sepenuhnya bergantung pada jenis dan ruang lingkup pelanggaran itu sendiri.[5] Pengertian genosida tersebut kemudian tertuang dalam statuta Internasional Criminal Court (ICC) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Kelompok bangsa dalam pengertian genosida merupakan kelompok yang mempunyai identitas yang berbeda tetapi dalam satu tanah air bersama sedangkan kelompok ras merupakan kelompok yang mempunyai ciri-ciri atau sifat-sifat secara turun temurun. Kelompok etnis sendiri merupakan kelompok yang mempunyai bahasa, kebudayaan serta tradisi yang sama secara turun temurun dan merupakan warisan bersama. Oleh karena itu dengan membunuh kelompok-kelompok tersebut termasuk dalam elemen-elemen dari kejahatan genosida. Kejahatan genosida sering dikaitkan dengan kejahatan terhadap manusia tetapi apabila dilihat secara mendalam kejahatan genosida berbeda dengan kejahatan terhadap manusia, dimana kejahatan genosida tertuju pada kelompok-kelompok seperti bangsa, ras, etnis ataupun agama sedangkan kejahatan terhadap manusia ditujukan pada warga negara dan penduduk sipil. Kemudian kejahatan genosida ini dapat melenyapkan sebagian atau keseluruhannya sedangkan kejahatan terhadap manusia tidak ada spesifikasi atau syarat dalam hal tersebut.[6]

Tindak Kejahatan Genosida Ditinjau Dalam Hukum Internasional

Pengertian genosida tersebut kemudian tertuang dalam statuta Internasional Criminal Court (ICC) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM).[7] Genosida merupakan Kejahatan Internasional (International Crimes) di mana merupakan suatu pelanggaran hukum yang berat. Kejahatan ini merupakan kejahatan yang dinilai paling serius karena melibatkan masyarakat internasional secara keseluruhan yang telah diatur dalam Mahkamah Pidana Internasional (ICC):

  1. The jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following crimes: (a) The crime of genocide; (b) Crimes against humanity; (c) War crimes; (d) The crime of aggression.
  2. The Court shall exercise jurisdiction over the crime of aggression once a provision is adopted in accordance with articles 121 and 123 defining the crime and setting out the conditions under which the Court shall exercise jurisdiction with respect to this crime. Such a provision shall be consistent with the relevant provisions of the of tCharterhe United Nations.[8]

Teori Mengenai Kejahatan Genosida

Dalam pembahasan tindak kejahatan genosida ini dalam Hukum Internasional menggunakan teori hak asasi manusia dan teori tanggungjawab negara karena genosida merupakan suatu pelanggaran HAM berat di mana negara-negara harus bertanggungjawab melindungi negaranya dari kejahatan tersebut:

  1. Teori Hak Asasi Manusia (HAM): Hak asasi manusia merupakan suatu tanggungjawab yang telah diserahkan dari negara berupa melindungi setiap hak asasi manusia dengan memperioritaskan kesamaan di depan hukum dan keadilan. Menurut Satjipto Raharjo mengatakan bahwa perlindungan hukum merupakan suatu pengayoman kepada HAM yang telah dirugikan oleh orang lain dan perlindungan tersebut diserahkan kepada masyarakat supaya bisa merasakan seluruh hak-haknya yang sudah diberikan oleh hukum.[9] Perlindungan ini berhubungan kuat dengan harkat dan martabat manusia berdasarkan pada ketentuan hukum suatu negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan hak mutlak yang dimiliki setiap manusia dan sebagai kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhinya.
  2. Teori Tanggung jawab Negara: Hukum Internasional mengenai tanggungjawab negara merupakan hukum internasional yang berdasar pada hukum kebiasaan internasional.[10] Tanggung jawab negara mempunyai hak dan kewajiban dalam melindungi setiap warga negara yang ada di luar teritorial negaranya.[11] Secara universal, tanggungjawab negara ini muncul ketika suatu negara melaksanakan hal-hal berupa mengingkari perjanjian internasional, pelanggaran terhadap kedaulatan suatu wilayah negara lain, merusak hak milik atau wilayah negara lain, melakukan kekerasan dengan menggunakan senjata kepada negara lain, merugikan perwakilan diplomatik negara lain, atau melakukan kesalahan dalam memperlakukan warga negara asing.[12] Berkenaan dengan pelanggaran HAM, tanggung jawab negara pada hakikatnya diwujudkan dalam bentuk melakukan penuntutan secara hukum terhadap para pelaku (bringing to justice the perpetrators) dan memberikan kompensansi atau ganti rugi terhadap korban pelanggaran HAM. Pertanggung jawaban atas perbuatan yang dilakukan individu tanpa melihat jabatan dan kedudukan individu tersebut. Prinsip tanggung jawab negara dan prinsip tanggung jawab pidana secara individual, sekarang ini merupakan prinsip-prinsip yang telah diakui (recognized) dalam hukum internasional.

Cara Penyelesaian Sengketa Tindak Kejahatan Genosida Secara Hukum Internasional

Metode Penyelesain Kasus di Lingkup Hukum Internasional

Setiap sengketa internasional berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) harus diselesaikan secara damai. Penyelesaian sengketa secara damai tersebut berdasarkan Pasal 33 Piagam PBB dibedakan menjadi dua, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.[13] Istilah sengketa-sengketa internasional (international disputes) mencakup bukan saja sengketa-sengketa antara negara-negara, melainkan juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan hukum internasional yakni beberapa kategori sengketa tertentu antara negara di satu pihak dan individu-individu, badan-badan korporasi serta badan-badan bukan negara di lain pihak.[14] Peran yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal dua cara penyelesaian yaitu cara penyelesaian secara damai dan perang (militer). Cara perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan dipraktekkan lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan kebijakan luar negeri negara-negara di jaman dulu.[15]

Kasus Kejahatan Genosida Terhadap Etnis Rohingnya di Barat Myanmar

Myanmar yang letaknya di kawasan Asia Tenggara, dalam sejarah dinamai dengan Burma, terkhusus di kawasan Arakan secara objektif baru terjawab oleh para sejarawan. Banyaknya kontroversi yang ditimbulkan serta distorsi dikarenakan terdapatnya pengaruh kepentingan kelompok yang kuat. Pelanggaran HAM yang terjadi beberapa bulan yang lalu berkaitan dengan Burma menjadi tranding topik di mana perbuatan diskriminasi terhadap etnis muslim minoritas yang dikenal dengan Etnis Rohingnya memiliki kesamaan juga dalam segi bahasa, agama serta etnis dari Bengali yang menetap di kawasan Chitaggong anggapan banyak yang menyatakan bahwa muslim Bengali yang terletak di Arakan bermukim pada abad-19 dan ke-20 berbarengan dengan datangnya kolonial Inggris. Dari sanalah kemudian sebutan imigran gelap disematkan pada Etnis Rohingnya akibat dari perang kemerdekaan beserta bencana topan tahun 1978 dan 1991, ada yang beranggapan Etnis Rohingnya ingin mengukuhkan status kewarganegaraan mereka sebagai etnis pribumi.

Adapun suku terbesar di antaranya Burma, Chin, Kachin, Arakan, Shan, Kayah, Mon, dan Karen di mana para akademisi dan juga pemerintah menetapkan ada 135 suku yang terdapat di Burma meski demikian tidak ada data yang menjelaskan suku minoritas terkait dengan batasan wilayah serta garis keturunannya, sedangkan presentase data kependudukan etnis di Burma, sebagai berikut:

  1. Etnis Burman sebanyak 50 juta orang atau 50-70% merupakan mayoritas;
  2. Etnis Shan 9%;
  3. Etnis Karen 7%;
  4. Serta Etnis Mon, Arakan, Chinn, Kachinn, Karenn, Rohingnya, Kayann, Cina, India, Danuu, Akhaa, Kokang, Lahuu, Nagaa, Palaung, Pao, Tavoyann, dan Waa sekitar 5%.

Dimana Etnis Rohingnya yang tinggal di Barat Myanmar tepatnya di kawasan Arakan merupakan orang muslim. PBB menjelaskan bahwa banyak Etnis Rohingnya yang menerima kekerasan dan diskriminasi termasuk kelompok minoritas yang teraniaya di dunia, dan akhirnya banyak dari etnis ini yang pindah ke tempat lebih aman seperti di kawasan Bangladesh jiran dan juga Thai Myanmar. Terdapat beberapa reaksi yang timbul dari Etnis Rohingnya yakni tetap menetap di kawasan Myanmar atau menjadi pengungsi di kawasan yang lebih aman, seperti juga telah diketahui bahwasannya kejahatan genosida ini merupakan kejahatan serius yang sifatnnya mendunia karena juga masuk ke lingkup ICC yang mana kejahatan genosida ini mengancam keberadaan suatu etnis bertujuan untuk memusnahkan etnis, agama dan juga ras pada suatu kelompok tertentu.

Efek dari diresmikannya UU tersebut salah satunya hilangnya hak belajar terhadap anak-anak keturunan Rohingnya, yang membuat banyak anak-anak Etnis Rohingnya ini tidak lagi meneruskan pendidikannya dan juga dampak tekanan ekonomi seperti perampasan rumah, tanah, pemusnahan dan pelarangan untuk melakukan perbaikan masjid sebagai tempat peribadahan, mengalami berbagai penyiksaan seperti pembunuhan, pemerkosaan, penindasaan anak-anak, di batasinya perkawinan, serta penyiksaan tanpa bicara dan juga perampasan HAM seperti penghilangan kebebasan beragama dan beribadah dengan dilakukannya pemaksaan-pemaksaan seperti pemaksaan keluar dari agama Islam dan diharuskan menganut ajaran Buddha sampai dengan penggantian masjid dengan pagoda Buddha, hilangnya kebebasan beragama. Ini tentu merupakan perbuatan yang sangat kejam yang dilakukan negeri Myanmar terhadap Etnis Rohingnya tidak hanya melakukan perbuatan yang tidak manusiawi tetapi juga menghilangkan Hak Asasi Manusia, maka dari itu harus ada tindakan cepat oleh PBB untuk menangani persoalan-persoalan serius ini agar kasus-kasus demikian tidak terjadi kembali.[16]

Upaya Penyelesaian Sengketa Antara Pemerintah Myanmar Dengan Etnis Rohingnya Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Internasional

Statuta Roma 1998 merupakan dasar bagi terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang bertujuan untuk dapat memberikan sebuah kepastian bagi para korban tindak pidana internasional berat, bahwa para pelaku tindak pidana tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya.[17] Upaya penyelesaian sengketa merupakan cara untuk suatu pengadilan dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa yang bersengketa di suatu negeri. Di dalam proses ini yaitu upaya penyelesaian sengketa yang terjadi di Negara Myanmar antara pemerintah Myanmar dengan Etnis Muslim Rohingnya. Dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pemerintah Myanmar dan Etnis Muslim Rohingnya, sesuai dengan Pasal 33 Piagam PBB terlebih dahulu sebaiknya menggunakan cara diplomasi, apabila tidak menemukan titik terang dalam permasalahan ini maka baru beralih dengan menggunakan cara hukum yakni melalui peradilan.[18]

Kejahatan Genosida dalam RUU KUHP 2019

Aspek mendasar lain yang perlu ditelusuri dalam RUU KUHP 2019 adalah ketentuan kejahatan genosida yang tertuang pada Pasal 598. Untuk itu, bagian ini didedikasikan untuk menguji ketepatan rumusan redaksi yang telah disediakan dalam ketentuan tersebut. Berbeda halnya dengan awal kelahiran pelanggaran berat HAM lainnya, secara historis praktik kejahatan genosida telah ada bahkan sebelum istilah kejahatan genosida itu diciptakan. Hal ini kemudian mendorong Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Britania Raya, mendeskripsikan kejahatan genosida sebagai suatu “kejahatan tanpa nama” atau dikenal dengan istilah “the crime without a name”.[19] Barulah melalui jerih payah advokasi yang dijalankan oleh Raphael Lemkin kepada perwakilan negara-negara anggota PBB terhadap kekejian yang dilakukan oleh rezim Nazi kepada penduduk Yahudi, kemudian melahirkan istilah yang saat ini dikenal dengan kejahatan genosida (crimes of genocide) melalui tulisannya berjudul Axis Rule in Occupied Europe pada tahun 1944.[20]

Kejahatan terhadap Kemanusiaan

Meskipun telah dikategorisasikan sebagai kejahatan yang paling mengancam umat manusia seperti genosida dan kejahatan perang, namun berdasarkan sejarah kelahirannya terdapat perbedaan mendasar antara kedua kejahatan tersebut dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida dan kejahatan perang telah terkodifikasikan dalam hukum internasional melalui suatu perjanjian internasional khusus, sementara kejahatan terhadap kemanusiaan tumbuh dan berkembang dari hukum kebiasaan internasional (customary international law).[21] Kejahatan yang disebutkan terakhir ini mempunyai sejarah yang panjang dalam peradaban umat manusia. Untuk pertama kalinya, istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” (crimes against humanity) dikembangkan sejak Deklarasi St. Petersburg (St. Petersburg Declaration) 1868.[22] Pemahaman ini dilandaskan pada kenyataan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan ancaman terbesar bagi kesejahteraan dan keselamatan umat manusia.[23] Menyongsong abad XXI, konten kejahatan terhadap kemanusiaan telah berevolusi dari yang telah dirumuskan pasca Perang Dunia II melalui Statuta dan yurisprudensi yang dimiliki oleh badan-badan peradilan internasional seperti ICTY, ICTR dan ICC.[24] Sebagai contoh, Statuta ICTY menegaskan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan yang dapat diadili hanyalah terbatas kepada suatu serangan yang terjadi dalam konteks konflik bersenjata, terlepas dari pengaturan dalam hukum kebiasaan internasional yang mengafirmasi bahwa keterkaitan dengan suatu situasi konflik bersenjata tidak diperlukan dalam mendakwakan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.[25] Adapula perbedaan lain juga ditunjukkan terkait unsur-unsur kontekstual dalam Statuta ICTR yang memerlukan suatu serangan yang bersifat diskriminatif.[26] Kedua rumusan unsur-unsur yang disebutkan di atas ini tidak ditemukan dalam Statuta Roma maupun hukum internasional pada umumnya. Pada Statuta Roma, unsur kontekstual dari kejahatan terhadap kemanusiaan terletak pada kebijakan negara atau organisasi (state or organizational policy).[27]

Referensi

  1. ^ Widiadsih, Kezia Rahmameilani (2019-12-02). "Penuntasan Pelanggaran HAM Yang Terhambat Oleh UU Pengadilan HAM Yang Perlu Direvisi". dx.doi.org. Diakses tanggal 2021-07-13. 
  2. ^ Rivanie, Syarif Saddam (2020-09-28). "Pengadilan Internasional dalam Memberantas Tindak Pidana Terorisme: Tantangan Hukum dan Politik". Sovereign: Jurnal Ilmiah Hukum. 2 (3): 15–27. doi:10.37276/sjih.v2i3.36. ISSN 2721-8244. 
  3. ^ Ariati, Nova (2020-11-28). "KEBIJAKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEJAHATAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA". Jurnal Panji Keadilan : Jurnal Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum. 2 (2): 197–218. doi:10.36085/jpk.v2i2.1177. ISSN 2622-3724. 
  4. ^ Essential Texts on Human Rights for the Police. Martinus Nijhoff Publishers. hlm. 497–506. ISBN 978-90-04-16481-9. 
  5. ^ Dahniar, Dahniar (2017-05). "Gross Violation of Human Rights in Aceh: Patterns of Violence through the Indonesian Government's Policy". IOSR Journal of Humanities and Social Science. 22 (05): 19–40. doi:10.9790/0837-2205011940. ISSN 2279-0845. 
  6. ^ Parthiana, Wayan (1981-08-02). "PERJANJIAN INTERNASIONAL TAK TERTULIS DALAM HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL". Jurnal Hukum & Pembangunan. 11 (4): 344. doi:10.21143/jhp.vol11.no4.858. ISSN 2503-1465. 
  7. ^ Parthiana, Wayan (1981-08-02). "PERJANJIAN INTERNASIONAL TAK TERTULIS DALAM HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL". Jurnal Hukum & Pembangunan. 11 (4): 344. doi:10.21143/jhp.vol11.no4.858. ISSN 2503-1465. 
  8. ^ Victor., Tsilonis, (2019). The Jurisdiction of the International Criminal Court. Springer International Publishing. ISBN 978-3-030-21526-2. OCLC 1162637746. 
  9. ^ Sujatmoko, Andrey (2016-10-20). "Hak atas Pemulihan Korban Pelanggaran Berat HAM di Indonesia dan Kaitannya dengan Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional". PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law). 3 (2). doi:10.22304/pjih.v3n2.a6. ISSN 2460-1543. 
  10. ^ Priyatno, Dwidja; Aridhayandi, M. Rendi (2018-06-07). "Resensi Buku (Book Review) Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya, 2014". Jurnal Hukum Mimbar Justitia. 2 (2): 881. doi:10.35194/jhmj.v2i2.36. ISSN 2580-0906. 
  11. ^ Sefriani, Sefriani (2011). "KETAATAN MASYARAKAT INTERNASIONAL TERHADAP HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTI FILSAFAT HUKUM". JURNAL HUKUM IUS QUIA IUSTUM. 18 (3): 405–427. doi:10.20885/iustum.vol18.iss3.art6. ISSN 0854-8498. 
  12. ^ Nugraha, Satria (2019-06-19). "Tanggung Jawab Negara dalam Penerapan Hukum Humaniter Internasional Studi Kasus Konflik Bersenjata Non-Internasional di Suriah dan Implikasinya Bagi Indonesia". Aktualita (Jurnal Hukum). 2 (1): 215–232. doi:10.29313/aktualita.v2i1.4683. ISSN 2620-9098. 
  13. ^ Gautama, Sudargo (1978-12-02). "HUKUM PERDATA INTERNASIONAL YANG HIDUP". Jurnal Hukum & Pembangunan. 8 (6): 629. doi:10.21143/jhp.vol8.no6.808. ISSN 2503-1465. 
  14. ^ Johnson, D. H. N. (1965-10). "Starke's Studies in International Law. By J. G. Starke. [London: Butterworths. 1965. 174 pp. £1 17s. 6d. net.]". International and Comparative Law Quarterly. 14 (4): 1430–1430. doi:10.1093/iclqaj/14.4.1430. ISSN 0020-5893. 
  15. ^ Puspita, Lona (2018-12-05). "MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA GATT DAN WTO DITINJAU DARI SEGI HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL". dx.doi.org. Diakses tanggal 2021-07-17. 
  16. ^ Alit Putra, Ketut; Rai Yuliartini, Ni Putu; Sudika Mangku, Dewa Gede (2020-09-21). "ANALISIS TINDAK KEJAHATAN GENOSIDA OLEH MYANMAR KEPADA ETNIS ROHINGNYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INTERNASIONAL". Jurnal Komunitas Yustisia. 1 (1): 66. doi:10.23887/jatayu.v1i1.28662. ISSN 2722-8312. 
  17. ^ Kania, Dede (2014-08-03). "PIDANA PENJARA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA". Yustisia Jurnal Hukum. 3 (2). doi:10.20961/yustisia.v3i2.11088. ISSN 2549-0907. 
  18. ^ Nugroho, Fahry (2021-06-07). "PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT TERHADAP ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL". dx.doi.org. Diakses tanggal 2021-07-13. 
  19. ^ Melson, Robert (1983-03). "Genocide: Its Political Use in the Twentieth Century. By Leo Kuper. (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1981. Pp. 255. $15.00.)". American Political Science Review. 77 (1): 243–244. doi:10.2307/1956073. ISSN 0003-0554. 
  20. ^ Herz, John H. (1945-04). "Axis Rule in Occupied Europe; Laws of Occupation, Analysis of Government, Proposals for Redress. By Raphael Lemkin. (Washington: Carnegie Endowment for International Peace. 1944. Pp. xxxvii, 674.)". American Political Science Review. 39 (2): 366–367. doi:10.2307/1949196. ISSN 0003-0554. 
  21. ^ van Schaack, Beth (2012-03-23). "Crimes against Humanity". International Law. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-979695-3. 
  22. ^ Ford, Stuart (2007). "Crimes against Humanity at the Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia: Is a Connection with Armed Conflict Required?". UCLA Pacific Basin Law Journal. 24 (2). doi:10.5070/p8242022190. ISSN 2169-7728. 
  23. ^ van Schaack, Beth (2012-03-23). "Crimes against Humanity". International Law. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-979695-3. 
  24. ^ Sadat, Leila Nadya (2013-04). "Crimes Against Humanity in the Modern Age". American Journal of International Law. 107 (2): 334–377. doi:10.5305/amerjintelaw.107.2.0334. ISSN 0002-9300. 
  25. ^ Provost, René (2009-05-05). "Amicus Curiae Brief on Joint Criminal Enterprise in the Matter of the Co-Prosecutors' Appeal of the Closing Order Against Kaing Guek Eav "Duch" Dated 8 August 2008". Criminal Law Forum. 20 (2-3): 331–351. doi:10.1007/s10609-009-9097-x. ISSN 1046-8374. 
  26. ^ "International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR): Prosecutor v. Rutaganda". International Legal Materials. 39 (3): 557–634. 2000-05. doi:10.1017/s002078290001069x. ISSN 0020-7829. 
  27. ^ St-Michel, William (2015-08-28). "Morten Bergsmo and SONG Tianying (eds),On the Proposed Crimes Against Humanity Convention". Journal of International Criminal Justice. 13 (4): 897–898. doi:10.1093/jicj/mqv047. ISSN 1478-1387.