Geriten

bangunan tradisional Batak Karo

Geriten atau Giriten adalah salah satu bangunan tradisional suku Karo. Berbentuk seperti rumah adat, tetapi lebih kecil. Geriten berdiri di atas tiang, terdiri dari dua lantai. Lantai bawah tidak berdinding, sementara lantai atas berdinding.[1]

Giriten Karo

Definisi

Menurut Samaria Ginting (1994): geriten hampir sama bentuknya dengan jambur. Geriten lebih kecil dari jambur. Ukurannya kira-kira 2,5 meter x 2,5 meter. Geriten digunakan untuk tempat menyimpan tulang-belulang orang yang telah meninggal cawir metua (lanjut usia). Dalam penjelasan lain, Hilderia Sitanggang (1991) dalam bukunya Arsitektur Tradisional Batak Karo menjelaskan, bahwa geriten merupakan bangunan lebih kecil dari jambur. Bangunan geriten digunakan untuk tempat penyimpanan tengkorak dari nenek moyang atau tulang belulang dari orang tua yang cawir metua. Pengertian cawir metua dapat kita lihat seperti penjelasan Nelly Tobing (1991) dalam bukunya berjudul  Upacara Adat Kampung Lingga. Yakni: Mate cawir metua artinya meninggal dalam usia yang sudah lanjut. Seseorang yang disebut mate cawir metua, dia sudah mempunyai banyak turunan termasuk anak, cucu, cicit bahkan buyut. Jenis kematian ini dianggap paling mulia pada budaya Karo.[2]

Makna Geriten Pada Mayarakat Karo

Pada masyarakat Karo dahulu, setelah orang meninggal, tidak langsung dimakamkan. Diadakan upacara adat kematiannya untuk menghormati jenazahnya. Jenazah dimakamkan untuk sementara. Setelah beberapa tahun lamanya, makam digali kembali untuk mengambil tulang-tulangnya dan dikumpulkan. Selanjutnya tulang-tulang atau kerangka yang sudah kering dibungkus dengan kain putih. Dimasukkan ke dalam geriten, diiringi dengan upacara yang disebut  nurun-nurun. Kerangka ditempatkan di geriten adalah kerangka penghulu (kepala kampung/kepala desa). Pada zamannya sebagai panutan (pemimpin) atau sierjabaten, misalnya: guru, penggual, penarune, dan lain sebagainya. Di samping itu orang ini harus mempunyai budi pekerti, kewibawaan, dan tingkah laku yang menjadi teladan bagi masyarakat karena akan dirayakan setiap waktu tertentu untuk mengenang jasanya semasih hidup.

Filosofi Geriten

Geriten tidak sembarang bangunan. Bagian-bagian konstruksinya sarat dengan nilai-nilai yang harus ditafsirkan kembali. Terdapat nilai moral, nilai-nilai sosial, nilai religius, dan nilai pedagogis yang patut ditiru dan digugu oleh generasi sesudahnya. Penempatan geriten tidak bisa jauh dari rumah adat. Ketika raga binasa maka roh kembali ke rumah untuk mengayomi keturunannya. Tempat tulang-belulang dimasukkan dalam Geriten tidak boleh jauh dari rohnya yang tinggal di rumah. Tulang-belulang dinaikkan ke atas merupakan suatu simbol penghargaan. Dareh jadi lau, daging jadi taneh, kesah jadi angin, buk jadi ijuk, tulan jadi batu, tendi mulih ku dibata simada tinuang (roh kembali kepada maha pencipta). Masyarakat Karo lama (sebelum menganut agama Kristen maupun non-kristen) telah paham. Dirinya bukanlah miliknya. Suatu penghabisan adalah perubahan. Asal mula, akhir dari suatu perubahan itu dan menjadi, air kembali ke air, tanah kembali ke tanah, roh kembali kepada pemilik roh. Rambut jadi ijuk, tulang jadi batu, akhir bukanlah suatu kesia-siaan, melainkan awal sesuatu yang bermanfaat demi kesejahtraan umat.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Geriten, Rumah Tulang Belulang pada Suku Karo". www.gobatak.com. 2 Desember 2010. 
  2. ^ M.Hum, Dr. Daulat Saragih (12 Mar 2016). "Geriten Bagi Masyarakat Karo". analisadaily.com. Diakses tanggal 2 Peb 2020.