Hak atas lingkungan hidup

Revisi sejak 31 Juli 2021 16.50 oleh Faza Rahma (bicara | kontrib) (Menambahkan gambar)

Hak atas lingkungan hidup sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia merupakan hak untuk hidup dan berada dalam lingkungan hidup yang baik, sehat, terlindungi serta terjaga. Dengan kata lain tiap manusia berhak hidup di lingkungan yang memungkinkan terwujudnya kehidupan yang bermartabat dan sejahtera.[1] Hak atas lingkungan hidup diatur dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 bahwa : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”[2]

Illustrasi mengenai lingkungan hidup yang sehat dan baik
Hak atas Lingkungan Hidup yang merupakan salah satu Hak Asasi Manusia

Manusia dan Lingkungan

Menurut R.F Dasman, studi lingkungan hidup sangatlah penting. Dengan mempelajari lingkungan hidup seseorang bisa mendapatkan bekal antisipatif dan preventif untuk menjembatani hubungan antara manusia dan lingkungan hidup yang baik.[3]

Manusia sebagai makhluk hidup yang bergantung pada lingkungan dapat memberikan dampak atau pengaruh serta mampu untuk mengubah keadaan lingkungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Hal yang diharapkan adalah interaksi antara manusia dengan lingkungannya dapat berjalan secara selaras dan seimbang tanpa adanya permasalahan lingkungan akibat pandangan yang salah dari manusia.[4]

Ruang Lingkup dan Cakupan Hak atas Lingkungan Hidup

Ruang lingkup hak atas lingkungan hidup tertuang dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Pasal 2 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni: “Lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yuridiksinya”.[5]

Ruang lingkup hak atas lingkungan hidup juga merujuk pada draft Declaration Of Principles In Human Rights and The Environment atau disebut sebagai rancangan deklarasi yang dibuat oleh tim U nited Nations Special Rapporteur On Human Rights And The Environment selama tiga hari pada tahun 1994. Deklarasi ini bukanlah suatu dokumen internasional yang secara formal memiliki kekuatan hukum, namun di dalamnya terdapat 27 prinsip-prinsip sebagai hak substansif atas lingkungan hidup yang telah termodifikasi dengan baik untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai hak atas lingkungan hidup.[6]

Terdapat 4 prinsip dasar konsep utama yang berlaku atas hak lingkungan hidup, yakni:

  1. Hak asasi manusia, lingkungan hidup yang baik secara ekologis, pembangunan berkelanjutan, serta perdamaian merupakan hal-hal yang saling berkaitan dan tidak terpisahkan.
  2. Setiap orang memiliki hak atas lingkungan hidup yang aman, sehat, dan baik secara ekologis, termasuk hak-hak sipil, ekonomi, politik, dan sosial.
  3. Hak non-discrimination, bahwa setiap orang harus bebas dari bentuk deskriminasi apapun terkait perbuatan dan keputusan yang dimilikinya.
  4. Setiap orang memiliki hak atas lingkungan hidup yang layak untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini dan tanpa mengurangi hak dari generasi yang akan datang, sehingga terciptanya kebutuhan yang seimbang.[7]

Sejarah Konferensi Internasional Lingkungan Hidup

Sejarah bermula dimana pesatnya penataan pembangunan yang dilakukan dari hampir semua negara setelah perang dunia II berakhir. Hal ini mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap lingkungan sehingga menyebabkan kualitas dari lingkungan hidup saat itu terus menurun. Kondisi ini diungkapkan oleh Rachel Carson dalam karyanya sebuah buku berjudul Musim semi yang sepi (Silent Spring) yang membuka mata dunia mengenai isu-isu lingkungan yang terjadi.[8]

Tingkat kepedulian lingkungan yang semakin meluas memicu perhatian Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kemudian mengagas konferensi pertama global yang diadakan di Stockholm, Swedia.[8]

Konferensi Stockholm

Pada tanggal 5 Juni 1972, Majelis PBB mengadakan konferensi pertama lingkungan global di Stockholm, Swedia sehingga disebut sebagai Konferensi Stockholm. Konferensi ini berlangsung sejak tanggal 5 – 16 Juni 1972 dan dihadiri oleh 113 delegasi dari berbagai negara serta dua kepala negara yaitu Olaf Palme dari Swedia dan Indira Gandhi dari India. Dari pertemuan ini, terjadi pembentukan Badan Lingkungan Hidup PBB (UNEP) dan bertepatan dengan hari itu 5 Juni ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia.[9]

Dari konferensi Stockholm ini, polarisasi antara kubu pro lingkungan hidup (Environmentalist) dan pro pembangunan (developmentalist) semakin meningkat. Pencarian titik temu antara pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup semakin diupayakan, sehingga berbagai pertemuan dan laporan penting terus diadakan.[9]

Salah satu laporan yang paling penting adalah laporan Bruntland (1987) yang merumuskan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dimana salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.

Hasil konferensi Stockholm

Dari konferensi Stockholm, terdapat 26 poin prinsip utama yang dihasilkan dan dituangkan dalam Stockholm Declaration menganai lingkungan dan pembangunan yakni:

  1. Hak asasi manusia harus ditegaskan, segala bentuk apharteid dan penjajahan harus dihapuskan.
  2. Sumber daya alam (SDA) harus dijaga.
  3. Kapasitas Bumi untuk menghasilkan sumber daya yang dapat diperbaharui harus dilestarikan.
  4. Satwa liar harus dijaga.
  5. Sumber daya yang tidak dapat diperbarui harus dibagi dan tidak dihabiskan.
  6. Polusi yang timbul tidak boleh melebihi kapasitas untuk membersihkan secara alami.
  7. Pencemaran laut yang merusak harus dicegah.
  8. Pembangunan dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan.
  9. Negara-negara berkembang membutuhkan bantuan
  10. Negara-negara berkembang memerlukan harga ekspor yang wajar untuk mengelola lingkungan.
  11. Kebijakan lingkungan tidak boleh menghambat pembangunan.
  12. Negara-negara berkembang memerlukan uang untuk meningkatkan pelestarian lingkungan.
  13. Perencanaan pembangunan yang berkelanjutan diperlukan.
  14. Perencanaan rasional harus menyelesaikan konflik antara lingkungan dan pembangunan.
  15. Pemukiman penduduk harus direncanakan untuk menghilangkan masalah lingkungan.
  16. Pemerintah harus merencanakan kebijakan kependudukan yang sesuai.
  17. Lembaga nasional harus merencanakan pengembangan sumber daya alam negara.
  18. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus digunakan untuk mengembangkan lingkungan.
  19. Pendidikan lingkungan sangat penting.
  20. Penelitian lingkungan harus didukung, terutama di negara berkembang.
  21. Negara boleh memanfaatkan sumber daya yang ada, tapi tidak boleh membahayakan orang lain.
  22. Kompensasi diperlukan jika ada negara yang membahayakan.
  23. Tiap negara harus menetapkan standar masing-masing.
  24. Harus ada kerjasama dalam isu internasional.
  25. Organisasi internasional harus membantu memperbaiki lingkungan.
  26. Senjata pemusnah massal harus dihilangkan.[10]

Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi)

Pada tahun 1992, Perserikatan Bangsa Bangsa mengadakan konferensi KTT Bumi yang dikenal juga sebagai konferensi PBB tentang lingkungan dan pembangunan, KTT Rio, dan Konferensi Rio. Konferensi ini merupakan salah satu konferensi utama dan terbesar Perserikatan Bangsa Bangsa yang diadakan di Rio de Jeneiro, Brasil. Saat itu, konferensi dihadiri oleh 108 kepala negara sehingga konferensi ini dinamakan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi).[11]

Setelah KTT bumi diadakan, pertemuan-pertemuan global penting yang berkaitan dengan lingkungan hidup semakin ditingkatkan. Salah satunya adalah Earth Summit yang dilaksanakan pada tahun 1997 di New York, Amerika Serikat, menghasilkan tujuan pembangunan milenium (Milenium Development Goals), KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) tahun 2002 di Johanesburg, Afrika Selatan, dan yang terakhir Rio+20 pada tahun 2012 di Rio de Jeneiro, Brasil.[11]

Hasil KTT Bumi

Hasil yang didapatkan dari KTT Bumi yaitu adanya dokumne-dokumen yang mengikat dan tidak mengikat.

Dokumen mengikat merupakan dokumen berisi kesepakatan yang mengharuskan para pihak yang ikut serta menandatangani untuk patuh dan melaksanakan kesepakatan tersebut. Sedangkan dokumen tidak mengikat merupakan dokumen berisi norma-norma yang wajib dilakukan tanpa adanya paksaan untuk melaksanakan. Dokumen-dokumen yang tidak mengikat antara lain:

  1. Agenda 21, sebuah program komprehensif pembangunan berkelanjutan.
  2. Deklarasi Rio, berisi hak dan kewajiban negara berkenaan dengan lingkungan dan pembangunan.
  3. Prinsip-prinsip hutan, berisi prinsip-prinsip untuk mengelola hutan secara lestari.
  4. Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD)
  5. Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).[12]

Perlindungan HAM atas Lingkungan Hidup

Hak asasi manusia mempunyai keterikatan langsung atas lingkungan hidup dalam memperbaiki kondisi bangsa dan negara. Hal ini dikarenakan hubungan antara manusia dan lingkungan yang memiliki ketergantungan satu sama lain. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan salah satu hak yang harus dimiliki setiap manusia. Oleh karena itu, setiap negara harus dapat menjamin dan memberikan pengaturan perlindungan terhadap lingkungan hidup agar dapat sekaligus melindungi hak asasi manusia, terutama yang berkaitan dengan masalah hak untuk hidup.[13]

Negara-negara yang banyak melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, kerap kali juga berkaitan dengan lingkungan hidup. Seperti masalah pada pencemaran lingkungan dan juga kerusakan lingkungan hidup. Hal ini muncul dari keinginan manusia untuk membangun kehidupannya sendiri tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan. Permasalahan lingkungan hidup juga menjadi permasalahan hak asasi manusia, karena keinginan tersebut didasarkan pada hak atas pembangunan. Adanya kerusakan lingkungan yang terjadi dapat mengakibatkan terganggunya lingkungan hidup sehingga hak hidup yang merupakan salah satu HAM menjadi tidak terpenuhi. Secara tidak langsung, hal ini telah melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 9 tentang HAM merupakan hubungan ketergantungan antara HAM dan lingkungan hidup, juga memberikan pengaturan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang juga sekaligus melindungi hak asasi manusia, terutama yang berkaitan dengan masalah hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan gangguan atas propertinya.[14]

Hak dan Kewajiban Masyarakat Terhadap Lingkungan

Sebagaimana dalam pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Maka setiap masyarakat dalam suatu negara memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai salah satu pengaplikasian hak asasi manusia.[2]

Hak

Hak-hak masyarakat terhadap lingkungan hidup telah diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 65, yakni:

  1. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
  2. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
  3. Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
  4. Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  5. Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.[15]

Kewajiban

Pengaturan hak atas lingkungan hidup tidak lepas dari adanya kewajiban yang harus ditaati oleh setiap masyarakat dalam suatu negara. Seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 67, bahwa : “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”.[15]

Pasal tersebut bermakna bahwa setiap orang diwajibkan untuk berperan aktif dalam melaksanakan upaya-upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup baik dilakukan dengan cara mengendalikan pencemaran ataupun mengendalikan kerusakan lingkungan hidup lainnya.

Hak maupun kewajiban manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat saling berkaitan untuk mencapai tujuan yaitu terpeliharanya fungsi lingkungan hidup yang dapat memberikan dampak baik pada setiap orang disekitarnya. [16]

Pengelolaan Lingkungan hidup

Lingkup masyarakat

Pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 telah diatur dan ditekankan mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: (a) tanggung jawab negara; (b) kelestarian dan keberlanjutan; (c) keserasian dan keseimbangan; (d) keterpaduan; (e) manfaat; (f) kehati-hatian; (g) keadilan; (h) ekoregion; (i) keanekaragaman hayati; (j) pencemar membayar; (k) partisipatif; (l) kearifan lokal; (m) tata kelola pemerintahan yang baik; dan (n) otonomi daerah.”[15]

Dalam hal ini peran masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan berbagai cara, yakni:

  1. Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
  2. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan.
  3. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat.
  4. Menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial.
  5. Mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.[16]

Lingkup kewenangan pemerintah daerah

Pemerintah daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya berupa pemberian otonomi kepada daerah dalam membangun daerahnya. Esensi otonomi daerah itu sendiri adalah kemandirian, olehnya daerah mandiri mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam rumah tangga daerah termasuk mengelola kekayaan alam yang ada pada daerah tersebut dengan bijak. Dari implementasi kebijakan otonomi daerah ini juga diharapkan mampu memnuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat sehingga terciptanya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.[13]

Pemerintah suatu negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab pelaksanaan prinsip-prinsip HAM. Maka dalam rangka pemenuhan hak-hak lingkungan hidup tersebut, negara memiliki kewajiban bertindak untuk melaksanakan atau memenuhi suatu hak tertentu dan mengharuskan negara mencapai sasaran tanpa keluar dari prinsip-prinsip hak asasi manusi itu sendiri.[3]

Pelanggaran Hak atas Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup merupakan suatu realitas yang harus dijaga, dirawat dan dikembangkan sedemikian rupa untuk menjadi suatu penunjang kebutuhan hidup manusia di masa kin dan di masa mendatang. Banyakanya pelanggaran atas hak lingkungan hidup seperti pencemaran dan kerusakan lingkungan merupakan hasil dari buah tangan manusia itu sendiri ataupun secara alami terjadi.[3] Seperti bencana lumpur panas lapindo yang terjadi di daerah Sidoarjo, Jawa Timur merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh PT. Lapindo Brantas. Adanya bencana ini berdampak pada kehidupan dan hak-hak lain dari masyarakat di daerah tersebut seperti hak atas kehidupan, hak atas kesehatan tubuh dan lingkungan, serta hak untuk bebas dari interfensi atas harta dan benda.[13]

  1. Hak Atas Kehidupan (Right to Life). Hak atas kehidupan masyarakat setempat terganggu akibat adanya kerusakan lingkungan yang juga berakibat pada ganggaun kesehatan. Luapan lumpur panas yang diakibatkan karena kelalaian manusia dalam pengeboran gas merenggut lingkungan tempat hidup yang merupakan hak mereka sendiri.
  2. Hak Atas Lingkungan yang Sehat (The Right to Healthy Environement). Luapan lumpur panas lapindo mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat hebat sehingga lingkungan yan dijadikan sebagai tempat hidup masyarakat sebelumnya tidak dapat lagi ditempati, hal ini menyebabkan masyarakat setempat kekurangan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
  3. Hak Atas Kesehatan (The Right to Healthy). Luapan lumpur panas memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan masyarakat. Polusi udara bertebaran menjadikan udara menjadi lebih panas dan berdebu. Akibatnya, kulit menjadi gatal-gatal dan saluran pernapasan terganggu bahkan infeksi.
  4. Hak untuk Bebas dari Segala Interfensi atas Harta Benda (The Right to be Free Interference of One’S Home and Property). Interfensi yang dimaksud adalah gangguan lingkungan, seperti polusi, banjir dan bencana lain yang dapat berdampak pada kehidupan sekitar. Lumpur panas Lapindo di Sidoarjo  menimbulkan interfensi dan ketidaknyaman dikarenakan bencana tersebut telah merenggut dan memusnahkan segala harta benda yang dimiliki masyarakat saat itu.[13]

Referensi

  1. ^ Fadhillah, Fajri (Desember 2018). Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat Dalam Konteks Mutu Udara Jakarta (PDF). Jakarta: ICEL. hlm. 3. 
  2. ^ a b Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia (Juli, 2017). "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak" (PDF). berkas.dpr.go.id. Diakses tanggal 15 Juli 2021. 
  3. ^ a b c Rochmani (Januari 2015). "Perlindungan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat di Era Globalisasi". Masalah-Masalah Hukum. 44 (1): 21. 
  4. ^ Rizkie Baroqah, Muhammad (Februari 2021). "Hubungan Manusia Dan Lingkungan". Researchget.net. Diakses tanggal 15 Juli 2021. 
  5. ^ Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia (19 September1997). "Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup" (PDF). http://sipongi.menlhk.go.id/. Diakses tanggal 17 Juli 2021.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  6. ^ University of Minnesota (1994). "Draft Principles On Human Rights And The Environment". http://hrlibrary.umn.edu/. Diakses tanggal 17 Juli 2021.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  7. ^ Quina, Margaretha (Juli 2012). "Pelanggaran Terhadap Hak Asasi Manusia Atas Lingkungan Hidup Oleh Perusahaan Transnasional Dalam Hukum Internasional". http://lib.ui.ac.id/. Diakses tanggal 20 Juli 2021.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  8. ^ a b Maulana Alam Kusuma, Tubagus (2015). "KTT Bumi Dan Protokol Kyotto". www.academia.edu. Diakses tanggal 20 Juli 2021. 
  9. ^ a b Jurnal Bumi (2018). "KTT Bumi". jurnal.bumi. Diakses tanggal 30 Juli 2021. 
  10. ^ The United Nations (Juni 1972). "Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment". www.ipcc.ch. Diakses tanggal 30 Juli 2021. 
  11. ^ a b Ensiklopdeia Dunia. "KTT Bumi". http://p2k.itbu.ac.id/. Diakses tanggal 31 Juli 2021.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  12. ^ Unpas. "Kajian Teori Dan Kerangka Pemikiran" (PDF). repository.unpas.ac.id/. Diakses tanggal 31 Juli 2021. 
  13. ^ a b c d Dr. Sodikin. Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat Pada Masyarakat Sidoarjo (PDF). Jakarta: Prosiding Seminar Nasional. hlm. 32. ISBN 978-602-361-036-5. 
  14. ^ DPR RI (12 Agustus 2014). "UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia". referensi.elsam.or.id. Diakses tanggal 31 Juli 2021. 
  15. ^ a b c DPR RI (2009). "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup" (PDF). jdih.esdm.go.id. Diakses tanggal 30 Juli 2021. 
  16. ^ a b Nopyandri (September 2014). "Hak Atas Lingkungan Hidup Dan Kaitannya Dengan Peran Serta Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Otonomi Daerah". Inovatif. VII (III): 34.