Penafsiran Alegoris

Revisi sejak 6 Agustus 2021 06.17 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Tanda baca setelah kode "<nowiki></ref></nowiki>"))
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Penafsiran Alegoris adalah sebuah model tafsir yang populer pada Abad pertama hingga Abad Pertengahan.[1] Pendekatan ini merupakan sebuah upaya menyingkap pesan teks Alkitab secara alegoris, yaitu dengan mencari makna di balik kata-kata yang tertulis di dalam teks.[2].Di kalangan Rabi-rabi Yahudi, model ini merupakan salah satu alternatif model tafsir, selain penafsiran literer, Midrash, dan Pesher.[3]

Philo, pelopor penafsiran alegoris untuk Alkitab

Latar Belakang

sunting

Tafsir alegoris diperkenalkan oleh orang-orang Yunani yang secara khusus dikembangkan melalui filsafat Stoa.[4][5] Pendekatan ini dinilai sebagai solusi untuk menjembatani ketegangan antara mitologi-mitologi Yunani dan perkembangan filsafat.[1] Dengan demikian, tafsiran alegori umumnya bersifat pembelaan (apologetis).[6]

Pendekatan alegoris untuk menyingkap pesan teks-teks Alkitab dipelopori oleh Philo, seorang penafsir Yahudi pada Abad Pertama.[5][4] Keberadaan teks-teks kuno, seperti Taurat dalam tradisi Yahudi dan mitologi-mitologi dalam tradisi Yunani, tidak lagi dianggap sebagai sebuah kebetulan, tetapi menyimpan pesan moral dan nilai-nilai kebenaran yang dari masa lampau.[7] Dengan pendekatan alegoris, Philo yakin pesan-pesan spiritual yang tidak dapat diungkapkan oleh teks secara harafiah dapat diungkap.[4]

Alasan Perlunya Penafsiran Alegoris

sunting

Menurut Philo, ada alasan-alasan tertentu yang membuat arti harafiah teks Alkitab harus ditolak.[8] Untuk itu, dia mendaftarkan 10 alasan mengapa teks perlu ditafsir secara alegoris:[5]

  1. Jika makna literer teks tidak mengatakan apa yang benar megenai Tuhan.
  2. Jika teks bertentangan dengan teks yang lain.
  3. Jika teks tampaknya harus ditafsir alegoris.
  4. Jka teks menampilkan kata-kata yang bermaknya ganda.
  5. Jika teks memuat pengulangan yang telah diketahui sebelumnya.
  6. Jika teks memuat penggambaran yang beragam.
  7. Jika muncul kata-kata yang sinonim.
  8. Jika ada hal-hal yang tidak normal muncul di dalam teks.
  9. Jika teks memuat permainan kata.
  10. Jika teks memuat simbol-simbol.

Perkembangan penafsiran alegoris

sunting

Kekristenan perdana yang banyak berjumpa dengan filsafat Yunani menjadikan tafsir alegoris sebagai solusi untuk memahami pesan-pesan Alkitab.[1] Secara khusus, penafsiran Alegoris diwariskan oleh gereja-gereja Barat yang memang banyak begumul dengan filsafat Yunani.[9] Contoh konkret terlihat pada zaman Patristik ketika Bapa-bapa gereja memahami bahwa Perjanjian Lama sebagai Alkitab orang Kristen harus digunakan untuk mendukung Perjanjian Baru.[5] Dengan demikian metode yang digunakan adalah metode alegoris. Secara khusus Origenes mengatakan bahwa Alkitab adalah tempat berkumpulnya alegori-alegori yang penuh dengan simbol.[5] Sama seperti manusia yang terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh maka Alkitab juga dibagi dalam tiga makna, yaitu literal (dipadankan dengan tubuh), moral (jiwa), alegoris (roh).[5] Dari ketiga tingkatan ini, menurut Origenes, Alegorislah yang paling penting.[5]

Perkembangan kemudian

sunting

Setelah Abad Pertengahan, khususnya sejak zaman Reformasi, tafsir alegoris mulai ditinggalkan.[5] Alkitab diyakini dapat menafsir dirinya sendiri (scriptura scripturae interprets).[9] Sikap reformasi ini memang tidak mematikan pendekatan terhadap Alkitab, termasuk pendekatan alegoris.[9] Akan tetapi, sikap tersebut mendorang para penafsir untuk lebih berfokus persoalan gramatika dan sejarah teks.[9]

Referensi materi

sunting
  1. ^ a b c Dianne Bergant & Robert J. Karris. 2002. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius. 21
  2. ^ (Inggris) Bernard Ramm. 1970. Protestant Biblical Interpretation. Grand Rapid: Baker. 24
  3. ^ (Inggris) Richard N. Longenecker. 1999. Biblical Exegesis in the Apostolic Period. Gran Rapid: William B. Eerdmands. 30-32
  4. ^ a b c (Inggris) R. J. Zwi Werblowsky & Geoffrey Widoger (eds.). 1997. The Oxford Dictionary of the Jewish Religion. New York: Oxford. 37-38
  5. ^ a b c d e f g h (Inggris) Henry A. Virkler. 1988. Hermeneutic: Principles and Processes of Biblical Interpretation. Grand Rapid: Baker. 52
  6. ^ (Inggris) Cecil Roth. 1959. The Standard Jewish Encyclopedia. New York: Doubleday. 78
  7. ^ (Inggris) P. R. Ackroyd & G. F. Evans. 1993. Cambrigde History of Bible: From the Beginnings to Jerome Vol. 1. 379-380
  8. ^ Robert M. Grant dan David Tracy. 1993. Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 58-69.
  9. ^ a b c d Forum Biblika: Jurnal Ilmiah Populer No. 8. Jakarta: LAI. 2