Sita harta bersama

Revisi sejak 11 Agustus 2021 16.40 oleh Atikah krsn (bicara | kontrib) (membuat artikel sita harta bersama)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

A. Pengertian

Dalam sistem hukum Indonesia, istilah sita harta bersama atau sita harta perkawinan, dapat juga disebut sita harta benda bersama suami-istri. Namun sipersingkat menjadi sita bersama. Sebutan itu memperlihatkan bahwa kedudukan setara atau equal antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Kesetaraan secara tegas dirumuskan dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.[1]

B. Tujuan Sita Harta Bersama[2]

a.       Bukan dalam hal menjamin tagihan pembayaran kepada penggugat.

b.       Bukan dalam hal menuntut penyerahan hak milik.

c.       Tujuan utama dengan membekukan harta bersama suami dan istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung.

Sehingga adaya penyitaan terhadap harta bersama maka baik penggugat ataupun tergugat dalam hal ini suami-istri dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi. [3]Hal ini bertujuan untuk melindungi kutuhan atau keberadaan harta bersama atas tindakan tidak bertanggungjawab tergugat.


C. Tindakan pengamanan yang diamantkan sita harta bersama berpedoman pada Pasal 832 Rv berdasarkan asas kepentingan beracara (process doelmatigheid). Menurut Pasal 832 Rv tindakan pengamanan meliputi:

a.       Penyegelan,

b.       Pencatatan,

c.       Penilaian harta bersama,

d.       Penyitaan harta bersama.


D. Pengaturan Sita Harta Bersama[4]

a.       Pasal 190 KUH Perdata,

Sementara perkara berjalan, dengan izin hakim, istri boleh mengadakan tindakan-tindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan.[5]

b.       Pasal 24 ayat (2) Huruf C PP No. 9 Tahun 1975,

c.       Pasal 78 Huruf c UU No. 7 Tahun 1989, dan

d.       Pasal 823 Rv.


[1] Undang-Undang tentang Perkawinan, diundangkan tanggal 2 Januari 1974, LNRI No. 3019, 1974.

[2] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika. Hlm.428-429.

[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 64.

[4] Ibid, hlm. 429-430.

[5] R. Subekti, R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Bandung, cet. 25, hlm.60.