Nama Bali

Tradisi penamaan suku Bali

Sebutan nama depan Ida Bagus adalah milik Wangsa/ klan Brahmana di kalangan suku Bali adalah Wangsa/ Klan Brahmana yg merupakan satu garis keturunan dari Brahmana yg berasal dari jaman Majapahit. Penamaan ini juga untuk mengetahui suku Bali yg datang dari Majapahit dan Suku Bali Aga/ asli Bali. Suku Bali asal Majapahit umunya adalah Wangsa/ Klan dari para Arya arya dan rohaniawan Atau Kaum dari keluarga Brahmana dan Bangsawan kerajaan Majapahit Nama orang Bali merupakan suatu budaya yang unik, karena berkaitan dengan jenis kelamin, urutan kelahiran, Wangsa/ Klan dari satu garis keturunan mereka terorganisir dgn Baik behitu juga status kebangsawanan (kasta) di Jaman dahulu. Karena masong menyandang nama dari Garis Wangsa/ Klannya. Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah mengetahui klan atau marganya dari garis keturunan leluhurnya. Ida Bagus adalah nama depan untuk klan Brahmana yg ada di Bali,Sejarah Klan Ida Bagus (Brahmana di Bali) dimulai dari datangnya seorang Brahmana Danghyang Nirartha dari Jawa. Mula – mula bertempat tinggal di Kediri, Jawa Timur. Di sini Beliau menurunkan dua orang putra yaitu Ida Ayu Swabhawa, dan Ida Kemenuh. Keturunan Ida Kemenuh menjadi Brahmana Kemenuh di Bali. Sedangkan Ida Ayu Swabhawa kemudian didharmakan di Pura Pulaki dengan nama Dewi Melanting. Dari Kediri kemudian Danghyang Nirartha pindah ke Pasuruan, di sinipun menurunkan putra – putra yaitu Ida Kuluan, Ida Wetan Ida Ler, Ida Lor. Karena ibunya dari Manuaba, maka keturunannya disebut Brahmana Manuaba. Dari Pasuruan, lalu Danghyang Nirartha pindah ke Blambangan, disinipun Danghyang Nirartha menikah dengan adik Dalem Blambangan, lalu menurunkan : Ida Istra Rai, Ida Sakti Telaga, da, Ida Kaniten. Semua keturunannya ini lalu disebut Brahmana Keniten. Setelah sampai di Bali, Danghyang Nirartha menetap di Desa Mas. Dari sinipun Danghyang Nirartha menikahi anak bendesa Mas. Dari pernikahan in Danghyang Nirartha memiliki putra : Ida Timbul, Ida Alngkajeng, Ida Penarukan, dan Ida Sigaran. Karena beribu Bendesa Manik Mas maka keturunan ini disebut Brahmana Mas, terakhir, Danghyang Nirartha juga menikahi pajroannya Putri Bendesa Mas, lalu menurunkan Ida Petapan. Dengan demikian, putra – putra Danghyang Nirartha masing – masing melekatkan identitas sendiri : Brahmana Kemenuh, brahmana Manuaba, Brahman Kaniten, Brahmana Mas, dan Brahmana Patapan. Dalam upacara karya agung di Pura Besakih, Sri Dalem Waturenggong mengundang Danghyang Angsoka. Tapi karena sudah terlalu tua, maka diutuslah putranya ke Bali, yaitu Danghyang Astapaka. Kemudian Danghyang Astapaka mewakili unsur Pandita Budha, dan akhirnya menetap di Bali. Dalam perkembangan selanjutnya, Danghyang Nirartha diangkat menjadi Nabe, sekaligus sebagai pendeta utama kerajaan Gelgel. Semenjak kedatangan dua pandita ini di Bali, maka kedudukan para empu yang tadinya sebagai purohito kerajaan mewakili unsur Siva – Budha dan Rsi Bhujangga yang mewakili unsur Waisnava diganti kedudukannya oleh mereka berdua. Dan unsur dari Bhujangga Waisnava tidak di ikut sertakan dalam hal kepanditaan dan kerohanian di dalam kerajaan. Bahkan dalam bidang kemasyarakatan Dang hyang Nirartha dengan restu Dalem membuat sturkturisasi pelapisan masyarakat di Bali. Pada mulanya masyarakat Bali menganut sistem varnasrma, lalu disusun berdasarkan wangsa, yang dalam istilah Barat (terutama Portugis) disebut kasta. Dimana keluarga dan keturunan Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka menduduki pos sebagai Brahmana Wangsa. Kesatria Wangsa di isi oleh para keluarga Dalem dan para kerabat keluarga kerajaan. Para Arya didudukkan sebagai vaisya wangsa dan dari sudra adalah mereka di luar warga tadi, dengan tidak melihat asal-usul mereka di dalamnya termasuk warga Pasek dan Bhujangga. Dimana golongan ini dikenal dengan sebutan “Wang Jaba”. Untuk meresmikan hal ini di masyarakat, struktur baru ini dimasukkan dalam lontar-lontar pedoman seperti Widhisastra Saking Nithi Danghyang Dwijendra. Namun warga Pasek yang digolongkan sudra diperkenankan menjadi pandita, hal ini karena antara keluarga Danghyang Nirartha dan keluarga Pasek masih memiliki hubungan keluarga. Kalau dilihat lagi dari asal usulnya Danghyang Nirarta adalah putra dari Danghyang Smaranatha, Danghyang Smaranatha adalah putra Mpu Tantular, Mpu Tantular adalah putra Mpu Bahula dengan Dyah Ratnamanggali, sedangkan orang tua dari Mpu Bahula adalah Mpu Bharadah dari pihak ayah. Sedangkan dari pihak ibu, Mpu Bahula adalah keturunan Mpu Kuturan. Baik Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah adalah saudara dari Mpu Gnijaya yang tidak lain adalah leluhur para Warga Pasek, jadi dapat dikatakan mereka dalah sama-sama keturunan Bhatara Hyang Pasupati yang berparahyangan di gunung Mahameru India. Walaupun demikian, para Warga Pasek pada saat diksa (inisiasi) hanya menggunakan gelar Dukuh saja. Strukturisasi masyarakat seperti ini mulai diberlakukan di Bali, akhirnya sistem wangsa ini diterapkan dalam segala kehidupan bermasyarakat di Bali. Hal ini terbukti dari pelaksanaan upacara ngaben, pengarge tirtha pengentas, surat kajang dan atribut-atribut lainnya dalam upakara. Hal ini selalu di kaitkan dengan wangsa brahmana selaku pemegang kebijakan dalam pelaksanaannya di masyarakat. Selanjutnya, sebutan pandita untuk brahmana Siwa dan Budha dari keluarga Danghyang Nirartha tidak lagi memakai istilah Danghyang atau Mpu, melainkan menggunakan istilah Pedanda. Danda bisa berarti hukum dan bisa berarti tongkat. Jadi yang dimaksud pedanda adalah pemegang hukum atau pemegang tongkat. Demikianlah akhirnya putra-putra Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka lalu disebut pedanda bagi yang telah di diksa (inisiasi). Hal lain, yang juga berlaku adalah rakyat biasa atau wang jaba/sudra tidak diperkenankan mempelajari veda, tanpa seijin dari wangsa brahmana, kalau sampai ada yang melanggar akan dikenakan hukuman berat. Selanjutnya, putra-putra Danghyang Nirartha di Bali menurunkan keturunannya masing-masing. Ida Kuluan Brahmana Manuaba menurunkan Pedanda Penida di Wanasari dan Pedanda Temban di Tembau. Pedanda Temban adalah seorang pengawi kidung Wedari Smara dan kidung Brahmana Cangupati. Pedanda Weser dan Pedanda Batulumpang. Ida Wetan berputra Pedanda Panida, Pedanda Tegal Suci di Manuaba. Pedanda Lor berputra Pedanda Mambal yang beribu dari Pasuruan. Pedanda Ler berputra Pedanda Teges beribu dari Srijati. Ida Sakti Telaga (Brahmana Kaniten) berputra Pedanda Gusti dan Pedanda Alang kajeng yang berputra Pedanda Sangsi dan Pedanda Mas. Ida Patapan berputra Ida Ketut Tabanan, Ida Kukub di Tabanan dan Ida Ngenjuk di Lombok. Pedanda Lor juga beristri putri dari I Gusti Dauh Bale Agung yang menurunkan Pedanda Buruan yang bergelar Pedanda Manuaba yang berasrama di Manuaba, Gianyar. Pedanda Sakti Manuaba beristri dari Bajangan, lalu berputra pedanda Gde Taman di Sidawa, Taman Bali, Bangli yang berasrama di bukit Buwung di Sidawa. Pedanda Bajangan berasrama di bukit Bangli. Pedanda Abian di Telaga Tawang dan Pedanda Nengah Bajangan di Bukit. Pedanda Sakti Manuaba juga beristri putri Gajah Para dari Tianyar, lalu berputra pedanda wayahan Tianyar, Pedanda Nengah Tianyar, dan Pedanda Ketut Tianyar. Sedangkan Ida Kemenuh, putra Danghyang Nirartha yang tertua dengan keturunannya disebut Brahmana Kemenuh. Keturunan Ida Kemenuh disebut juga Brahmana Kediri. Sekianlah banyaknya keturunan Danghyang Nirartha di pulau Bali dan Lombok. Di dalam masyarakat Bali masih dapat di lihat strukturisasi masyarakat yang disebut wangsa dengan ciri-ciri nama sebagai berikut : 1. Wangsa Brahmana dikenal dengan sebutan Ida Bagus dan Ida Ayu. 2. Wangsa Kesatria dapat dikenali dengan sebutan Anak Agung dan Anak Agung Ayu. 3. Wangsa Vaisya dapat dikenali dengan sebutan I Dewa, I Gusti, I Dewa Ayu, Desak, I Gusti Ayu, Ngakan dan lain-lain, 4. Sedangkan mereka yang disebut sudra atau dalam istilah Balinya dikenal dengan “Wang Jaba” dapat dikenali dengan sebutan I Gede, I Wayan, I Putu, I Made, I Nyoman, I Ketut dan lain sebagainya. Walaupun saat ini tidak seperti pada masa-masa kerajaan, namun pengaruhnya masih terasa sampai saat ini. Terutama pada saat upacara agama dan adat.

Sistem kasta

Orang Bali mengenal sistem kasta yang diwariskan dari zaman leluhur mereka, yang dahulu mengindikasikan keistimewaan peran seseorang dalam masyarakat. Meskipun kini tidak lagi diterapkan secara kaku sebagaimana pada masa lampau, dalam beberapa hal keistimewaan tersebut masih dipertahankan, misalnya dalam upacara dan perkawinan adat Bali, masih dikenal pembedaan berdasarkan garis keturunan leluhur. Sistem kasta itu pun masih dipertahankan dalam tradisi penamaan orang Bali. Orang-orang dari kasta selain sudra memiliki gelar kebangsawanan yang mengindikasikan kasta keluarga mereka, dan gelar ini diwariskan turun temurun sekadar pengingat keistimewaan leluhur, meskipun mereka tidak lagi menjabat profesi sesuai kasta mereka dalam masyarakat.[1]

  • Keturunan dari kasta brahmana biasanya diawali dengan gelar Ida Bagus untuk laki-laki, dan Ida Ayu (disingkat Dayu) untuk perempuan. Pada masa lalu, kasta brahmana adalah golongan rohaniwan atau pemuka agama, yaitu pendeta, pedanda, beserta keluarganya. Mereka tinggal di suatu kompleks hunian yang disebut griya, diwariskan berdasarkan garis keturunan leluhur mereka pada masa lalu. Sekarang, tidak semua keturunan brahmana berprofesi sebagai pemuka agama. Mereka sudah masuk ke dalam berbagai lapangan pekerjaan dan tidak semua keturunannya masih menetap di griya.
  • Keturunan dari kasta kesatria biasanya diawali dengan gelar Anak Agung (disingkat Gung), Cokorda (disingkat Cok), Desak atau Gusti. Mereka umumnya keturunan raja dan tinggal di puri atau sekitar puri, yaitu kediaman leluhur mereka (bangsawan Bali) yang memerintah atau mengabdi pada masa lalu. Bagaimanapun, ada sebagian golongan kesatria yang tinggal di luar puri. Dalam kasta ini juga ada yang menggunakan gelar Dewa, atau Dewa Ayu untuk perempuan. Umumnya mereka adalah keturunan pejabat puri pada masa lalu. Pada mulanya, kasta kesatria merupakan orang-orang dengan profesi di bidang pemerintahan, baik sebagai raja, menteri, pejabat militer, bupati, maupun abdi keraton. Saat ini, keturunan kasta kesatria bekerja dalam berbagai macam profesi dan jabatan.
  • Keturunan kasta Waisya biasanya diawali dengan gelar Ngakan, Kompyang, Sang, atau Si. Pada masa lalu, orang dari kasta ini bekerja di bidang niaga dan industri. Kini, sebagian keturunan waisya tidak lagi menggunakan nama depannya, terkait banyaknya asimilasi kelompok ini dengan kaum sudra pada masa lalu. Di samping itu, sekarang keturunan waisya tidak lagi mendominasi bidang niaga dan industri, sebagaimana profesi leluhur mereka pada masa lalu. Mereka kini bekerja di berbagai bidang.
  • Keturunan kasta sudra dicirikan dengan nama tanpa gelar kebangsawanan sebagaimana tersebut di atas, melainkan langsung mengacu pada urutan kelahiran sesuai tradisi Bali, seperti: Wayan, Putu, Gede, Made, Kadek, Nengah, Nyoman, Komang, dan Ketut. Pada masa lampau, golongan sudra terdiri dari buruh dan petani. Kini, golongan sudra sudah bekerja di berbagai profesi, mulai dari pejabat negara hingga buruh kasar.

Jenis kelamin

Orang Bali mengenal tradisi pemberian imbuhan nama untuk mencirikan jenis kelamin, yaitu awalan "I" untuk nama anak laki-laki, dan awalan "Ni" untuk nama anak perempuan. Contoh: I Gede…, Ni Made…, I Dewa…, Ni Nyoman…, dsb. Bentuk honorifik dari "I" adalah "Ida" (dibaca id̪ə), digunakan untuk keturunan bangsawan, misalnya: Ida Cokorda. Pada beberapa nama untuk orang berkasta sudra (rakyat jelata), ada yang cocok ditambahkan "Luh" untuk mengindikasikan perempuan (luh berarti "perempuan" dalam bahasa Bali), contoh: Luh Gede…, Luh Made…, Luh Nyoman…, dsb.

Untuk kasta selain sudra, mereka menggunakan kata "Ayu" (ayu berarti "jelita" dalam bahasa Bali) daripada "Luh", contoh: I Gusti Ayu…, Dewa Ayu…, Sang Ayu…, dsb. Bagaimanapun, kata "Ayu" juga dapat diterapkan untuk kasta sudra, misalnya: Made Ayu…, Putu Ayu…, Komang Ayu…, dsb. Untuk kasta selain sudra, biasanya mereka juga sering menambahkan kata "Istri" sebagai padanan kata "Ayu" (istri berarti "wanita" dalam bahasa Bali), contoh: Cokorda Istri…, Anak Agung Istri…, dsb.

Urutan kelahiran

Orang Bali menggunakan tata cara penamaan yang mencirikan urutan kelahiran anak. Hal ini menjadi ciri khas kebudayaan suku Bali yang tak dikenal di tempat lainnya.

  1. Anak pertama diberi nama depan Wayan, berasal dari kata wayahan yang artinya "lebih tua". Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga sering digunakan adalah Putu dan Gede. Kata putu artinya "cucu", sedangkan gede artinya "besar". Nama Gede cenderung digunakan kepada anak laki-laki saja, sementara untuk anak perempuan jarang digunakan. Untuk anak perempuan, ditambahkan kata Luh pada nama "Gede". Pada umumnya, keturunan bangsawan Bali cenderung tidak menggunakan kata Wayan maupun Gede. Mereka lebih memilih menggunakan nama Putu.
  2. Anak kedua diberi nama depan Made (madé), berasal dari kata madya yang berarti "tengah". Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga dapat diberi nama depan Nengah yang juga diambil dari kata "tengah". Ada pula nama Kade atau Kadek, bentuk variasi dari Made. Ada hipotesis bahwa Kade atau Kadek berasal dari kata adi yang bermakna "adik". Pada umumnya, keturunan bangsawan Bali cenderung tidak menggunakan nama Nengah maupun Kadek. Mereka lebih memilih menggunakan kata Made atau Kade.
  3. Anak ketiga diberi nama depan Nyoman atau Komang. Nama Nyoman ditenggarai berasal dari kata anom yang berarti "muda" atau "kecil"; bentuk variasinya adalah nama Komang. Ada hipotesis bahwa nama Nyoman diambil dari kata nyeman (artinya "lebih tawar" dalam bahasa Bali), mengacu kepada perumpamaan tentang lapisan terakhir pohon pisang—sebelum kulit terluar—yang rasanya cukup tawar. Ada pula dugaan bahwa nama Nyoman dan Komang secara etimologi berasal dari kata uman yang berarti "sisa" atau "akhir" dalam bahasa Bali.
  4. Anak keempat diberi nama depan Ketut, berasal dari kata ketuwut yang bermakna "mengikuti" atau "membuntuti". Ada juga yang mengkaitkan dengan kata kuno kitut yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang.

Sistem penamaan berdasarkan urutan kelahiran anak hanya mengenal 4 urutan kelahiran saja. Keluarga yang memiliki anak lebih dari empat orang dapat menggunakan kembali nama-nama depan sebelumnya, dimulai dari nama Wayan untuk anak kelima, Made untuk anak keenam, dan seterusnya. Ada juga yang sengaja menambahkan kata "Balik" setelah nama depan anaknya untuk memberi tanda bahwa anak tersebut lahir setelah anak yang keempat.[2] Selain itu, ada juga yang menggunakan nama "Alit" atau "Cenik", yang artinya "kecil". Ada pula yang sejak awal telah merancang 4 nama anak-anak pertama mereka dengan tambahan kombinasi awalan urutan. Contoh: I Putu Gede…, I Made Putu…, I Ketut Gede…, dsb.

Pada masa lalu, penamaan berdasarkan urutan kelahiran anak cenderung digunakan oleh orang Bali dari golongan kasta-kasta atas (selain sudra), sedangkan orang Bali dari kasta sudra tidak banyak yang menggunakan pola penamaan tersebut. Mereka langsung menamakan anaknya dengan awalan I untuk anak laki-laki atau Ni untuk anak perempuan. Misalnya I Swasta, I Kaler, Ni Polok, Ni Ronji, dan sebagainya. Model ini masih terlihat sampai periode akhir masa penjajahan Belanda akhir abad ke-20. Pada masa selanjutnya, pola penamaan berdasarkan urutan kelahiran akhirnya digunakan secara umum oleh sebagian besar orang Bali. Kini, tradisi penamaan tersebut telah menjadi ciri khas kebudayaan orang Bali.[3]

Referensi

  1. ^ Ketut Wiana; Raka Santeri, Kasta dalam Hindu: Kesalahpahaman Selama Berabad-abad, Yayasan Dharma Naradha, ISBN 979-8357-03-5 
  2. ^ Zajonc, R. B. 2001. The family dynamics of intellectual development. American Psychologist 56: 490–496, p. 490.
  3. ^ Budi Pasupati, Nama Orang Bali, diakses tanggal 8 Agustus 2015