Sita harta bersama

Revisi sejak 13 Agustus 2021 07.40 oleh Cahyo (WMID) (bicara | kontrib) (Rapikan)

Dalam sistem hukum Indonesia, istilah sita harta bersama atau sita harta perkawinan, dapat juga disebut sita harta benda bersama suami-istri, diipersingkat menjadi sita bersama adalah XYZ. Sebutan itu memperlihatkan bahwa kedudukan setara atau equal antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Kesetaraan secara tegas dirumuskan dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.[1]

Tujuan

Menurut X, tujuan dari sita harta bersama adalah sebagai berikut.[2]

  1. Bukan dalam hal menjamin tagihan pembayaran kepada penggugat.
  2. Bukan dalam hal menuntut penyerahan hak milik.
  3. Tujuan utama dengan membekukan harta bersama suami dan istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung.

Sehingga adaya penyitaan terhadap harta bersama maka baik penggugat ataupun tergugat dalam hal ini suami-istri dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi. [3]Hal ini bertujuan untuk melindungi kutuhan atau keberadaan harta bersama atas tindakan tidak bertanggungjawab tergugat.

Tindakan pengamanan

Tindakan pengamanan yang diamanatkan sita harta bersama berpedoman pada Pasal 832 Rv berdasarkan asas kepentingan beracara (process doelmatigheid). Menurut Pasal 832 Rv tindakan pengamanan meliputi:

  1. Penyegelan,
  2. Pencatatan,
  3. Penilaian harta bersama,
  4. Penyitaan harta bersama.

Pengaturan

Pengaturan sita harta bersama XYZ.[4]

  1. Pasal 190 KUH Perdata, Sementara perkara berjalan, dengan izin hakim, istri boleh mengadakan tindakan-tindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan.[5] Ketentuan terdahulu berlaku bagi golongan Eropa dan Tionghoa. Namun sejak UU No. 1 Tahun 1974 berlaku, Pasal 66 menegaskan bahwa ketentuan dalam KUH Perdata mengenai perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada Pasal 190 KUH Perdata dapat dijadikan bahan orientasi dalam kedudukan sebagai hukum adat tertulis.
  2. Pasal 24 ayat (2) Huruf C PP No. 9 Tahun 1975,[6]
  3. Pasal 78 Huruf c UU No. 7 Tahun 1989,[7]
  4. Pasal 823 Rv.

Referensi

[1] Undang-Undang tentang Perkawinan, diundangkan tanggal 2 Januari 1974, LNRI No. 3019, 1974.

[2] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika. Hlm.428-429.

[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 64.

[4] Ibid, hlm. 429-430.

[5] R. Subekti, R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Bandung, cet. 25, hlm.60.

[6] PPtentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diundangkan tanggal 1 April 1975, LNRI Tahun 1975, No. 12.

[7] Undang-Undang tentang Peradilan Agama, diundangkan tanggal 29 Desember 1989, LNRI Tahun 1989, No. 49., dan