Ayat-Ayat Setan

Revisi sejak 16 Agustus 2021 19.10 oleh Nasr7 (bicara | kontrib)

Insiden ayat-ayat setan, atau dikenal dalam literatur Islam sebagai Qissat al-Gharaniq (Kisah Burung Bangau), adalah nama sebuah kejadian dimana Nabi Muhammad telah keliru mengira ayat-ayat yang "dibisikkan setan" sebagai wahyu.[1]

Riwayat mengenai peristiwa ini dapat ditemukan dalam beberapa sumber, seperti Sirah nabawiyah yang ditulis oleh al-Wāqidī, Ibn Sa'd (juru tulis dari Waqidi) dan Ibn Ishaq (yang direkonstruksi oleh Alfred Guillaume),[2] demikian juga dari tafsir oleh ath-Thabarī yang merupakan kitab tafsir yang dianggap paling shahih,[3] Tafsir al-Jalalayn, serta secara tidak langsung pada Shahih Bukhari.

Istilah 'ayat-ayat setan' pertama kali disebutkan dan dipopulerkan oleh Sir William Muir (1858).[4]

Ikhtisar kisah

Bukhari melaporkan di dalam kitab koleksi hadits shahih-nya bahwa orang-orang Musyrikin ikut bersujud bersama Nabi Muhammad ketika beliau selesai membacakan Surat An-Najm:

Disampaikan Ibnu Abbas: Ketika Nabi selesai membaca Surat an-Najm, beliau bersujud, dan orang-orang Muslim, Musyrikin, Jin, dan umat manusia ikut bersujud bersama beliau.[5]

Menurut ath-Thabari dan al-Jalalayn pada tafsir-tafsir fenomenal mereka,[6][7] dan berbagai sumber islam lainnya, ini terjadi dikarenakan pada saat Nabi Muhammad menurunkan ayat 19-20 dari Surat An-Najm berikut:

19} Pernahkan kalian berpikir mengenai Al-Lat dan Al-'Uzza
20} Dan Al-Manat, yang ketiga, atau yang satu lainnya?

Setan membisikkan kepada beliau kalimat yang justru memuja ketiga Dewi kaum Musyrikin tersebut, sehingga beliau menganggap kalimat dari setan itu sebagai bagian dari Surat Al-Quran, isinya adalah

Mereka adalah burung-burung bangau yang terbang tinggi; syafaat dari mereka sungguh sangat diharapkan

Beberapa saat kemudian, Jibril pun datang dan mengabari Sang Nabi, bahwa Setan telah menyelipkan kata-katanya ke dalam firman Allah yang telah beliau sampaikan. Mengetahui hal tersebut, Nabi pun merasa sedih. Namun beberapa saat kemudian kesedihan beliau pun sirna setelah Allah meyakinkan ridho-nya kepada beliau dengan me-nasakh (membatalkan) ayat dari setan tersebut serta menguatkan ayat-ayat-Nya.

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,

— QS 22:52

Pendapat berlawanan

Beberapa cendekiawan Muslim menolak keabsahan sejarah dari insiden ini, berdasarkan argumen bahwa kisah ini mempunyai isnad (rantai penyampaian) yang lemah (dha'īf), serta berpegang pada doktrin isma dalam teologi Islam; yaitu Ketidakbersalahan Nabi; perlindungan Illahiah bahwa Allah melindungi Nabi Muhammad agar terhindar dari melakukan segala perbuatan salah.[1] Sekalipun Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir menganggap sahih, tetapi Al-Baihaqi mengatakan bahwa kisah ini tidak tetap (tsabit) dari sisi penukilan (pengutipan) di isnadnya." Qadhi 'Iyadh[8] menganggap serupa; karena hampir semunanya lemah dan sangat lemah. Tidak pernah hadits ini dikeluarkan seorangpun yang konsisten dalam hadits-hadits shahīh, juga tiada yang meriwayatkannya oleh seorang tsiqah (tepercaya) dalam sanad yang baik dan marfū. Anehnya, hadits ini disukai benar oleh ahli tarikh, dan para mufasir (ahli tafsir) dalam menghiasi kitab-kitab mereka dengan semua yang shahih dan dha'if. Adapun riwayat yang marfū (sampai sanadnya kepada Nabi ﷺ) adalah dari Syu'bah, dari Abu Basyar, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas - dalam keraguan menyambungkan hadits. Walau demikian, yang memarfu'kan sanad ini cuma Umayyah bin Khalid — walaupun sebenarnya tidak begitu sanadnya. Al-Kalbi — seorang kadzdzāb (penipu ulung dalam ilmu hadits)- juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, namun sayang, Al-Kalbi adalah seorang penipu, yang tak boleh dipercaya hadits-haditsnya. Ibnu Khuzaimah pernah mengomentari hadits ini dengan mengatakan bahwa "kisah ini adalah karangan orang-orang zindik (orang yang menampakkan keIslamannya, tetapi menyembunyikan kekafirannya)". Prof. Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah menganggap cerita ini batil dan bertentangan dari sisi aqli dan naqli, serta banyak sekali kerancuan riwayat mengenai kisah ini.[9]

Selain itu, Ibnu Katsir, Abubakr al-Bazzar, penafsir Imam Fakhr ar-Razi, juga menolak hal ini, sebagaimana dikutipkan oleh Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar-nya.[10] Penafsir-penafsir Quran kontemporer seperti Syaikh Muhammad Abduh juga menolak ini, berdasar pada pemakaian kaidah kebahasaan yang dangkal pada kisah ini.[11] Gharānīq berasal daripada kata al-ghurnūq, sebangsa burung air, yang warnanya hitam atau putih. Ada pula ghurnīq yang bermakna pujian kepada anak muda yang putih, cantik, dan lembut sifatnya. Ada pula gharānīqah, yang bisa berarti rambut yang halus, dan kilat kerna disisir baik-baik. Ia juga bermakna sesuatu yang lemah gemulai karena ditiup angin. Sebab itu, tak ada satupun yang jadi suatu yang bersifat dituhankan atau diberhalakan.[11]

Ibnu Hazm dalam al-Milal wan-Nihal mengatakan cerita ini bohong dan palsu. Karena kalau ditilik dari sumberpun, tidak ada sumbernya, dari yang memang sesuatu yang tak ada.[12] Sayyid Quthb juga turut mengatakan, meskipun ulama-ulama telah jauh mengatakan bahwa kisah palsu ini bikinan orang-orang zindiq dan mulhid (menyeleweng), kaum orientalis selalu memperbaharui kisah ini, dan membangkitkannya terus.[12]

Lihat juga

Catatan

  1. ^ a b Ahmed, Shahab (1998). "Ibn Taymiyyah and the Satanic Verses". Studia Islamica. Maisonneuve & Larose. 87: 67–124. 
  2. ^ Ibn Ishaq, Muhammad (1955). Ibn Ishaq's Sirat Rasul Allah - The Life of Muhammad Translated by A. Guillaume. Oxford: Oxford University Press. hlm. 165. ISBN 9780196360331. 
  3. ^ "أيهما أصح " تفسير ابن كثير " أو " تفسير الطبري " ؟ - الإسلام سؤال وجواب". islamqa.info (dalam bahasa Arab). Diakses tanggal 2021-08-16. 
  4. ^ John L. Esposito (2003). The Oxford dictionary of Islam. Oxford University Press. hlm. 563. ISBN 978-0-19-512558-0. 
  5. ^ "Sahih al-Bukhari 4862 - Prophetic Commentary on the Qur'an (Tafseer of the Prophet (pbuh)) - كتاب التفسير - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-08-16. 
  6. ^ "Tafsir Ath-Thabari, QS 22:52". King Saud University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 Agustus 2021. Diakses tanggal 17 Agustus 2021. 
  7. ^ "موقع التفير الكبير". Altafsir.com. Diakses tanggal 2021-08-16. 
  8. ^ Lihat 'Iyadh, Qadhi, Asy-Syifā, jilid 2, halaman 116.
  9. ^ Syahbab, Muhammad bin Muhammad Abu (2014). Isrăǐliyyat & Hadits-Hadits Palsu Tafsir Al-Qur'an. hal.448 – 464. Depok:Keira Publishing. ISBN 978-602-1361-29-0.
  10. ^ Hamka (tanpa tahun), hlm.191 – 94
  11. ^ a b Hamka (tanpa tahun), hlm.195
  12. ^ a b Hamka (tanpa tahun), hlm.196

Kepustakaan

  • Fazlur Rahman (1994), Major Themes in the Qur'an, Biblioteca Islamica, ISBN 0-88297-051-8 
  • John Burton (1970), "Those Are the High-Flying Cranes", Journal of Semitic Studies, 15: 246–264, doi:10.1093/jss/15.2.246. 
  • Uri Rubin (1995), The Eye of the Beholder: The Life of Muhammad as Viewed by the Early Muslims: A Textual Analysis, The Darwin Press, Inc., ISBN 0-87850-110-X 
  • G. R. Hawting (1999), The Idea of Idolatry and the Emergence of Islam: From Polemic to History, Cambridge University Press, ISBN 0-521-65165-4 
  • Nāsir al-Dīn al-Albānī (1952), Nasb al-majānīq li-nasfi qissat al-gharānīq (The Erection of Catapults for the Destruction of the Story of the Gharānīq) 
  • Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al Azhar. XVII. Jakarta: PT Pustaka Panjimas. 

Pranala luar

Pengulas