Maria Walanda Maramis
Maria Josephine Catherine Maramis (1 Desember 1872 – 22 April 1924), atau yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia karena usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20.[1]
Maria Walanda Maramis | |
---|---|
Berkas:Maria Walanda Maramis.jpg | |
Lahir | Maria Josephine Catherine Maramis 1 Desember 1872 Kema, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Hindia Belanda |
Meninggal | 22 April 1924 Maumbi, Kalawat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Indonesia | (umur 51)
Nama lain | Maria Walanda Maramis |
Suami/istri | Joseph Frederick Caselung Walanda |
Orang tua | Maramis dan Sarah Rotinsulu |
Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis, sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan. Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan "Nederlandsche Zendeling Genootschap" tahun 1981, Maria ditahbiskan sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki "bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk mengembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki".[2]
Untuk mengenang jasanya, telah dibangun Patung Walanda Maramis yang terletak di Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Wenang, sekitar 15 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan angkutan darat. Di sini, pengunjung dapat mengenal sejarah perjuangan seorang wanita asal Bumi Nyiur Melambai ini. Fasilitas yang ada saat ini adalah tempat parkir dan pusat perbelanjaan.[3]
Kehidupan awal
Maria lahir di Kema, sebuah desa kecil yang sekarang berada di kabupaten Minahasa Utara, Kecamatan Kema (hasil pemekaran Kecamatan Kauditan) provinsi Sulawesi Utara. Orang tuanya adalah Bernadus Maramis dan Sarah Rotinsulu.[4] Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara di mana kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries. Andries adalah ayah dari Alexander Andries Maramis yang terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta besar dalam pemerintahan Indonesia pada mulanya.[5]
Maria menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat. Paman Maria yaitu Mayor Ezau Rotinsulu yang waktu itu adalah kepala distrik di Maumbi membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke Maumbi dan mengasuh dan membesarkan mereka di sana.[4] Dari kepindahan itu, ia juga berteman dengan kaum terpelajar misalnya seorang pendeta bernama Jan Ten Hoeve.[6][7] Maria beserta kakak perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah itu mengajar ilmu dasar seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Ini adalah satu-satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maramis dan kakak perempuannya karena perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.
Dorongan Bumi Minahasa
Pada akhir abad 19 dan awal abad 20 terbagi menjadi 8 kelompok etnis (walak)[8] yang berada dalam proses ke arah satu unit geopolitik yang disebut Minahasa dalam suatu tatanan kolonial Hindia Belanda. Sejalan dengan hal ini Hindia Belanda mengadakan perubahan birokrasi dengan mengangkat pejabat-pejabat tradisional sebagai pegawai pemerintah yang bergaji dan di bawah kuasa seorang residen.[9] Komersialisasi agraria melahirkan perkebunan-perkebunan kopi dan kemudian kopra membuat ekonomi ekspor berkembang pesat, penanaman modal mengalir deras, dan kota-kota lain tumbuh seperti Tondano, Tomohon, Kakaskasen, Sonder, Romboken, Kawangkoan, dan Langowan.[10]
PIKAT
Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis opini di surat kabar setempat yang bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu dalam keluarga di mana kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya.
Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa orang lain mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada tanggal 8 Juli 1917. Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar.[7] Lebih spesifik, tujuan dari organisasi ini adalah:
- Menyediakan suatu waktu bagi kaum perempuan Minahasa agar mereka dapat saling bergaul dan mengenal
- Membawa masa depan pemuda Minahasa
- Membiasakan para perempuan Minahasa untuk mengeluarkan dan merumuskan pandangan-pandangan serta pikiran-pikirannya secara bebas[11]
Melalui kepemimpinan Maramis di dalam PIKAT, organisasi ini bertumbuh dengan dimulainya cabang-cabang di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling. Selain itu, cabang di luar Minahasa antara lain di Sangir Talaut (Sangihe-Talaud), Poso, Gorontalo, dan Ujung Pandang.[12] Cabang-cabang di Jawa juga terbentuk oleh ibu-ibu di sana seperti di Batavia, Bogor, Bandung, Cimahi, Magelang, dan Surabaya. Pada tanggal 2 Juni 1918, PIKAT membuka sekolah Manado. Di sekolah ini mereka diajari hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.[7] Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai pada kematiannya pada tanggal 22 April 1924. Di sekolah ini,
Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969.
Hak pilih wanita di Minahasa
Pada tahun 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahasa Raad. Mulanya anggota-anggotanya ditentukan, tetapi pemilihan oleh rakyat direncanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat selanjutnya. Hanya laki-laki yang bisa menjadi anggota pada waktu itu, tetapi Maramis berusaha supaya wanita juga memilih wakil-wakil yang akan duduk di dalam badan perwakilan tersebut. Usahanya berhasil pada tahun 1921 di mana keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan wanita untuk memberi suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad.
Kehidupan keluarga
Maramis menikah dengan Joseph Frederick Calusung Walanda, seorang guru bahasa pada tahun 1890. Setelah pernikahannya dengan Walanda, ia lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis. Mereka mempunyai tiga anak perempuan. Dua anak mereka dikirim ke sekolah guru di Betawi (Jakarta). Salah satu anak mereka, Anna Matuli Walanda, kemudian menjadi guru dan ikut aktif dalam PIKAT bersama ibunya.
Referensi
- ^ JJ.Rizal. 2007. Maria Walanda Maramis (1872-1924) Perempuan Minahasa, Pendobrak Adat dan Pemberotak Nasionalisme, dalam "Merayakan Keberagaman", Jurnal Perempuan Vol.54 tahun 2007. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, hal.87-98.
- ^ N.Graffland dalam Maria Ulfah Subadio, T.O.Ihromi, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1978.
- ^ "Pejuang Perempuan yang Berperan dalam Kemerdekaan Indonesia". Womanindonesia.co.id. 31Juli 2021. Diakses tanggal 17 Agustus 2021.
- ^ a b "Maria Walanda Maramis Pejuang Pendidikan Perempuan". LPMP Sulawesi Utara. 8 April 2019. Diakses tanggal 13 Juni 2020.
- ^ Parengkuan, Fendy E. W. (1982). A.A. Maramis, SH. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- ^ Anjani, K.T.; Nurbaity; Handayani, Y. (2019). "MARIA WALANDA MARAMIS SANG PELITA PENDIDIKAN PEREMPUAN DI
MINAHASA (1917-1924)". Jurnal Candrasangkala. 5 (2): 40–47. ISSN 2477-2771. line feed character di
|title=
pada posisi 58 (bantuan) - ^ a b c Warsidi, E. (2007). Meneladani Keteladanan Kaum Wanita. Yudhistira Ghalia Indonesia. ISBN 9789790191235.
- ^ Suprihatin, C. T.; Yusuf, M. (2019). Grave, J., ed. Weg Tot Het Oosten: Afscheidsbundel voor Kees Groeneboer (PDF). Depok: Program Studi Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. ISBN 978-602-9054-58-3. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-06-13. Diakses tanggal 2020-06-13.
- ^ David E.F.Henley, Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indies, KITLV Press, 1996.
- ^ RZ.Leirissa, "Copracontracten: An Indication of Economic Development in Minahasa During the Colonial Period" dalam J.Th.Linbad (ed.), Historical Foundations of A National Economy in Indonesia 1890s-1990, Amsterdam, hal.265-277.
- ^ Manus, M.P.B. (1985). Maria Walanda Maramis. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
- ^ Said, J.; Wulandari, T. (1995). Sutjiatiningsih, S., ed. Ensiklopedia Pahlawan Nasional (PDF). Jakarta: Sub Direktorat Sejarah Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 39.