Inbreng

Revisi sejak 17 Agustus 2021 21.33 oleh Atikah krsn (bicara | kontrib) (merubah ketentuan yang sesuai)

Inbreng atau bisa disebut pemasukan, adalah kewajiban seseorang ahli waris dalam hal tertentu memasukan kembali ke dalam warisan suatu hibah yang pernah diterimanya oleh pewaris.[1]

Inbreng diatur dalam Buku Kedua BW, Bab 17, bagian 2, (Pasal 1086-1099). Menurut Ramulyo bahwa Inbreng atau pemasukan adalah memperhitungkan kembali mengenai pemberian barang-barang atau hibah oleh para ahli waris yang diberikan pewaris pada saat ia masih hidup, bertujuan melindungi bagian mutlak ahli waris lainnya.[2]

Dalam hal pemasukan maka setelah pewaris meninggal dunia maka baru bisa dalam hal pemasukan atau memperhitungkan kembali hibah-hibah yang pernah diterima seorang ahli waris. Dalam hukum waris dikenal juga dengan istilah Inkorting khususnya dalam hal wasiat. Inkorting atau pemotongan terhadap hibah-hibah yang sudah diberikan kepada ahli waris selain garis lurus ke bawah atau pihak lain yang sama sekali tidak ada hubungan darah.

Perbedaan

Dapat disimpulkan Inbreng tidak sama dengan Inkorting, Menurut Mulyadi perbedaan antara Inbreng (Pemasukan) dengan Inkorting (pemotongan) diantaranya:

  1. Dilihat dari tujuannya:

Inbreng bertujuan dalam hal sedikit banyak meratakan pembagian di antara sesama ahli waris sedangkan Inkorting bertujuan dalam hal memenuhi bagian mutlak legitiemaris.

2. Dilihat dari segi akibatnya:

Segi akibat dari Inbreng adalah perkaitan lain inbreng tidak akan menghapus hibah. Atau bisa juga dimaksud benda-benda yang telah dihibahkan semasa hidup pewaris maka tetap masih berada di ahli waris namun harga diperhitungkan dengan bagian yang akan diterimanya sedangkan Inkorting dalam segi akibatnya terdapat kemungkinan menghapus hibah atau setidak-tidaknya mengurangi dalam hal harta kekayaan tidak cukup untuk memenuhi Lp. legitimaris. [3]

Dikecualikan

Hal – hal yang dikecualikan dalam inbreng sesuai Pasal 1097 KUH Perdata diantaranya tunjangan hidup seperlunya, biaya pendidikan, pengeluaran untuk memperoleh pendidikan, kebudayaan, dan lain sebagainya.[4]

Referensi

  1. ^ Kie, Tan Thong (2007). Studi Notariat: Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek Notaris. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 
  2. ^ Ramulyo, Muhammad Idris (1993). Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Sinar Grafika. 
  3. ^ "Mulyadi", "Mulyadi" (2016). Hukum Waris Dengan Adanya Surat Wasiat. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.