Islam di Sumatera Barat

artikel daftar Wikimedia
Revisi sejak 28 Agustus 2021 00.51 oleh Mike herlin (bicara | kontrib) (Sejarah: ringkasan serta referensi rujukan penyebaran)

Islam di Sumatra Barat adalah agama yang dipeluk oleh sekitar 98% penduduk Sumatra Barat.[1]

Masjid Jamik Taluak Bukittinggi

Sejarah

Masuknya Islam

Agama Islam pertama kali memasuki Sumatra Barat pada abad ke-7, dimana pada tahun 674 telah didapati masyarakat Arab di pesisir timur pulau Sumatra. Selain berdagang, secara perlahan mereka membawa masuk agama Islam ke dataran tinggi Minangkabau wilayah pegunungan yang terletak di bagian tengah Bukit Barisan dengan tiga puncak tertinggi atau Sumatra Barat sekarang melalui aliran Sungai Susup, Sungai Rindu Hati, Sungai Kemumu, Sungai Pasemah, Sungai Sialang, Sungai Muara Kurung, Sungai Jenggalu, sungai Way Semaka, Way Tenumbang, Way Pemerihan, Way Besai yang bermuara di timur pulau Sumatra, seperti Batang Hari[2][3][4].

Perkembangan

Perkembangan agama Islam di Sumatra Barat menjadi sangat pesat setelah kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar, yang berhasil meluaskan wilayahnya hampir ke seluruh pantai barat Sumatra. Sehingga pada abad ke-13, Islam mulai memasuki Tiku, Pariaman, Air Bangis, dan daerah pesisir Sumatra Barat lainnya. Islam kemudian juga masuk ke daerah pedalaman atau dataran tinggi Minangkabau yang disebut "darek". Di kawasan darek pada saat itu berdiri kerajaan Pagaruyung, dimana kerajaan tersebut mulai mendapat pengaruh Islam sekitar abad ke-14. Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat yang ada di sekitar pusat kerajaan dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha dan Hindu terutama sebelum memasuki abad ke-7.

Perang Padri

Sejak abad ke-16, agama Islam telah dianut oleh seluruh masyarakat Minangkabau baik yang menetap di Sumatra Barat maupun di luar Sumatra Barat. Jika ada masyarakatnya keluar dari agama Islam atau murtad, secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minangkabau. Namun hingga akhir abad ke-17, sebagian dari mereka terutama yang ada di lingkungan kerajaan, belum sepenuhnya menjalankan syariat Islam dengan sempurna dan bahkan masih melakukan perbuatan yang dilarang dalam Islam. Mengetahui hal tersebut, ulama-ulama Minangkabau yang saat itu disebut Kaum Padri dalam suatu perundingan mengajak masyarakat di sekitar kerajaan Pagaruyung terutama Raja Pagaruyung untuk kembali ke ajaran Islam. Namun perundingan tersebut pada tahun 1803 berujung kepada konflik yang dikenal sebagai Perang Padri.

Perang Padri melibatkan sesama masyarakat Minang, yaitu antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Setelah 20 tahun konflik belangsung, pada tahun 1833 terjadi penyesalan di Kaum Adat[5] karena telah mengundang Belanda 12 tahun sebelumnya,[6] yang selain mengakibatkan kerugian harta dan mengorbankan jiwa raga, juga meruntuhkan kekuasaan Pagaruyung. Saat itu, Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol mulai merangkul Kaum Adat, dan terjadilah suatu kesepakatan di antara kedua pihak untuk bersatu melawan Belanda. Tidak hanya itu, Kaum Adat dan Kaum Padri juga mewujudkan konsesus bersama, yaitu "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (Adat berlandaskan ajaran Islam, ajaran Islam berlandaskan Al-Qur'an).[7]

Demografi

Berikut merupakan sebaran umat Islam per kota/kabupaten di Provinsi Sumatra Barat.

Kota/Kabupaten Muslim[8] %
Kepulauan Mentawai 14.897 19.56%
Pesisir Selatan 428.250 99.77%
Solok 347.526 99.70%
Sijunjung 200.553 99.37%
Tanah Datar 336.353 99.37%
Padang Pariaman 389.090 99.50%
Agam 450.981 99.15%
Lima Puluh Kota 347.539 99.71%
Pasaman 252.055 99.51%
Solok Selatan 143.443 99.42%
Dharmasraya 188.691 98.57%
Pesaman Barat 356.664 97.68%
Kota Padang 803.706 96.42%
Kota Solok 58.621 98.70%
Kota Sawah Lunto 56.508 99.37%
Kota Padang Panjang 45.076 95.89%
Kota Bukittinggi 108.367 97.35%
Kota Payakumbuh 115.142 98.56%
Kota Pariaman 78.462 99.26%
TOTAL 4.721.924 97.42%

Pendidikan


Tokoh Islam


Arsitektur


Referensi

  1. ^ "Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Agama yang Dianut: Provinsi Sumatra Barat". Badan Pusat Statistik. Diakses tanggal 2012-05-03. 
  2. ^ https://www.antaranews.com/berita/40015/tn-bukit-barisan-selatan-miliki-23-aliran-sungai-besar
  3. ^ http://nawasis.org/portal/digilib/read/gambaran-umum-permasalahan-pengelolaan-air-das-air-bengkulu/3182
  4. ^ https://www.beritasatu.com/nasional/528795/atasi-banjir-sejumlah-sungai-di-kota-bengkulu-dinormalisasi
  5. ^ Abdullah, Taufik (1966). "Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau". 2 (2): 1–24. doi:10.2307/3350753. 
  6. ^ Amran, Rusli (1981). Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  7. ^ Jones, Gavin W.; Chee, Heng Leng; Mohamad, Maznah (2009). "Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira". Muslim-Non-Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 51. ISBN 978-981-230-874-0. 
  8. ^ [1]