Sukarjo Wiryopranoto
Sukarjo Wiryopranoto (5 Juni 1903 – 23 Oktober 1962) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan Pahlawan Nasional Indonesia. Sukarjo sendiri bergabung ke dalam beberapa organisasi ternama, salah satunya Budi Utomo. Ia juga turut menjadi pejuang perebutan kembali Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia (RI).
Sukarjo Wiryopranoto | |
---|---|
Berkas:Sukardjo-Wirjopranoto-bw.jpg | |
Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-4 | |
Masa jabatan 1960–1962 | |
Presiden | Soekarno |
Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok ke-2 | |
Masa jabatan 1956–1960 | |
Presiden | Soekarno |
Duta Besar Indonesia untuk Italia ke-1 | |
Masa jabatan 1952–1954 | |
Presiden | Soekarno |
Pendahulu Tidak ada | |
Duta Besar Indonesia untuk Takhta Suci ke-1 | |
Masa jabatan 1950–1952 | |
Presiden | Soekarno |
Pendahulu Tidak ada | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Soekardjo Wirjopranoto 5 Juni 1903 Kesugihan, Cilacap, Hindia Belanda |
Meninggal | 23 Oktober 1962 New York, Amerika Serikat | (umur 59)
Makam | TMP Kalibata |
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan | Aktivis kemerdekaan, politisi, kemudian diplomat |
Sunting kotak info • L • B |
Kehidupan Awal
Sukarjo adalah putra Bapak Wiryodiharjo yang bekerja pada Jawatan Kereta Api pada zaman Hindia Belanda. Ibunya berasal dari Purwokerto, keturunan seorang alim ulama, bernama Kyai Asmadi. Sukarjo dilahirkan di Desa Kasugihan dan mempunyai saudara berjumlah tujuh orang dan ia adalah anak keenam.
Ketika Sukarjo berumur tiga tahun, ayahnya meninggal dunia. Sehingga ia dan saudara-saudaranya dibesarkan oleh Ibu Wiryodiharjo. Ia adalah seorang ibu yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cermat, teguh, dan bercita-cita tinggi dalam memajukan dan mencerdaskan putra-putrinya.
Pada masa sekolah, Sukarjo menempuh pendidikannya di Europesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Dasar zaman Hindia Belanda. Ia berangkat ke sekolah pada waktu subuh dengan naik kereta api setiap harinya, dan pulang dari sekolah ketika sudah agak sore. Pada tahun 1917, Sukarjo lulus dari ELS. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Hukum atau Rechts School di Jakarta. Lima tahun kemudian setelah lulus dari Sekolah Hukum, ia mulai bekerja sebagai pegawai negeri.
Awalnya ia bekerja di Pengadilan Negeri Purwokerto. Ketika tahun 1962, Sukarjo dipindahkan ke Magelang, tetapi hanya berlangsung 40 hari karena merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh atasannya. Oleh sebab itu, Sukarjo dipindah ke Lumajang.
Ketika Sukarjo berada di Lumajang, terjadilah pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Sukarjo menjadi salah satu pemuda yang paling berani, karena ia mendatangi rumah seorang dokter bernama dr. Muhammad. Karena putra dari dr. Muhammad, Sunaryo ikut ditangkap dan dibuang ke Digul karena dianggap terlibat pemberontakan PKI. Oleh sebab itulah, banyak orang yang tidak berani mendatangi rumahnya, kecuali Sukarjo. Sukarjo mendatangi rumah dr. Muhammad bersama istrinya, Umaryani untuk berkenalan dan menenangkan dr. Muhammad yang sedang terpukul atas kejadian tersebut.
Perbuatan Sukarjo pada zaman ini dapat dikatakan membahayakan dirinya, namun ia merupakan seorang yang bijaksana. Sukarjo pun mulai tertarik pada pergerakan nasional, sehingga ia menjadi anggota dari Jong Jawa.
Kehidupan Politik
Sukarjo yang menyadari bahwa menjadi pegawai negeri, artinya ia hanya bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial, akhirnya Sukarjo mendirikan kantor pengacaranya sendiri bernama Wisynu. Tujuannya adalah untuk menegakkan kebenaran dan melindungi rakyat yang lemah.
Budi Utomo
Berkat keaktifannya dalam dunia hukum dan politik, Sukarjo pun tergabung dalam organisasi Budi Utomo dan dipercaya menjadi Ketua Cabang Malang. Selama bergabung dalam Budi Utomo, Sukarjo berusaha keras untuk mempertebal rasa kebangsaan dan harga diri bangsa.
Volksraad (Dewan Rakyat)
Pada tahun 1937, Sukarjo diangkat menjadi anggota Volksraad sebagai wakil Budi Utomo. Ia tergabung sebagai anggota Fraksi Nasional di bawah pimpinan M.H. Thamrin bersama Soeroso dan Otto Iskandardinata.
Langkah-langkah politik yang Sukarjo lakukan di dalam Volksraad antara lain adalah membela nasib pegawai rendah. Ia juga mengusulkan agar pengangkatan anggota-anggota Gemeenteraad atau Walikota bagi orang Indonesia disamakan dengan orang Belanda.
Cita-cita Sukarjo itu terlaksana ketika tahun 1937, Mr. Dr. Subroto diangkat menjadi Walikota Madiun. Pengangkatan ini menimbulkan kegaduhan di kalangan bangsa Belanda. Dua tahun kemudian Mr. Dr. Sunroto diangkat menjadi Walikota Bogor, sedangkan Mr. Susanto Tirtoprojo menggantikan sebagai Walikota Madiun.
Sukarjo aktif dalam pendirian dan perjuangan GAPI (Gabungan Politik Indonesia). Pada tahun 1939, GAPI melancarkan perjuangan dengan semboyan “Indonesia Berparlemen”. Maksudnya agar Volksraad menjadi Dewan Perwakilan Rakyat yang sebenarnya.
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
Sukarjo Wiryopranoto diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai. Pada tahun 1943, ia diangkat menjadi ketua muda Jawa Shinbun Kai, yaitu perserikatan surat kabar di Jawa.
Agresi Militer II
Sebelum Agresi Militer II (Desember 1948), Sukarjo Wiryopranoto ditangkap Belanda di Jakarta dan diusir serta dikirim ke Yogyakarta, karena majalah “Mimbar Indonesia” yang dianggap berbahaya bagi politik Belanda. Sesudah majalah tersebut diizinkan terbit kembali pada bulan Februari 1949, ia kembali ke Jakarta.
Kabinet Syahrir
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sukarjo Wiryopranoto diangkat sebagai juru bicara negara dalam Kabinet Syahrir.
Duta Besar Republik Indonesia
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu pada tahun 1950, ia diangkat menjadi Duta Besar RI di Vatikan dan merangkap sebagai Duta Besar Luar Biasa RI dan Berkuasa Penuh pada Pemerintah Italia.
Kemudian ia ditarik kembali ke tanah air menjabat sebagai kepala Direktorat Asia-Pasifik pada Departemen Luar Negeri. Selanjutnya, ia ditugaskan menjadi Duta Besar Luar Biasa RI dan Berkuasa Penuh pada Pemerintah Republik Rakyat Cina dan merangkap sebagai kepala Perwakilan Diplomatik pada Pemerintah Rakyat Mongolia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Empat tahun kemudian, pada tahun 1960, Sukarjo diangkat menjadi Wakil Tetap RI di PBB. Selama menjabat di PBB, ia sibuk memperjuangkan pengembalian Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Akhir Hidup
Ketika bangsa Indonesia berhasil memasukkan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, Sukarjo Wiryopranoto meninggal pada tanggal 23 Oktober 1962 di New York. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Penghargaan
Pada 29 Oktober 1962, berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 342 Tahun 1962, Sukarjo dianugerahi gelar Tokoh Nasional atau Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Jabatan diplomatik | ||
---|---|---|
Jabatan baru | Duta Besar Indonesia untuk Italia 1950–1952 |
Diteruskan oleh: Sutan Mohammad Rasjid |
Jabatan baru | Duta Besar Indonesia untuk Takhta Suci 1950–1952 |
Diteruskan oleh: Djoemhana Wiriaatnadja |
Didahului oleh: Arnold Mononutu |
Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok 1956–1960 |
Diteruskan oleh: Soekarni Kartodiwirjo |
Didahului oleh: Ali Sastroamidjojo |
Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa 1960–1962 |
Diteruskan oleh: Lambertus Nicodemus Palar |