Ianfu

pelacur paksa untuk Tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II
Revisi sejak 30 Agustus 2021 13.15 oleh Burtsbeez123 (bicara | kontrib) (Ditambahkan "Ada kesaksian bahwa")

Jugun ianfu (従軍慰安婦) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita (bahasa Inggris comfort women) yang melakukan layanan seksual kepada anggota Tentara Jepang selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang. Jugun ianfu merupakan wanita yang menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945. Menurut riset oleh Dr. Hirofumi Hayashi, seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin, jugun ianfu termasuk orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, Indo, orang Eropa di beberapa daerah kolonial (Inggris, Belanda, Prancis, Portugis), dan penduduk kepulauan Pasifik. Jumlah perkiraan dari jugun ianfu ini pada saat perang, berkisar antara 20.000 dan 30.000. Pengakuan dari beberapa jugun ianfu yang masih hidup jumlah ini sepertinya berada di batas atas dari angka di atas. Kebanyakan rumah bordilnya berada di pangkalan militer Jepang, tetapi dijalankan oleh penduduk setempat, bukan militer Jepang. Menurut riset Dr. Ikuhika Hata, seorang profesor di Universitas Nihon. Orang Jepang yang menjadi jugun ianfu ini sekitar 40%, Korea 20%, Tionghoa 10%. Dan 30% sisanya dari kelompok lain.

Di Indonesia

Ada kesaksian bahwa para perempuan Indonesia biasanya direkrut menjadi jugun ianfu berdasarkan paksaan (diambil begitu saja di jalan atau bahkan di rumah mereka), diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri, atau akan dijadikan pemain sandiwara (seperti yang terjadi pada ikon perjuangan jugun ianfu asal Indonesia, Ibu Mardiyem). Para mantan jugun ianfu masih merasakan trauma psikologis dan gangguan fungsi fisik akibat pengalaman pahit yang pernah mereka alami. Belum lagi masyarakat yang tidak memperoleh informasi dengan benar, justru menganggap mereka sebagai wanita penghibur (tanpa paksaan).

Korea Selatan

Setiap Rabu, para wanita dari berbagai kelompok dan individu bergabugn dalam Demonstrasi Rabu di depan kedutaan besar Jepang di Seoul.

Rumah bordil sebagai bagian dari kebijakan militer Jepang

Penelitian sejarah ke dalam pemerintah Jepang mencatat beberapa alasan untuk pendirian rumah bordil militer. Pertama, penguasa Jepang mengharapkan dengan menyediakan akses mudah ke budak seks, moral dan keefektivan militer tentara Jepang akan meningkat. Kedua, dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi, pemerintah berharap dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin. Terakhir, pengadaan rumah bordil di garis depan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan izin istirahat bagi tentara.

Pada tahap awal perang, penguasa Jepang mengambil pelacur melalui cara konvensional. Iklan yang menawarkan pekerjaan sebagai pelacur muncul di koran-koran yang terbit di Jepang dan koloni Jepang di Korea, Manchukuo, dan daratan Tiongkok. Banyak yang menanggapi iklan ini dahulunya merupakan pelacur dan menawarkan jasa mereka sukarela. Yang lainnya dijual oleh keluarga mereka kepada militer karena kesulitan ekonomi.

Namun, sumber ini dengan cepat mengering, terutama dari Jepang. Menteri Urusan Luar Negeri menolak mengeluarkan visa perjalanan bagi pelacur Jepang, karena khawatir akan mencemari nama Kekaisaran Jepang. Militer kemudian mencari wanita penghibur di luar Jepang, terutama dari Korea dan Tiongkok. Banyak wanita dibohongi dan ditipu untuk bergabung ke rumah bordil militer. Lainnya diculik. Pelacur Jepang yang tetap tinggal di rumah bordil militer sering menjadi karayukisan, atau manajer rumah bordil, menyisakan wanita penghibur non-Jepang menjadi korban pemerkosaan beruntun.

Militer juga mengumpulkan wanita penghibur dari daerah setempat. Di wilayah perkotaan, iklan konvensional melalui orang ketiga digunakan bersama dengan penculikan. Namun, di garis depan, terutama di negara di mana orang ketiga jarang tersedia, militer meminta pemimpin lokal untuk menyediakan wanita untuk rumah bordil. Situasi ini menjadi buruk ketika perang berlanjut. Di bawah tekanan usaha perang, militer menjadi tidak mampu lagi untuk menyediakan persediaan yang cukup bagi tentara Jepang; sebagai tanggapan, tentara Jepang meminta atau merampok persediaan dari daerah setempat. Terlebih lagi, ketika orang setempat, terutama Tiongkok, dianggap berbahaya, tentara Jepang mengadakan kebijakan pembersihan (dalam bhs. Jepang:燼滅作戦, dalam bhs. Tionghoa 三光作戰), yang termasuk penculikan dan pemerkosaan penduduk setempat.

Menurut wanita penghibur yang masih hidup menggambarkan rumah bordil Jepang tempat yang mengerikan. Wanita dibagi menjadi tiga atau empat kategori, tergantung lamanya pelayanan. Wanita yang paling baru yang lebih tidak mungkin terkena penyakit kelamin ditempatkan di kategori tertinggi. Namun, dengan berjalannya waktu, wanita penghibur diturunkan kategorinya karena kemungkinan terkena penyakit kelamin lebih tinggi. Ketika mereka dianggap terlalu berpenyakit untuk digunakan lebih lanjut, mereka diabaikan. Banyak wanita melaporkan uterus mereka membusuk dari penyakit yang diperoleh oleh ribuan lelaki dalam waktu beberapa tahun.

Ketika usaha perang mengalami kemunduran dan militer mengevakuasikan posisi mereka di Asia Tenggara, wanita penghibur non-Jepang ditinggalkan. Banyak wanita penghibur mati kelaparan di pulau-pulau yang ditinggalkan ribuan mil dari rumah mereka. Beberapa dapat kembali ke tempat asalnya di Korea atau timur laut Tiongkok.

Galeri

Bacaan lanjutan

Pranala luar