Locus delicti

Revisi sejak 30 Agustus 2021 16.49 oleh Atikah krsn (bicara | kontrib) (benerin typo)

Locus delicti berasal dari kata Locus artinya tempat atau lokasi dan Delicti artinya delik atau tindak pidana.

Terdapat 4 (Empat) teori dalam menentukan tempat terjadinya peristiwa pidana atau locus delicti diantaranya sebagai berikut:[1]

1.      Teori Perbuatan Materil (Leer van de lichamelijkedaad)

Teori ini didasakan pada perbuatan fisik, sehingga teori ini menjelaskan dalam hal dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana adalah tempat dimana perbuatan tersebut dilakukan.

2.      Teori Alat (leer van het instrument)

Teori ini didasarkan terhadap fungsinya suatu alat digunakan dalam perbuatan pidana. Teori ini menegaskan bahwa dianggap tempat terjadinya tindak pidana adalah tempat dimana alat digunakan dalam tindak pidana bereaksi.

3.      Teori Akibat (leer van het gevlog)

Teori ini menjelaskan mengenai akibat dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini menjelaskan bahwa locus delicti adalah tempat dimana akibat dari pada tindak pidana tersebut timbul.

4.      Teori Beberapa Tempat (leer van de lichamelijke daad)

Teori ini menjelaskan mengenai tempat terjadinya tindak pidana mengenai tempat-tempat perbuatan tersebut secara fisik terjadi, tempat dimana alat digunakan bereaksi, serta tempat adanya akibat dari tindak pidana tersebut timbul.

Alasan

Alasan adanya tempus delicti (waktu tindak pidana) penting diketahui untuk menentukan:[1]

1.      Pasal 1 ayat 1 KUHP dengan menentukan apakah suatu perbuatan pada waktu itu telah dilarang dan dincam dengan pidana.

2.      Pasal 1 ayat 2 KUHP dengan menentukan apakah terjadi perubahan dalam perundang-undangan, ketentuan manakah yang diterapkan, undang-undang baru atau yang lama.

3.      Pasal 44 KUHP dengan menentukan apakah terdakwa pada waktu melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.

4.      Apakah terdakwa pada waktu melakukan tindak pidana sudah berumur 12 tahun atau belum, sesuai dengan ketentuan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

5.      Pasal 74 KUHP bahwa batas waktu pengajuan pengaduan, dimulai dari orang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan.

6.      Pasal 75 KUHP bahwa batas waktu menarik kembali pengaduan.

7.      Pasal 79 KUHP bahwa daluwarsa penuntutan.[2]

8.      Pasal 1 butir 19 KUHAP bahwa tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu melakukan tindak pidana atau seterusnya.[3]

Referensi

  1. ^ a b Sastrawidjaja, Sofjan (1990). Hukum Pidana I. Bandung: C.V. Armico. 
  2. ^ Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 
  3. ^ Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.