Hasan Basry

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan
Revisi sejak 31 Agustus 2021 14.12 oleh AABot (bicara | kontrib) (~pl)

Brigjen TNI (Purn.) Hasan Basry (17 Juni 1923 – 15 Juli 1984) adalah seorang tokoh militer dan Pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Simpang Empat, Liang Anggang, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dianugerahi gelar Pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 110/TK/2001 tanggal 3 November 2001.[1]

Hasan Basry
Pangdam X/Lambung Mangkurat ke-1
Masa jabatan
17 Juli 1958 – 24 September 1958
Sebelum
Pendahulu
Jabatan baru
Rektor Universitas Lambung Mangkurat ke-1
Masa jabatan
21 September 1958 – 1963
Sebelum
Pendahulu
Jabatan baru
Pengganti
Milono
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1923-06-17)17 Juni 1923
Belanda Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan
Meninggal15 Juli 1984(1984-07-15) (umur 61)
Indonesia Jakarta
Penghargaan sipilPahlawan Nasional Indonesia
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Pangkat Brigadir Jenderal TNI
SatuanInfanteri
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Masa Muda

 
Hasan Basry menerima rangkaian bunga beberapa saat sesudah pertemuan dengan misi militer Belanda dan utusan PBB (UNCI) di Munggu Raya, Kandangan 2 September 1949

Hasan Basry menyelesaikan pendidikan di Hollands Inlandsche School (HIS) yang setingkat sekolah dasar, kemudian ia mengikuti pendidikan berbasis Islam, mula-mula di Tsanawiyah al-Wathaniah di Kandangan, kemudian di Kweekschool Islam Pondok Modern di Ponorogo, Jawa Timur.[1]

Masa Revolusi Kemerdekaan

Setelah prolamasi kemerdekaan, Hasan Basry aktif dalam organisasi pemuda Kalimantan yang berpusat di Surabaya. Dari sini ia mengawali kariernya sebagai pejuang. Pada 30 Oktober 1945, Hasan Basry berhasil menyusup pulang ke Kalimantan Selatan dengan menumpang kapal Bintang Tulen, yang berangkat lewat pelabuhan Kalimas Surabaya. Sesampainya di Banjarmasin, Hasan Basry menemui H. Abdurrahman Sidik di Pekapuran, untuk mengirimkan pamflet dan poster tentang kemerdekaan Indonesia. Selain itu melalui AA. Hamidhan, juga dikirim pamflet ke Amuntai dengan Ahmad Kaderi, sedangkan yang ke Kandangan dikirim lewat H. Ismail.

Di Haruyan pada tanggal 5 Mei 1946 para pejuang mendirikan Lasykar Syaifullah. Program utama organisasi ini adalah latihan keprajuritan, sebagai pemimpin ditunjuklah Hassan Basry. Pada tanggal 24 September 1946 saat acara pasar malam amal banyak tokoh Lasykar Syaifullah yang ditangkap dan dipenjarakan Belanda. Karena itu Hassan Basry mereorganisir anggota yang tersisa dengan membentuk, Benteng Indonesia.[1]

Pada tanggal 15 Nopember 1946, Letnan Asli Zuchri dan Letnan Muda M.Mursid anggota ALRI Divisi IV yang berada di Mojokerto, menghubungi Hassan Basry untuk menyampaikan tugas yaitu mendirikan satu batalyon ALRI Divisi IV di Kalimantan Selatan. Dengan mengerahkan pasukan Banteng Indonesia Hassan Basry berhasil membentuk batalyon ALRI tersebut. Ia menempatkan markasnya di Haruyan. Selanjutnya ia berusaha menggabungkan semua kekuatan bersenjata di Kalimantan Selatan ke dalam kesatuan yang baru terbentuk itu.[1]

Perkembangan politik di tingkat pemerintah pusat di Jawa menyebabkan posisi Hasan Basry dan pasukannya menjadi sulit. Sesuai dengan Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947), Belanda hanya mengakui kekuasaan de facto RI atas Jawa, Madura dan Sumatra. Berarti Kalimantan merupakan wilayah yang ada di bawah kekuasaan Belanda. Akan tetapi, Hasan Basry tidak terpengaruh oleh perjanjian tersebut. Ia dan pasukannya tetap melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Sikap yang sama diperlihatkan pula terhadap Perjanjian Renville (17 Januari 1948). Ia menolak untuk memindahkan pasukannya ke daerah yang masih dikuasai RI, yakni ke Jawa.[1]

 
Tanda pengenal Hasan Basry sebagai panglima ALRI Divisi IV (A)

Perjuangan Hassan Basry di Kalimantan Selatan selalu merepotkan pertahanan Belanda pada masa itu dengan puncaknya berhasil memproklamasikan kedudukan Kalimantan sebagai bagian dari Republik Indonesia yang dikenal dengan Proklamasi 17 Mei 1949 atau Proklamasi Kalimantan.

Pada tanggal 2 September 1949 dilakukan perundingan antara ALRI DIVISI (A) dengan Belanda, beserta penengah UNCI. Pada kesempatan ini, Jenderal Mayor Suharjo atas nama pemerintah mengakui keberadaan ALRI DIVISI (A) sebagai bagian dari Angkatan Perang Indonesia, dengan pemimpin Hassan Basry dengan pangkat Letnan Kolonel.

Kemudian pada 1 November 1949, ALRI DIVISI (A) dilebur ke dalam TNI Angkatan Darat Divisi Lambung Mangkurat, dengan panglima Letkol Hassan Basry.

Pasca Revolusi Kemerdekaan

Selesai perang kemerdekaan, dia melanjutkan pendidikan agamanya ke Universitas Al Azhar tahun 1951 – 1953. Selanjutnya diteruskan di American University Cairo tahun 1953 – 1955.

Sekembalinya ke tanah air, pada tahun 1956, Hassan Basry di lantik sebagai Komandan Resimen Infanteri 21/Komandan Territorial VI Kalsel. Dan pada tahun 1959, ditunjuk sebagai Panglima Daerah Militer X Lambung Mangkurat.

Pada saat suasana politik memanas karena kegiatan PKI dan ormasnya, Hassan Basry mengeluarkan surat pembekuan kegiatan PKI beserta ormasnya pada tanggal 22 Agustus 1960. Keluarnya surat ini sempat ditegur oleh Presiden Sukarno, namun Hassan Basry sebagai kepala Penguasa Perang Daerah Kalsel tidak mentaati teguran presiden. Pembekuan PKI dan ormasnya diikuti oleh daerah Sulawesi Selatan dan Sumatra Selatan, peristiwa ini dikenal dengan sebutan Tiga Selatan (Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan).

Pada tahun 1961 – 1963, dia menjabat Deputi Wilayah Komando antar Daerah Kalimantan dengan pangkat Brigadir Jenderal. Pada tanggal 17 Mei 1961, bertepatan peringatan Proklamasi Kalimantan, sebanyak 11 organisasi politik dan militer menetapkan Hassan Basry sebagai Bapak Gerilya Kalimantan. Kesepakatan ini diikuti oleh ketetapan DPRGR Tingkat II Hulu Sungai Utara pada tanggal 20 Mei 1962, yaitu ketetapan Hassan Basry sebagai Bapak Gerilya Kalimantan.

Pada 1960 – 1966, Hassan Basry menjadi anggota MPRS. Pada tahun 1970, dia diangkat sebagai Ketua Umum Harian Angkatan 45 Kalsel sekaligus sebagai Dewan Paripurna Angkatan 45 Pusat dan Dewan Paripurna Pusat Legiun Veteran Republik Indonesia. Pada 1978 – 1982, Hassan Basry menjadi anggota DPR.

Hassan Basry meninggal pada tanggal 15 Juli 1984 setelah sakit dan dirawat di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Pemakaman dia dilaksanakan secara militer dengan inspektur upacara Mayjen A.E. Manihuruk. dia dimakamkan di Liang Anggang Banjarbaru Kalimantan Selatan. Atas jasa-jasanya, dia dianugerahi sebagai Pahlawan Kemerdekaan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 3 November 2001.

Peran di Bidang Pendidikan

Hassan Basry, bersama rekan-rekan Kesatuan Tentara Nasional Indonesia Divisi Lambung Mangkurat, para pejuang dan tokoh masyarakat, membentuk Dewan Lambung Mangkurat pada tanggal 3-10 Maret 1957. Salah satu rencana kerja adalah mendirikan perguruan tinggi di Kalimantan. Pada pertengahan tahun 1958 dibentuk Panitia Persiapan Pendirian Universitas Lambung Mangkurat yang diketuai Hassan Basry.[2]

Pada 21 September 1958, panitia berhasil mendirikan Universitas Lambung Mangkurat dengan susunan kepemimpinan: Presiden Universitas: Letkol H. Hasan Basry; Wakil Presiden: Mayor Abdul Wahab Syahranie; dan Sekretaris: Drs. Aspul Anwar. Pada awal berdirinya, universitas ini terdiri atas empat fakultas, yaitu: Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sosial dan Politik, dan Fakultas Islamilogi. Pada tanggal 1 November 1960, Universitas Lambung Mangkurat resmi sebagai perguruan tinggi negeri (PTN).[2]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e PERANGINANGIN, Marlon dkk; Buku Pintar Pahlawan Nasional. Batam: Scientific Press, 2007.
  2. ^ a b "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-07-09. Diakses tanggal 2014-07-30. 

Pranala luar