Mahrus Amin

Pendiri pondok pesantren darunnajah
Revisi sejak 3 September 2021 08.55 oleh Indriyani Permatasari (bicara | kontrib) (sunting sumber kutipan)

Drs. K.H. Mahrus Amin (14 Februari 1940 – 7 Agustus 2021)[1][2] adalah Pendiri dan Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah serta Pondok Pesantren Madinatunnajah.

Drs. K.H. Mahrus Amin
Berkas:KHmahrusamin2.jpg
Lahir14 Februari 2021
Cirebon
Dikenal atasPimpinan Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta
JabatanPondok Pesantren Darunnajah
PendahuluAbdul Manaf Mukhayyar
Kamaruzzaman Muslim
Suami/istriSuniyati Manaf
AnakEmah Maziyah
Nana Rusydiana
Diah Nadiah
Ahmad Najih
Situs webhttp://www.darunnajah.com/

Awal Kehidupan

Mahrus Amin lahir di desa Kalibuntu, Ciledug (sekarang Kalimukti, Pebadilan) Cirebon pada 14 Februari 1940. Kedua orangtuanya asli Cirebon dan Brebes. Ayahnya, Casim Amin merupakan warga asli Kalimukti yang keturunan kuwu (setingkat lurah) dan masih memiliki hubungan darah dengan Wirasuta, salasatu anak cucu waliyullah Syarif Hidayatullah. Sementara ibunya, Hj. Jamilah berasal dari Losari. Beliau adalah cucu dari Kyai Idris, pemimpin Ponpes Lumpur, di Desa Lumpur, Losari, Brebes.[3]

Nama Mahrus sendiri diambil dari nama guru sang ayah, Kiai Mahrus Ali asal Gedongan, Cirebon. Kekaguman sang ayah pada gurunya tersebut, membuatnya bertekad, bila suatu ketika dikaruniai seorang anak laki-laki, maka dia akan memberinya nama Mahrus agar kelak menjadi orang yang bermanfaat dan memiliki pesantren seperti Kiai Mahrus Ali Gedongan.

Mahrus kecil hidup dalam kondisi yang amat sederhana. Orangtuanya memiliki usaha persewaan delman, namun begitu memasuki masa penjajahan Jepang, ekonomi keluarga menjadi lebih sulit. Masih diingat oleh Mahrus betapa tidak mudahnya memperoleh sandang dan pangan. Ia sering mengenakan pakaian yang dihinggapi kutu busuk, tak pelak rasa gatal menemani hari-harinya.

Usia penjajahan Jepang, Mahrus kecil kembali merasakan kecaman perang di masa revolusi kemerdekaan. Masa ini begitu membekas di benaknya. Di usia 8 tahun, sewaktu duduk di bangku kelas 3 Sekolah Rakyat Islam, ia terpaksa berhenti sekolah demi hidup di pengungsian. Bersama keluarganya, ia berpindah-pindah tempat, masuk-keluar hutan, bergaul dengan pejuang dan melihat mayat korban perang.

Sang ayah bergabung dalam Laskar Hizbullah yang membuatnya menjadi target pencarian Belanda. Meski demikian, hal itu tidak menyurutkan semangat beliau untuk membela Tanah Air. Oleh ayahnya, Mahrus diberi misi khusus untuk menjadi mata-mata bagi pasukan Indonesia.

Bersama teman-teman sepermainannya, Mahrus membaur di tengah masyarakat dan menyusup ke wilayah manapun tanpa diperiksa tantara Belanda. Saat berhasil masuk ke suatu wilayah, ia diminta untuk menghitung korban dari rakyat dan para pejuang. Karena sering berpindah-pindah, ia kerap dicari ayah-ibunya yang khawatir akan keselamatannya.

Posisi daerah tempat pengungsian Mahrus yang diapit dua bukit, membuat Belanda kesulitan untuk masuk ke wilayah tersebut. Namun Belanda tak kehabisan akal, dikirimnya bom-bom berdaya ledak tinggi dari Cileduk untuk menghancurkannya. Alhasil, berlindung dari hujanan bom dengan berpindah-pindah tempat dan bersembunyi di kolong jembatan adalah hal biasa.

Masih jelas dalam ingatan Mahrus, suatu ketika saat ia sedang bersembunyi bersama ibunya, di salahsatu rumah di Cikansas, tiba-tiba saja Kiai Haji Mansyur meminta Mahrus bersama belasan pengungsi lainnya segera keluar dan mengungsi ke tempat lain. Benar saja, hanya berselang 5 menit, bom meledakkan rumah tersebut.

Setelah Belanda ditarik mundur, Mahrus dan keluarga kembali ke Kalibuntu. Perang membuat perekonomian terpuruk. Usaha persewaan delman orangtuanya sudah tak ada, karena delmannya direlakan untuk membawa keperluan mengangkut senjata dan logistik bagi para pejuang saat revolusi kemerdekaan.

Oleh kedua orangtuanya, Mahrus dimasukkan ke Madrasah Ibtidaiyyah di Losari, Brebes. Untuk mencapai sekolahnya, setiap hari ia berjalan kaki sejauh 7 kilometer, melintasi perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Madrasah tempat Mahrus menimba ilmu menerapkan sistem klasikal dengan menggabungkan pelajaran umum dan pelajaran agama. Pengajarnya merupakan alumni dari perguruan tinggi di Mesir yang mendopsi sistem pendidikan di negara tersebut. Tahun 1953, Mahrus lulus dari madrasah. Ia diminta orangtuanya untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi untuk meneruskan tradisi keluarga, menjadi guru dan panutan bagi masyarakat.

Karena bercita-cita menjadi guru, tentu saja SGB (Sekolah Guru Bantu) dan SGA (Sekolah Guru Atas) menjadi tujuan Mahrus. Namun saat Orde Baru, sekolah-sekolah ini dihapus. Orangtuanya pun menyarankan Mahrus agar mendaftar ke Pondok Modern Gontor di Ponorogo. Bersama 7 temannya Mahrus berangkat ke Gontor untuk mengikuti jenjang KMI (Kuliyatul Mualimin Al-Islamiyah) selama 6 tahun. KMI menggabungkan tingkat Tsanawiyah dan Aliyah dalam 1 paket.  Namun dari 7 orang, hanya Mahrus yang berhasil menyelesaikan jenjang KMI.

Kehidupan Semasa Mondok

Masa-masa Mahrus menjadi santri diwarnai oleh besarnya pengaruh PKI di Ponorogo. Stereotipe santri sebagai kaum sarungan bersama sentimen politik yang berkembang saat itu, membuat para santri acap “berhadap-hadapan” langsung dengan massa pendukung PKI (Partai Komunis Indonesia) melalui anak organisasinya BTI (Barisan Tani Indonesia). Baik PKI maupun BTI kerap menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kaum santri. Di antaranya dengan upaya pembakaran pagar Ponpes Gontor tahun 1956 dan upaya pembunuhan terhadap Kiai Zuhri, Kiai Ahmad Sahal dan Kiai Imam Zarkasyi yang dapat digagalkan setelah kehadiran pasukan Siliwangi.

Saat menjadi santri, Mahrus memperoleh tugas mengurus penerangan listrik dan alat-alat pengeras suara yang masih mengandalkan aki (accu) sebagai sumber energi. Untuk mengisi ulang daya aki, Mahrus harus bersepeda ke Kota Ponorogo seorang diri. Kondisi yang mencekam, membuat Mahrus merasa kuatir akan keselamatan dirinya. Bersyukur ia berhasil melalui masa-masa tersebut dengan selamat. Di samping tugas tersebut, Mahrus juga diberi tugas oleh Kiai Ahmad Sahal untuk mengajarkan cucunya, Hasan, Aljabar. Sementara oleh Kiai Imam Zarkasyi, ia dipercaya untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas administrasi, salahsatunya mengisi formulir bantuan dari Departemen Sosial.  

Mahrus menyukai aktivitas dalam organisasi santri. Ia adalah pengurus santri konsulat Jawa Barat. Namun dari semua aktivitas, Mahrus paling menyukai kegiatan kepanduan (Pramuka). Kecintaannya pada kegiatan kepanduan telah hadir sejak ia duduk di bangku SR saat mengikuti kepanduan Hizbul Waton. Kelak kegiatan ini dilanjutkan Mahrus saat mendirikan dan memimpin Ponpes Darunnajah.

Mahrus mengakui pengaruh tiga serangkai, Kiai Ahmad Sahal, Kiai Imam Zarkasyi dan Kiai Fanani amat membekas dalam pembentukan karaternya. Kiai Ahmad Sahal menanamkan nilai-nilai perjuangan. Bahwa ia tidak perlu takut menghadapi tantangan-tantangan hidup karena pada dasarnya hidup adalah perjuangan. Mahrus mengamini hal ini, sejak menjadi santri hingga kelak ia mendirikan dan memimpin Darunnajah, tantangan datang silih berganti.

Sementara dari Kiai Imam Zarkasyi, Mahrus memperoleh teladan langsung berupa nilai keikhlasan, kemandirian, persaudaraan, kesederhanaan dan kebebasan. Nilai-nilai inilah yang dikemudian hari diterapkan oleh Mahrus di Ponpes Darunnajah. Adapun dari Kiai Fanani yang saat itu bertugas di Departemen Sosial, Mahrus merasa dibuka wawasannya tentang kehidupan bermasyarakat. Kiai Fanani berpesan agar ia peduli pada masyarakat dan terlibat aktif mengatasi masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.

Sampai akhir masa belajar di Gontor, Mahrus belum memiliki kemantapan hati untuk mengabdikan ilmu dengan membangun pesantren. Namun suatu hari di tahun 1960, saat kunjungan Rektor Universitas Al Azhar Mesir, Syeikh Mahmud Saltut ke Indonesia, Mahrus seperti mendapatkan momentum untuk memantapkan hati untuk membangun pesantren. Saat itu Syeikh Saltut menginap di Sarangan, Madiun. Para kiai menemui beliau dan pulang membawa amanat untuk para santri untuk membangun seribu pondok modern seperti Gontor di seluruh Indonesia.

Amanah itu demikian memberi pengaruh luar biasa ke dalam diri Mahrus. Sejak saat itu, ia bertekad untuk berusaha sekuat tenaga mengisi umur dengan berdakwah lewat dunia pendidikan khususnya pondok pesantren. Semangat itu tak pernah padam yang di kemudian hari melatari ikhtiar Mahrus untuk membangun 1000 pesantren Nusantara.

Hijrah ke Ibukota

Selepas lulus dari Gontor, atas saran pamannya, Prof. Tohir Abdul Muin, Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga, pada 2 Februari 1961 Mahrus melabuhkan kehidupannya di Jakarta. Di ibukota, Mahrus tinggal di kantor PB Makmur milik H. Abdul Manaf Mukhayyar yang berlokasi di Palmerah, Jakarta Barat. Mahrus mengenal PB Makmur dari Hasim Munif, rekannya sesama alumni Gontor yang bekerja di PB Makmur.

Semasa tinggal di PB Makmur, Mahrus memperoleh informasi bila Raudhatul Athfal, sebuah lembaga pendidikan pimpinan Ustad Abdillah Amin di bilangan Petukangan membutuhkan tenaga pengajar. Mahrus mendapat tawaran mengajar sejak 1 April 1961 di lembaga tersebut. Inilah awal Mahrus mengabdikan ilmu yang diperolehnya selama di Gontor.

Raudhatul Athfal berada di bawah Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Islam (YKMI). Yayasan ini dibentuk pada 30 Desember 1960. Tepatnya setelah hadir keinginan untuk membangun pondok pesantren di bilangan Ulujami yang tanahnya merupakan wakaf dari H. Abdul Manaf Mukhayyar. Tanah wakaf yang diberikan adalah tanah yang dibeli dari hasil gusuran Madrasah Al-Islam Petunduhan (sekarang kelurahan Gelora) pimpinan H. Abdul Manaf. Madrasah tersebut terkena gusuran bagi proyek pembangunan arena olahraga Asian Games IV tahun 1962, dengan nilai Rp. 150.000,00.

Setelah mendengar saran dari Drs. H. Kamaruzzaman, tokoh pemuda Palmerah yang sedang kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, H. Abdul Manaf setuju membeli tanah di pinggiran Jakarta untuk dibangun pesantren. Drs. H. Kamaruzzaman juga menyarankan agar H. Abdul Manaf menemui H. Moh. Kosim, tokoh Palmerah yang menetap di Cipulir. Melalui H. Moh. Kosim, H. Abdul Manaf membeli tanah seluas 4 hektar, yang diperluas menjadi 6 hektar dengan penjelasan, 5 hektar untuk wakaf, dan sisanya 1 hektar untuk pribadi.

Untuk mewujudkan cita-cita membangun ponpes, YKMI dibentuk dengan susunan pengurus sebagai berikut: H. Moh. Kosim (Ketua), Drs. H. Kamaruzzaman (Sekretaris) dan H. Abdul Manaf Mukhayyar (Bendahara). Kehadiran yayasan ini memperoleh respons positif dari tokoh masyarakat di Ulujami dan Petukangan seperti: H. Abdillah Amin, H. Satiri (Ulujami), H. Sidik Makmun, H, Sidik, H. Satiri (Petukangan), Abbas dan lain sebagainya. Salahsatu bentuk dukungan tersebut ditujukan oleh H. Abdillah Amin dengan menyerahkan Raudhatul Athfal di Petukangan untuk bergabung di YKMI.

Raudhatul Athfal merupakan lembaga pendidikan setingkat madrasah ibtidaiyyah (SD). Penamaan yang kurang tepat membuat YKMI menyetujui usulan Ustad Aminullah, salahsatu kerabat H. Abdul Manaf, untuk mengganti namanya menjadi Darunnajah (rumah keberhasilan). Oleh Mahrus, penamaan Darunnajah digandengkan dengan “balai pendidikan” menjadi Balai Pendidikan Darunnajah, mengikuti Balai Pendidikan Pondok Modern Gontor.

Memimpin Madrasah Darunnajah Petukangan

Pada 1 Agustus 1961, Mahrus mendapat amanah untuk mengurus bidang pendidikan di Balai Pendidikan Darunnajah di Petukangan. Bersama teman-temannya, A. Hafizd Dasuki, Ridho Masduki dan A. Rahim Hidayat, Mahrus mengembangkan madrasah ini menjadi pesat. Tidak hanya membuka jenjang TK tapi juga membuka Sekolah Dasar dan SLTP.

Pada tahun 1964, H. Muhammad Kosim meninggal dunia yang membuat aktivitas YKMI sempat mengalami kevakuman. Meski pengurus baru ditunjuk, namun sebagian besarnya adalah orang-orang sibuk yang bekerja di pemerintahan atau masih kuliah. Dampaknya pada minimnya kegiatan YKMI. Hanya menyelenggarakan rapat untuk membahas hal-hal penting. Ini berlangsung antara tahun 1964-1970.

Ketidakaktifan pengurus YKMI dirasakan oleh lembaga pendidikan yang dinaunginya. Para pengajar kurang mendapat perhatian dari yayasan. Hal tersebut mendorong Mahrus selaku pemimpin Darunnajah Petukangan melakukan upaya agar cita-cita pendirian Ponpes tetap terjaga. Di antaranya, dengan melakukan koordinasi secara intens dengan H. Abdul Manaf di Palmerah, Ustad Abdillah Amin di Petukangan dan H. Kamaruzzaman di Kemandoran serta merintis pendirian Ponpes.    

Tahun 1968, H. Abdul Manaf berupaya menjual tanah di Ulujami untuk membebaskan tanah seluas 10 hektar di Petukangan untuk pengembangan Ponpes Darunnajah di Petukangan. Kendati H. Abdul Manaf sudah memberikan uang muka pembebasan pada masyarakat Petukangan, namun sampai tahun 1969, tanah tersebut tak juga terjual.  

Di tengah ketidakpastian tersebut, pada tahun 1969, atas restu H. Abdul Manaf, Mahrus memindahkan gedung Madrasah Ibtidaiyyah yang sudah dibangun di Ulujami untuk dipakai bagi kegiatan belajar-mengajar Madrasah Tsanawiyyah di Darunnajah Petukangan. Adanya gedung ini, mendorong Mahrus mengumpulkan beberapa siswa Tsanawiyyah untuk bermukim di sana. Beberapa guru juga turut serta diajak antara lain, Ustad Lambery Djiddi dan Ustad Ahmad Soleh.

Untuk mengukuhkan langkah tersebut, pada 30 Maret 1969, diselenggarakan ikrar pendirian Pondok Pesantren Darunnajah Petukangan. Hadir sebagai saksi Dr. Mohammad Natsir, Nurcholis Madjid dan tokoh-tokoh masyarakat Muslim. Saat ikrar dilangsungkan, sudah ada 14 santri yang bermukim di Darunnajah Petukangan.  

Sistem pendidikan Darunnajah mengikuti sistem Gontor, baik kurikulum, model pendidikan maupun pola pembiayaannya. Mensinerjikan pendidikan agama dan umum dilengkapi dengan keterampilan non-formal semisal olahraga, kesenian dan Pramuka, memungkinkan siswa MTs Darunnajah siap menjadi guru bagi lembaga pendidikan negeri maupun swasta.

Hal yang membedakan adalah adanya penerbitan ijazah bagi para siswa sebagai bukti bahwa mereka pernah bersekolah di Darunnajah. Di awal, Mahrus mengikuti Gontor yang tidak menerbitkan ijazah bagi santri-santrinya. Namun hal itu menjadi kendala saat alumnus mengisi formasi guru yang ditawarkan Depag. Ia pun mulai menyetujui penerbitan ijazah tersebut.

Pada kurun waktu 1960-1970, lembaga pendidikan swasta masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah sehingga Darunnajah membiayai kegiatan pendidikannya secara mandiri. Untuk mencukupi kebutuhan rutinnya, Darunnajah mengandalkan iuran wali murid dan dukungan finansial dari donator seperti Arsyad Siagian (bagian keuangan Pemda DKI), H. Satiri, H. Abdul Manaf, Majelis Taklim Ibu-ibu Petukangan dan masyarakat Petukangan.

Masih di tahun yang sama dengan ikrar pendirian Ponpes, Darunnajah Petukangan membangun panti asuhan yatim piatu. Pembiayaan pembangunan ini dilakukan secara mandiri yaitu dengan membebaskan tanah seluas 1000 meter persegi milik H. Hasbullah, salah seorang pengurus YKMI. Oleh Mahrus, tanah itu dilelang sehingga terjual dengan harga Rp. 250 per meter persegi atau senilai total Rp. 250.000,00. Tetapi dana tersebut tidak mencukupi. Akhirnya dengan dukungan dana dari keluarga, majelis taklim dan para donator, kekurangannya dapat dipenuhi.

Setahun kemudian, panti asuhan tersebut sudah mulai menampung anak-anak yatim piatu. Ustad Abdillah Amin yang dulu memimpin Raudhatul Athfal dipercaya memimpin panti asuhan. Maka sejak tahun 1970, Darunnajah Petukangan menaungi madrasah dan panti asuhan. Untuk mengurus segala keperluannya, dibentuklah Yayasan Annajah. Ustad Abdillah Amin menjadi ketua, didampingi Mahrus sebagai wakil.

Sementara itu tanah di Ulujami hingga tahun 1972, tak kunjung terjual. Maka di tahun ini pula, rencana pembangunan Ponpes Darunnajah Petukangan diurungkan, dan ikhtiar mendirikan Ponpes di Ulujami kembali digiatkan. Di masa mendatang, perkembangan Darunnajah Ulujami memberi dampak positif bagi perkembangan Madrasah Darunnajah Petukangan. Layaknya saudara kandung, Darunnajah Petukangan semakin populer di masyarakat berkat kurikulumnya yang memadukan pengetahuan agama dan umum.  Pada perkembangannya, di tahun 2005, Madrasah Darunnajah Petukangan berganti nama menjadi Madrasah Annajah.   

Merintis Hadirnya Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami      

Berbekal restu dari H. Abdul Manaf yang di tahun 1972, telah menjadi mertuanya, Mahrus mulai menyeriusi ikhtiarnya membangun Ponpes di Ulujami. Di awal ikhtiar ini berkendala, karena masyarakat Petukangan tidak ingin wilayahnya kehilangan kesempatan untuk memiliki Ponpes. Namun selepas musyawarah guru di Cibodas, Mahrus bersama istri secara diam-diam mulai menetap di perkebunan Ulujami untuk memulai pembangunan Ponpes Darunnajah Ulujami.

Mengikuti langkah Rasulullah Saw yang membangun masjid saat hijrah ke Madinah, Mahrus pun mengawali pembangunan di Ponpes Darunnajah dengan mendirikan masjid di tahun 1973. Desain masjid dibuat oleh Ir. Ery Chayaridipura. Bahan materialnya diperoleh dengan melakukan pembuatan swadaya batu bata yang dikoordinir oleh sang ayah, Casim Amin.

Tentu saja tidak cukup dengan batu bata semata. Untuk memenuhi kebutuhan bangunan lainnya dan keperluan pendirian pesantren secara umum, di awal-awal menggunakan harta H. Abdul Manaf. Bersamaan dengan itu, Mahrus juga membuka toko bahan bangunan di Kali Raya dan membuat usaha percetakan dan sablon, juga berjualan ayam dan memasoknya di sekitar restoran Jakarta. Tahun 1974, masjid pusaka dengan ukuran 11 x 11 meter rampung dibangun. Bangunan ini terdiri dari 3 bagian. Sisi sayap kanan dan kiri dipakai untuk kelas, kamar depan untuk guru dan karyawan serta ruang tengah untuk pembinaan santri dan salat berjemaah.

Pada 1 April 1974, Ponpes Darunnajah Ulujami memulai kegiatan belajar-mengajar dengan 3 orang santri mukim. Untuk menyemarakkan kegiatan pendidikan, Madrasah Tsanawiyyah Darunnajah Petukangan dipindahkan ke Ulujami. Seiring berjalannya waktu, santri mukim pun bertambah menjadi 9 orang di tahun 1975. Di tahun 1976, Madrasah Tsanawiyyah Darunnajah Petukangan kembali dibuka tanpa menerima santri mukim. Sementara Darunnajah Ulujami secara bertahap mengkhususkan kegiatan pendidikannya untuk santri mukim, yang di tahun 1978 telah bertumbuh menjadi 150 santri.

Pertumbuhan jumlah santri yang cukup besar, membuat Mahrus berupaya mengembangkan bangunan fisik. Melalui perantara Ir. Ery Chayanadipura, pada tahun 1976 Darunnajah memperoleh bantuan 3 gedung sekolah dari Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Setiap gedung memuat 8 lokal ruang kelas. Dalam waktu 3 tahun sejak berdiri, Darunnajah telah memiliki 24 ruang kelas untuk level SD, SLTP dan SLTA.

Di tahun 1978, Mahrus dibantu Agus Cik (Staf Ketua Dewan Dakwah Islamiyah H. Mohammad Natsir) mengirimkan proposal pembangunan 2 gedung asrama putra ke pemerintah arab Saudi di Jakarta, Syeikh Abu Bakar Khumaish. Proposal itu disetujui dengan komitmen bantuan dana sebesar USD 100.000 (Rp. 100.000.000) pada tahun 1979.

Berjuang Meraih Dukungan Masyarakat

Awal pendirian Ponpes Darunnajah, berbagai rintangan tidaklah terelakkan. Salahsatunya dari masyarakat sekitar yang melihat kehadiran Ponpes sebagai ancaman. Mereka kuatir Mahrus yang bukan berasal dari masyarakat setempat, membawa ajaran Islam dan kultur yang berbeda dengan yang mereka jalani. Menghadapi hal ini, Mahrus memunculkan ide cemerlang untuk merangkul masyarakat dengan membentuk koperasi serba usaha yang mengakomodir kebutuhan home industry masyarakat perajin peci/songkok.[4]  

Mahrus juga mendirikan SDI Darunnajah untuk menampung anak-anak usia sekolah. Kurikulum SDI Darunnajah di tahun 1973 sudah lebih maju dibandingkan madrasah lainnya. Kegiatan belajar-mengajar tidak hanya di kelas semata tapi juga merambah ke kegiatan ekstakurikuler seperti kesenian, qasidah dan sepakbola. Pada tahun 1978, Darunnajah telah menggelar kompetisi sepakbola tingkat SD se-DKI Jakarta bernama Darunnajah Cup.  

SDI Darunnajah juga aktif dalam kegiatan Pramuka. Salahsatu aktivitas yang rutin dilakukan adalah lomba menanam pohon pepaya, pohon pisang serta menebar bibit tanaman hias yang melibatkan masyarakat. Hal-hal tersebut membuat banyak orangtua dari masyarakat sekitar percaya menitipkan anaknya di SDI Darunnajah. Dari merekalah kemudian informasi mengenai Darunnajah menyebar ke masyarakat.  

Di samping itu, Mahrus menerima pasokan makanan (jajanan) dari ibu-ibu majelis taklim sekitar untuk dijual di kantin Darunnajah. Secara rutin Mahrus juga membina majelis taklim untuk masyarakat Ulujami dan sekitar, para pemasok makanan dan ustadzah serta ibu-ibu karyawan Darunnajah. Taklim ini ditujukan untuk memperat silaturahim antara warga Ponpes dengan masyarakat sekitar.[5]

Mahrus memberi materi Al-Qur’an dan terjemahannya serta membahas kitab Riyadusshalihiin dan Durratunnasihiin. Majelis Taklim ini berjalan hingga kini, setiap tahunnya menyalurkan zakat fitrah dan melakukan distribusi daging kurban dari Darunnajah ke masyarakat sekitar.  Dengan izin Allah, upaya-upaya yang dilakukan mampu merebut hati masyarakat. Mereka mendukung kehadiran Darunnajah. Bahkan mereka mengapresiasi segenap upaya yang dilakukan Mahrus dan segenap pengelola Ponpes. Hal ini ditujukan dengan semakin banyaknya anak-anak dari masyarakat sekitar yang bersekolah di Ponpes.

Riwayat Pendidikan

Ia menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat Islam Losari Brebes pada tahun 1954, kemudian melanjutkan pendidikannya ke KMI Pondok Modern Darussalam Gontor dan lulus pada tahun 1961. Kemudian melanjutkan pendidikan Sarjana Jurusan Ilmu Dakwah di Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta dan lulus pada tahun 1972.

Pengalaman Organisasi

  • Merintis dan memimpin Pondok Pesantren Darunnajah
  • Merintis dan memimpin Pondok Pesantren Madinatunnajah
  • Pendiri dan Ketua I Yayasan Qolbun Salim Jakarta
  • Anggota Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta
  • Ketua I DPP Forum Islamic Center Indonesia
  • Ketua I DPP GUPPI (Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam)
  • Ketua MSKP3I (Majelis Silaturahmi Kyai Pengasuh Pondok Pesantren Indonesia)
  • Ketua Majelis Syuro Bakomubin (Badan Koordinasi Muballigh Indonesia) Periode 2017-2022

Karya Tulis

  • Ibadah Amaliyah
  • Dakwah Melalui Pesantren

Penghargaan

Sejumlah Penghargaan yang diraih oleh Drs. K.H. Mahrus Amin:

  • Lencana Tunas Kencana dari Menteri Agama RI, Muhammad Maftuh Basyuni, 14 Agustus 2007
  • Lencana Melati dan Dharma Bakti dari Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai tokoh kepanduan Asia-Pasifik, 14 Agustus 2008
  • Penghargaan Ikhlas Bakti dari Menteri Agama RI, Suryadharma Ali, asat jasa dalam penguatan kelembagaan peningkatan mutu tata kelola dan peningkatan kualitas SDM di Pondok Pesantren, 2 Januari 2011
  • Penganugerahan Bintang Semangat Rimba Perak dari Persekutuan Pengakap Malaysia oleh Seri Paduka Baginda yang di-Pertuan Agong Al-Wathiqu Billah Tuanku Mizan Zainal Abidin di Istana Melawati Putrajaya Malaysia, diberikan kepada tokoh-tokoh yang telah berbakti kepada pergerakan pengakap (Pramuka), 15 Maret 2011

Referensi

  1. ^ Pendiri Pondok Darunnajah, KH Mahrus Amin Meninggal Dunia
  2. ^ Pendiri dan Pimpinan Ponpes KH Mahrus Amin Meninggal Dunia
  3. ^ Setiyono, Sri Nanang; Qodir, H. Abdul Haris (2008/14 Februari). KH. Mahrus Amin Dakwah Melalui Pondok Pesantren: Pengalaman Merintis dan Memimpin Pondok Pesantren Darunnajah. Jakarta: Group DANA. hlm. 138 + x hal. 
  4. ^ Lutfi, MM., Muhaemin, KH., Drs., Ustadz (2010). Sosok Manusia Unik, Antik dan Menarik dalam "Kyai Entrepreneur: 70 Tahun KH. Mahrus Amin". Jakarta: Panitia Tasyakuran 70 Tahun KH. Mahrus Amin. hlm. 285+xvii. 
  5. ^ Maziyah, S.Ag., Emah, Hj. (2010). Perjalanan Bersama Sang Ayah dalam "Kyai Entrepreneur: 70 Tahun KH. Mahrus Amin". Jakarta: Panitia Tasyakuran 70 Tahun KH. Mahrus Amin. hlm. 285+xvii. 

Pranala luar

https://darunnajah.com/drs-kh-mahrus-amin/drs-kh-mahrus-amin/