Iskandar Alisjahbana

akademisi Indonesia

Iskanda Alisjabana, (20 Oktober 1931 – 16 Desember 2008), meraih gelar Sarjana Muda dari Institut Teknologi Bandung pada 1954 dan gelar Doktor pada 1960 dari Sekolah Tinggi Teknik Damstadt di Jerman.

Berkas:Iskandar Alisjahbana.jpg
Prof. Dr. Iskandar Alisjahbana

Bapak sistem komunikasi satelit domestik palapa[1][2] itu pernah menjadi rektor dan memimpin Institut Teknologi Bandung pada 1977-1978[3], jabatan yang dicabut darinya karena aksi demonstrasi mahasiswa pada masa itu. Ketika itu beliau "berdiri" di belakang mahasiswa melancarkan protes terhadap pemerintah saat itu yang kemudian karena pilihan beliau itu, jabatan Rektor ITB, sebuah jabatan sangat prestisius, harus rela beliau serahkan. Sungguh sosok yang patut diteladani.[4]

Beliau adalah pakar elektronik penggagas tele blackboard sebuah teknologi yang bisa merekam tulisan tangan di atas papan elektronik, yang bisa dikirim ke lokasi yang jauh menggunakan gelombang radio atau televisi, sebuah teknologi yang bermanfaat bagi dunia pendidikan dan telekomunikasi.

Mantan Rektor Institut Teknologi Bandung, Prof. Dr-Ing. Iskandar Alisjahbana meninggal dunia pada Selasa malam, 16 Desember 2008 di Bandung dalam usia 77 tahun. Putra sulung Prof Dr Mr Sutan Takdir Alisjahbana itu meninggal dunia di Rumah Sakit Boromeus pada pukul 23:08.

Prof Iskandar dimakamkan pada hari Rabu 17 Desember 2008 di samping makam ayahnya Prof Sutan Takdir Alisjahbana di Tugu, Jawa Barat. Prof Iskandar meninggalkan seorang istri, Prof Anna Alisjahbana, tiga orang putra, dan enam orang cucu.

Kesan-Kesan dari Anak Didik

Anonymous

Kesan saya yang tidak terlupakan kepada Profesor Iskandar adalah saat saya diwisuda pada tahun 1974. Sebagai dekan Departemen Elektroteknik, beliau berdiri bersama rektor ITB, Prof Dr. Dodi Tisna Amidjaya, menyalami seluruh wisudawan dari lulusan elektroteknik. Beliau menjabat tangan para wisudawan dengan erat sambil bertanya "Mau kerja dimana? Mau gaji berapa?"

Memang pada era awal tahun 70 an beliau adalah salah seorang penggagas enterpreneurship yang sangat aktif. Pada setiap kesempatan bertemu baik ceramah, tatap muka maupun kuliah beliau selalu memompakan semangat enterpeneurship kepada para mahasiswanya. Beliau selalu tampil dengan ide-ide serta pemikirannya yang baru, tidak ingin terikat dengan pola pikir yang umum dianut oleh orang-orang di sekitar beliau. Beliau tidak konservatif dan selalu terbuka untuk menerima hal-hal yang baru. Beliau seolah-olah terkesan revolusioner dan dekat dengan generasi muda.

Pada tahun-tahun sebelumnya lulusan ITB sebagian besar bekerja di pemerintah sebagai pegawai negri. Beliau mendorong para insinyur yang baru lulus untuk berwiraswasta, berfikir bebas, membuka usaha baru. Mungkin dengan latar belakang inilah beliau merasa tidak cocok untuk tetap menjadi rektor yang pada saat itu ditutup untuk me-"netralisir" kampus dari kegiatan politik.

Onno W. Purbo

"Om Is", begitulah sebutan panggilan Iskandar Alisjahbana, oleh salah seorang anak didiknya, Onno W Purbo


Arifin Panigoro

Kombinasi Wirausaha dan Inovator
Kamis, 18 Desember 2008 | 00:56 WIB
Arifin Panigoro


Deru angin, bau segar dedaunan, dan pohon seperti baru kemarin terhirup di hidung. Sesekali udara dingin serasa menembus kulit. Begitulah hari-hari ketika saya duduk di belakang kemudi mengantarkan Pak Iskandar Alisjahbana ke lokasi pembangunan stasiun relai di Tangkuban Perahu pada tahun 1963. Beliau dengan beberapa dosen elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama kalangan pengusaha lain dari Philips Ralin dan Telkom membangun fasilitas relai TV tersebut. Saat itu saya masih duduk di kelas III SMA. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Pak Is. Sebenarnya Pak Is adalah teman orangtua saya. Kegiatan pembangunan stasiun rela di Tangkuban Perahu itulah yang mengantarkan saya untuk mengenal sosok Pak Is lebih dalam, dan turut menentukan jalan hidup saya di kemudian hari. Ketika saya lulus SMA, beliaulah yang menyuruh saya untuk memilih jurusan elektro di ITB.

Pak Is dikenal luas sebagai seorang dosen, guru besar bidang elektro teknik dan ahli elek- tronika, tetapi pelajaran yang ia berikan tidak berhenti di papan tulis, diktat, dan ruang-ruang kuliah di kampus Ganesha. Di luar berbagai mata kuliah itu yang lebih kuat terekam dari sosok Pak Is adalah ikhtiarnya, yang tidak kenal lelah, untuk mencetak mahasiswa sebagai sosok berkepribadian—memin- jam istilah Pak Is—dan ber- kecerdasan yang utuh. Pribadi yang utuh ini merujuk pada kemampuan si mahasiswa dalam menyerap ilmu pengetahuan di kampus dan menerapkannya pada kehidupan yang bersang- kutan dengan harapan memberi manfaat bagi orang banyak.

Bagi Pak Is kepribadian dan kecerdasan utuh itu bisa dicapai dengan membangun semangat entrepreneurship. Contoh tero- bosan inovasi dan semangat ke- wirausahaan itu antara lain melalui gagasannya dalam pem- bangunan stasiun relai di Tang- kuban Perahu tersebut. Dalam sebuah forum silaturahim Lebaran 1429 H di Ban- dung, beberapa waktu lalu, Pak Is membuka kunci mengapa ia begitu tergerak memelopori entrepreneurship. Ada penggalan komentarnya yang saya ingat: ”... dalam entrepreneurship ada values yang memberikan apresiasi kepada fairness, competitiveness, dan creativeness.”

Values itulah yang Pak Is usung dalam berbagai kesempatan. Dari sisi terobosan teknologi komunikasi, misalnya, Pak Is dikenal sebagai sosok inovator dalam pengembangan teknologi satelit. Indonesia pada saat itu termasuk pionir dalam penggunaan satelit komunikasi di dunia, atas inisiatif dan upaya tak kenal lelah Pak Is, maka Indonesia kemudian menggunakan Satelit Palapa sebagai wahana komunikasi untuk menjangkau berbagai pulau yang tersebar di seantero Tanah Air.

Humanis

Pak Is juga saya kenal sebagai sosok yang humanis. Ada salah satu peristiwa yang saya tidak pernah lupa. Kejadiannya ber- langsung di dalam kereta api Parahyangan jurusan Jakarta- Bandung. Waktu itu saya sudah kuliah selama delapan tahun di ITB, tetapi belum lulus-lulus juga karena sibuk cari proyek untuk dapatkan uang. Begitu men- dengar cerita saya ini, Pak Is lantas menghela napas dan mengatakan, ”Sudahlah Pin, hentikan kerjaan-kerjaan sam- pingan kamu seperti ini, cepat selesaikan sekolahmu dulu. Kalau kamu kurang uang nanti saya pinjamkan uang.”

Dorongan-dorongan seperti itulah yang membuat saya men- jadi tidak pernah lupa dengan sosok Pak Is. Sampai saat-saat beliau sudah lanjut usianya, tidak henti-hentinya Pak Is memberikan dorongan-dorongan kepada yu- niornya di kampus, murid-muridnya dan orang-orang muda yang ia temui untuk selalu berusaha lebih kreatif, selalu mencari jalan, rajin mencari terobosan baru, kalau perlu terobosan itu jauh ke depan atau leap frogging untuk kemajuan bangsa dan negara.

Dorongan itu kerap Pak Is berikan dalam berbagai cara dan bentuk komunikasi kepada anak-anak muda. Waktu saya sudah menjadi pengusaha yang dianggap berhasil, Pak Is selalu mendorong murid-muridnya dan kadang-kadang saya suka dipakai sebagai contoh pengusaha yang selalu mencari peluang-peluang baru. Memang, dalam berbagai kesempatan yang ada, Pak Is dan saya kerap berdiskusi mengenai energi baru mulai dari angin, tenaga surya, sampai dengan gelombang laut.

Cakupan perhatian Pak Is tidak hanya bertumpu pada upaya mendidik anak-anak muda binaannya. Ia juga tidak segan- segan menegur kami, baik dengan nada sebagai guru maupun sahabat. Suatu hari saya menerima telepon, suara Pak Is terdengar marah melihat sampah di Bandung yang menggunung. ”Pin, Bandung ini punya ITB, yang mengerti bagaimana teknik mengolah sampah supaya tidak bau dan berguna untuk hal-hal lain bagi masyarakat. Kenapa kok seperti tidak berbuat apa-apa?” Begitulah sosok Pak Is. Ia tidak akan segan mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya kepada siapa pun begitu melihat Bandung, kota yang dicintainya tampak kotor dan jorok oleh sampah.

Tiga isu besar Pertemuan terakhir saya dengan Pak Is berlangsung di sela-sela kuliah umum yang saya berikan di aula barat ITB akhir Oktober lalu. Kegiatan ini sebenarnya adalah tindak lanjut dari permintaan beliau yang menginginkan saya untuk bisa sharing pengalaman, pencapaian, dan harapan dalam pengem- bangan tiga isu besar di Republik: energi, pangan, dan edukasi.

Sebelum kuliah umum ber- langsung saya sempatkan waktu untuk berdiskusi dengan Pak Is membahas tiga materi besar tersebut. Rupanya visi dan pikiran beliau jauh ke depan, begitu banyak gagasan leap frogging yang ia utarakan dalam pengembangan energi, pangan, dan pendidikan untuk bangsa kita. Saya merasa berbagai ide besar Pak Is itu tidak bisa selesai dibahas dalam sebuah forum studium generale. Setelah kuliah umum itu Pak Is menghampiri saya, ”Paparan tadi bagus Pin.., tetapi ini belum selesai, baru setengah jalan…, you mesti selesaikan. ” Permintaan ini amanah besar yang tidak boleh ditinggalkan. Dan, kini saya bersama sejumlah rekan melakukan berbagai inisiatif untuk pengembangan ketahanan pangan, energi, dan pendidikan, salah satunya dengan ikhtiar yang kami lakukan di Merauke, Papua.

Sosok Pak Is dan sejumlah pesannya untuk langkah besar membangun Indonesia seperti tidak akan pernah terkubur bersama jasad beliau.... Selamat jalan guru kami.

Arifin Panigoro Pelaku Usaha


Pranala Terkait


Catatan

  1. ^ http://www.tempointeraktif.com/hg/profil/2008/12/17/brk,20081217-151438,id.html
  2. ^ http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2008/12/17/brk,20081217-151490,id.html
  3. ^ http://tokohindonesia.com/ensiklopedi/i/iskandar-alisjahbana/index.shtml
  4. ^ http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/18/Opini/krn.20081218.151290.id.html