Tugu Pahlawan Tak Dikenal

Tugu Pahlawan Tak Dikenal terletak di seberang Taman Monumen Bung Hatta atau beberapa meter dari Jam Gadang di Kota Bukittinggi, Sumatra Barat, Indonesia. Monumen ini dirancang oleh seniman Huriah Adam bersama suaminya, Ramudin.[1][2] Bentuknya berupa ornamen lingkaran ular naga di tengah sebuah bidang bundar yang dihiasi tanaman. Di puncaknya berdiri patung pemuda memegang semacam pedang. Sebelum tersambar petir, patung ini aslinya digambarkan tengah memegang bendera.

Tugu Pahlawan Tak Dikenal saat ini dulunya merupakan Tugu Pembebasan

Nama

Nama "Pahlawan Tak Dikenal" berasal dari judul sajak Mohammad Yamin yang dipahatkan pada prasasti tugu.[3] Sajak itu berbunyi: Mati luhur tidak berkubur. Memutuskan jiwa meninggalkan nama. Menjadi awan di angkasa. Menjadi buih di lautan. Semerbak harumnya di udara.[4]

Sebelum dinamakan Tugu Pahlawan Tak Dikenal, tugu ini awalnya adalah Tugu Pembebasan yang dibangun pada tahun 1959 untuk memperingati kemenangan tentara pusat dalam menundukkan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). PRRI merupakan sebuah gerakan yang menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas. Namun, gerakan ini justru dianggap sebagai sebuah pemberontakan oleh Soekarno sehingga diganjar dengan serangkaian operasi militer (pengerahan pasukan militer sewaktu PRRI ini merupakan yang terbesar yang pernah tercatat di dalam sejarah militer Indonesia).

Pembangunan

 
Tugu Pahlawan Tak Dikenal pada 1971

Peletakan batu pertama Tugu Pahlawan Tak Dikenal dilakukan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution pada 15 Juni 1963 dan diresmikan pada 20 Mei 1965.[5] Pada prasastinya tertera bahwa tugu ini dibangun untuk mengenang perlawanan para pahlawan yang namanya tak bisa dikenali, yang menjadi korban dalam pergolakan yang terjadi pada Juni 1908 dalam menentang diberlakukannya sistem pajak oleh Belanda. Peristiwa itu merujuk pada Perang Belasting.

Simbol

Penulis Suryadi Sunuri menyebut Tugu Pahlawan Tak Dikenal adalah kelanjutan Tugu Pembebasan yang merupakan "lambang penaklukan tentara pusat terhadap orang Minang". Keberadaannya terus dipertahankan sampai sekarang karena militer Indonesia memegang peran kuat di Sumatra Barat setelah PRRI berakhir, "dan tentu saja selama Orde Baru, tidak ada yang berani mencongkel-congkel monumen ini, tempat dilekatkannya lambang supremasi (tentara) pusat di Minangkabau".[6]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Nefo. Muda Tjipta. 1965. 
  2. ^ Mingguan Djaja. Pembangunan Ibu Kota Djakarta Raya. 1965. 
  3. ^ Jurnal kebudayaan Genta Budaya. Yayasan Genta Budaya. 1995. 
  4. ^ Seri monumen sejarah T.N.I. Angkatan Darat. Dinas. 1978. 
  5. ^ Syamsidar (1981). Biografi Huriah Adam: hasil karya dan pengabdiannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 
  6. ^ "Minang Saisuak #121 – Sesudut Bukittinggi Selepas Bergolak". Dr. Suryadi | LIAS - SAS Indonesië, Universiteit Leiden, Belanda (dalam bahasa Inggris). 2013-01-27. Diakses tanggal 2021-09-19.