Banten, Kasemen, Serang
Banten, Bantam (dalam ejaan Bahasa Belanda) atau lebih dikenal dengan Banten Lama setelah dimekarkan dari Jawa Barat adalah sebuah kelurahan di kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten, Indonesia. Kelurahan ini dahulunya merupakan pusat pemerintahan dari Kesultanan Banten. Di kelurahan ini terdapat lokasi Keraton Surosowan dan Masjid Agung Banten yang merupakan peninggalan dari Kesultanan tersebut. Stasiun Karangantu terletak di kelurahan ini.
Banten | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Banten | ||||
Kota | Serang | ||||
Kecamatan | Kasemen | ||||
Kodepos | 42191 | ||||
Kode Kemendagri | 36.73.02.1007 | ||||
Kode BPS | 3673060010 | ||||
Luas | - | ||||
Jumlah penduduk | - | ||||
Kepadatan | - | ||||
|
Sejarah
Pada abad ke-5, kelurahan ini merupakan sebuah desa yang merupakan bagian dari kerajaan Tarumanagara. Prasasti Cidanghiang ditemukan di desa daratan rendah di pinggir Ci Danghiyang, Munjul, Pandeglang, Banten, pada tahun 1947; prasasti ini berisi 2 baris puisi dengan aksara Pallawa, berbahasa Sanskerta. Prasasti ini mencatat keberanian Raja Purnawarman. Setelah kejatuhan kerajaan Tarumanegara akibat serangan Sriwijaya, pusat kekuasaan di Jawa barat kemudian berpindah ke Kerajaan Sunda. Sumber Tionghoa, Chu-fan-chi yang ditulis sekitar tahun 1200 oleh Chou Ju-kua, mencatat bahwa pada awal abad ke-13, Sriwijaya masih menguasai Sumatra, tanjung Melayu, dan Jawa bagian barat (Sunda). Sumber ini juga mencatat bahwa pelabuhan Sunda waktu itu strategis dan berkembang pesat. Kualitas lada hitam Sunda adalah salah satu yang terbaik waktu itu. Orang-orang di daerah ini bekerja sebagai tani dan rumahnya dibangun di atas tonggak kayu (rumah panggung). Akan tetapi, ada banyak perampok dan pencuri di daerah ini.[1] Kemungkinan besar, pelabuhan Sunda yang dimaksud Chou Ju-kua adalah pelabuhan Banten.
Menurut Tomé Pires, seorang penjelajah Portugis, di awal abad ke-16, pelabuhan Bantam (Banten) adalah salah satu pelabuhan penting di Kerajaan Sunda. Selain pelabuhan ini, ada pula pelabuhan Pontang, Cheguide (Cigede), Tangaram (Tangerang), Calapa (Sunda Kelapa) dan Chimanuk (mulut sungai Cimanuk).[2]
Sebagai kota dagang, Bantam mendapat banyak pengaruh Islam di awal abad ke-16. Pada abad tersebut pula Bantam kemudian menjadi pusat kerajaan Kesultanan Banten.
Bantam Inggris
Perusahaan Hindia Timur Britania mulai mengirim kapal ke Hindia Timur pada sekitar tahun 1600. Mereka mendirikan pos dagang permanen di Bantam pada tahun 1603, berbarengan dengan orang Belanda. Pada tahun 1613, John Jourdain diangkat sebagai Chief Factor di pelabuhan ini. Ia memegang pos administratif ini hingga tahun 1616, kecuali selama beberapa bulan di tahun 1615, ketika ia digantikan oleh Thomas Elkington. John kemudian digantikan pada tahun 1616 oleh George Berkley, akan tetapi dari tahun 1617 hingga 1630, pos dagang Inggris tersebut dipimpin oleh seorang Presiden terpilih. Dari tahun 1630 hingga 1634 beberapa Agen silih-berganti setiap tahunnya. Sejak tahun 1634, jabatan Presiden kembali melanjutkan kepemimpinan hingga tahun 1652. Aaron Baker (1610–1683) menjabat sebagai Presiden Bantam selama 20 tahun, sebagaimana dicatat dalam monumen muralnya di gereja paroki Dunchideock di Devon. Selama tiga puluh tahun sejak tahun 1603, Britania banyak mendirikan pos dagang di Pantai Koromandel di India, seperti di Machilipatnam (berdiri 1611) dan Benteng St. George (berdiri 1639). Kedua pos dagang ini melapor ke Bantam.[3]
Pada abad ke-17, orang Portugis dan orang Belanda saling perang untuk menguasai Bantam. Pada akhirnya, Belanda dapat dikatakan menang karena mereka menyadari pelabuhan Batavia yang berdiri tahun 1611 lebih mudah dikuasai secara menyeluruh daripada Bantam.
Tempat menarik
- Keraton Surosowan
- Masjid Agung Banten
- Vihara Avalokitesvara
Referensi
- ^ Drs. R. Soekmono (1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 60.
- ^ SJ, Adolf Heuken (1999). Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid I: Dokumen-dokumen sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke-16. Cipta Loka Caraka. hlm. 34.
- ^ N. S. Ramaswami, Fort St. George, Madras, Pub. No. 49, Tamilnadu State Department of Archaeology (T.N.S.D.A.), Madras, First Edition 1980