Pencegahan perkawinan

Revisi sejak 4 Oktober 2021 09.44 oleh Cahyo (WMID) (bicara | kontrib) (Cahyo (WMID) memindahkan halaman Pencegahan Perkawinan (Hukum) ke Pencegahan perkawinan)

Pencegahan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan siapa saja yang dapat mencegah pelaksanaan perkawinan, diatur Pasal 14 sampai dengan Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1974, diantaranya:[1]

1.      Para keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah dari salah seorang calon mempelai;

2.      Saudara dari salah seorang calon mempelai;

3.      Wali nikah dari salah seorang calon mempelai;

4.      Wali dari salah seorang calon mempelai;

5.      Pengampu dari salah seorang calon mempelai;

6.      Pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal ini berkaitan dengan perkawinan;

7.      Suami atau istri dari salah seorang calon mempelai; dan

8.      Pejabat yang ditunjuk hal ini bermaksud kantor catatan sipil atau kejaksaan,

Diajukan

Pencegahan perkawinan diajukan ke pengadilan sesuai dengan Pasal 17 UU No. 1 Tahun 1974 dalam dua macam diantaranya:[1]

1.      Pencegahan perkawinan diajukan permohonan bagi beraga islam kepada Pengadilan Agama. Hal ini tertuang juga dalam Pasal 20 ayat (2) Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975; dan

2.      Pencegahan perkawinan diajukan permohonan bagi beragama bukan islam kepada Pengadilan Negeri.

Alasan

Alasan dalam mengajukan permohonan pencegahan perkawinan, diantaranya:

1.      Dalam hal usia maka calon memperlai pria belum berumur 19 tahun dan calon mempelai wanita belum berumur 16 tahun;

2.      Terdapat hubungan darah/ keluarga atau susunan yang tidak boleh kawin antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita:

a.      Berhubungan darah dalam garis lurus ke atas ataupun ke bawah;

b.      Berhubungan darah pada garis keturunan menyamping diantaranya antara seorang dengan saudara orang tua, antara saudara dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c.      Terdapat hubungan semenda dimana bisa mertua, anak tiri, bapak/ibu tiri dan menantu;

d.      Terdapat hubungan susuan, yaitu anak susuan, orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan;

e.      Terdapat hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau keponakan dari istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang;

3.      Calon mempelai masih terikat tali perkawinan;

4.      Dimana antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita satu sama lain telah bercerai untuk kedua kalinya , dimana agamanya dan kepercayaannya melarang untuk kawin yang ketiga kalinya; dan

5.      Dimana perkawinan yang dilangsungkan tidak sesuai dan memenuhi prosedur ataupun tata cara yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. [2]

Referensi

  1. ^ a b Undang-undang Nomer 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 
  2. ^ "Mulyadi", "Mulyadi" (2016). Hukum Perkawinan Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipoenegoro.