Sitanggang

salah satu marga Batak Toba
Revisi sejak 7 Oktober 2021 09.51 oleh Taromboparna (bicara | kontrib) (Gelar)

Sitanggang adalah salah satu marga pada suku Batak Toba. Sitanggang merupakan nama dari Raja Pangururan ke IV atau Ompu Raja Pangururan, dengan asumsi Raja Isumbaon sebagai Raja Pangururan (Tano Sumba) I. Yang kemudian oleh keturunannya, nama tersebut dipakai sebagai marga atau saat ini dikenal dengan marga Sitanggang. Marga Sitanggang merupakan keturunan Raja Batak dari garis Raja Isumbaon.[1]

Pangururan atau Tano Sumba sebagai wilayah yang didirikan oleh Raja Isumbaon secara mayoritas menjadi Tanah Ulayat (Golat) dari marga Sitanggang. Adapun garis silsilah nenek moyang marga Sitanggang yaitu Raja Batak memperanakkan Raja Isumbaon memperanakkan Tuan Sorimangaraja memperanakkan Tuan Sorbadijulu (Raja Naiambaton) [2]memperanakkan Raja Natanggang (Raja Sitempang)[3] memperanakkan Raja Sitanggang (Raja Pangururan)[4][5] memperanakkan Raja Panungkunan (Raja Tanja Bau), Raja Pangadatan dan Raja Pangulu Oloan (Sigalingging).[6][7][8][9]

Yang kemudian anak dari Raja Panungkunan (Tanja Bau) dan Keturunannya memakai marga Sitanggang Bau dan Sitanggang Gusar. Anak dari Raja Pangadatan dan keturunannya memakai marga Sitanggang Lipan, Sitanggang Gusar dan Sitanggang Silo.[10] Sedangkan anak dari Raja Pangulu Oloan (Sigalingging) dan keturunannya memakai marga Sigalingging.[11]

Secara turun temurun nenek moyang marga Sitanggang mulai dari Raja Isumbaon hingga ke Raja Sitempang IV (Marga Sitanggang garis keturunan Raja Tanja Bau) adalah penguasa di Pangururan yang dahulu dikenal Tano Sumba atau Tanah Raja Isumbaon. Yang kemudian pada jaman kolonial Belanda, untuk memecah dominasi marga Sitanggang utamanya atas Onan Tiga Urat (pusat perdagangan awal Pangururan) atau disebut Bius Patane Bale Onan Pangururan, yang notabene bius dari Raja Naiambaton dan keturunannya,[12] maka Pangururan dibagi menjadi 3 kerajaan adat (bius) yaitu Bius Sitanggang, Bius Simbolon dan Bius Naibaho.[13] Dan selanjutnya, bius Pangururan dipecah atau dimekarkan lagi oleh Belanda dengan bius-bius yang baru seperti Tanjung Bunga (bius marga Nadeak), Buhit (bius marga Sitanggang), Rianiate (bius marga Sitanggang dan marga Simbolon), Sabungan Nihuta (marga Sitanggang, marga Simbolon dan marga Simalango), Ronggur Nihuta (bius marga Sitanggang, marga Simbolon dan marga Naibaho).[14]

Nama Raja Sitempang merupakan julukan yang begitu populer di daerah Pangururan, awalnya gelar Raja Sitempang merupakan sebutan untuk Raja Natanggang, dikarenakan keadaan fisik Raja Natanggang yang cacat atau pincang.[1] Namun setelah ayahnya Tuan Sorbadijulu si Raja Naiambaton membawanya ke puncak dolok (gunung) Pusuk Buhit, untuk didoakan dengan harapan Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Kuasa versi Batak jaman dahulu) dapat menolong dan memberikan kesembuhan kepada anaknya Raja Natanggang. Raja Naiambaton pun mendudukkan anaknya di bawah pohon Utte (Jeruk Purut) yang tumbuh tepat di tengah puncak dolok Pusuk Buhit. Raja Naiambaton pun memulai ritual doanya, sebagaimana kebiasaan dari nenek moyangnya, mulai dari Raja Batak ke Raja Isumbaon hingga ke ayahnya Tuan Sorimangaraja, selalu memanjatkan doa dan permohonan di puncak gunung Pusuk Buhit, gunung yang dianggap suci oleh keluarganya secara turun-temurun. Dimana kakek buyutnya Raja Batak, di puncak gunung yang sakral itu, menerima dua pustaha (surat agung) dari Mulajadi Nabolon untuk diwariskan kepada kedua anaknya Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon, dimana si sulung Guru Tatea Bulan mendapatkan Pustaha Laklak. Adapun pun Pustaha Tumbaga menjadi milik dari Raja Isumbaon, yang berisikan tentang hukum dan pemerintahan (kerajaan).[12] Begitu pula dengan sepupu dari ayahnya Tuan Sorimangaraja yang bernama Raja Uti, cucu sulung dari Raja Batak atau paman sulung dari Raja Naiambaton sendiri dari ibu, di gunung itu pula mendapatkan pertolongan dan keajaiban dari Mulajadi Nabolon, hingga Raja Uti sebelumnya lahir dengan tubuh tidak memiliki tangan dan tidak memiliki kaki. Namun setelah diantarkan oleh ibunya siboru Baso Nabolon ke Pusuk Buhit, Raja Uti pun telah menjadi manusia yang begitu sakti dengan tubuh yang sempurna, hingga Raja Uti dianggap sebagai orang Batak yang paling sakti dan paling dekat dengan Mulajadi Nabolon.[12] Harapan dari Raja Naiambaton pun rupanya dikabulkan oleh Mulajadi Nabolon (Yang Maha Kuasa), anaknya Raja Sitempang telah pulih fisiknya sebagaimana manusia normal pada umumnya, bahkan di samping fisiknya telah menjadi normal, Raja Sitempang pun dianugerahi pula kharisma dan kesaktian oleh Mulajadi Nabolon.[1]

Dan kemudian Raja Sitempang pulang dan turun ke kampungnya Sijambur Nabolak, serta bertemu kembali dengan ayahnya Raja Naiambaton dan saudara atau adiknya Raja Nabolon, kedatangan Raja Sitempang pun disambut baik dan dirayakan oleh Raja Naiambaton, karena anak sulungnya itu sudah tidak terlihat cacat lagi bahkan juga dianugerahi kharisma dan kesaktian oleh Mulajadi. Mengingat Raja Naiambaton sudah tua, tidak lama dari kedatangan kembali Raja Sitempang, Raja Naiambaton pun menyerahkan hak kerajaannya kepada Raja Sitempang, untuk sepenuhnya menguasai Tano Sumba (Tanah Raja Isumbaon), yang tentu dibantu pula oleh adiknya Situan Nabolon atau Raja Nabolon.[3]

Referensi

  1. ^ a b c Sitanggang, Kosmen (28 April 2007). Catatan Seminar Sehari Keturunan Raja Sitempang Seluruh Indonesia di Wisma Benteng Medan. Medan. 
  2. ^ Saragih, Lin Sugianto (2017). Tarombo Dohot Turiturian Ni Bangso Batak Silsilah Dan Asal-Usul Marga-Marga Batak Dari Siraja Batak. Medan: Dinas Perpustakaan Dan Arsip Provinsi Sumatera Utara. ISBN 9786028946728. 
  3. ^ a b Sidabutar, Nahum (1976). Tarombo Batak. Tomok. 
  4. ^ RAKERNAS PPI di Batam 2018
  5. ^ Sejabodetabek, Purasitabor (2001). Tarombo Raja Sitanggang. Jakarta. 
  6. ^ Sitanggang, Bachtiar (2020). [http//www.mitrawacanamedia.com Tarombo Raja Sitempang Anak Ni Raja Naiambaton] Periksa nilai |url= (bantuan). Jakarta: Mitra Wacana Media. ISBN 9786023184545. 
  7. ^ Sigalingging, Mirwan (2002). Tarombo Raja Sigalingging. Jakarta: Panitia Tarombo Raja Sigalingging. 
  8. ^ Kota Medan, Purasitabor (2007). "Tarombo Raja Sitanggang". 
  9. ^ Pomparan Raja Sitempang, Seminar Sehari (2011). Tarombo Raja Sitempang. Hotel Grand Antaris Medan. 
  10. ^ Sidauruk, Maruhum (26 Juni 2011). Tarombo Sidauruk Dari Generasi Ke Generasi. Jakarta. 
  11. ^ Sitanggang, Juinson (Maret 2020). Tarombo Raja Sitempang. Tangerang. 
  12. ^ a b c Tampubolon, Raja Patik (1964). Pustaha Tumbaga Holin. Jakarta: Dian Utama. 
  13. ^ Sitanggang, Marcius Albert (1997). Mengenal Leluhur Raja Sitanggang Serta Keturunannya. Jakarta: Lembaga Pusat Pengkajian Batakologi Yayasan LPB3. 
  14. ^ Hutagalung, W.M. (1991). Pustaha Batak. Tulus Jaya.