Sains Pribumi ialah sebutan untuk ilmu-ilmu atau sains yang didasari atas sistem ontologis, sistem epistemologis, sistem aksiologis, serta sistem logis dari suku-suku asli yang hidup di Indonesia sejak era di mana Indonesia belum menjadi suatu Republik; di mana suku-suku asli membangun peradaban dan kebudayaan yang khas secara sendiri-sendiri, yang pada saat yang sama membangun sistem pengetahuan secara khas pula. Ilmu-ilmu tersebut masih berupa 'bahan baku' pada mulanya, tapi seiring dengan semakin majunya anak-anak suku asli yang mempelajari sains modern, tumbuh kesadaran dalam diri mereka untuk menyistematisir ilmu-ilmu pribumi mereka sebagaimana orang-orang modern menyistematisir ilmu-ilmu mereka, sehingga muncul sistematisasi ilmu-ilmu pribumi, yang kelak melahirkan apa yang di sini disebut sebagai Sains Pribumi.[1]

Eksponen Sains Pribumi

Eksponen Sains Pribumi dapat dihitung dengan jari. Tapi yang paling terkenal dan yang paling piawai adalah Darmanto Jatman.

Darmanto Jatman

Darmanto Jatman ialah seorang Guru Besar Emeritus pada Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (UNDIP), budayawan, filosof dan penyair kelahiran Jakarta 16 Agustus 1942. Pendidikan dasarnya sejak SR sampai S-2 dijalaninya di Yogyakarta. Setelah menamatkan S-2 Jurusan Psikologi UNDIP, ia menjadi Dosen Psikologi Komunikasi di almamaternya sejak 1 Juni 1971. Sempat mengikuti kuliah Basic Humanities di Hawaii dan kuliah Development Planning pada The University College, London. Filosof UNDIP yang sempat terkena stroke pada 13 Juni 2007 ini juga turut membidani pendirian Fakultas Psikologi di UNDIP dan menjadi guru besar pertama di fakultas itu. Pada 27 Juli 2007 Rektor UNDIP Prof. Susilo Wibowo memberikan gelar Profesor kepadanya, tepat sebulan sebelum ia menjalani masa pensiun, sehingga ia langsung diberi gelar Profesor Emeritus (Guru Besar Luar Biasa).

Karya-Karya

Karya-karya puisinya antara lain Sajak-sajak Putih (1968), Ungu (1968), Bangsat (1974), Sang Darmanto (1975), Ki Blakasuta Bla Bla (1980), Karto Iya Bilang Mboten (1981), dan Golf untuk Rakyat (1994). Bahkan sejumlah sajaknya diterjemahkan Harry Aveling ke bahasa Inggris dan dikumpulkan dalam kumpulan puisi Arjuna in Meditation (1976). Tapi yang membuatnya terkenal di jagat sastra Nusantara ialah kumpulan puisinya, Istri (1997)—karya yang mengantarkannya pula menjadi 'Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara 2002' (Awardee of the S.E.A. Write Awards 2002) dari Raja Thailand. Lewat puisi-puisi yang terkumpul dalam buku tersebut, Darmanto banyak mengritik kebijakan ekonomi-politik Orde Baru.

Bukunya di bidang kebudayaan ialah Sastra, Psikologi, dan Masyarakat (1985) dan Sekitar Masalah Kebudayaan (1986). Dalam Sastra, Psikologi dan Masyarakat, Darmanto menegaskan keterkaitan tripartit antara kesusastraan, psikologi dan sosiologi: bukan hanya ketiganya merupakan satu jalinan Humanities (Ilmu-Ilmu Kemanusiaan), tapi interaksi antara ketiganya adalah sebuah keniscayaan demi pemahaman yang utuh mengenai manusia.

Sedangkan Sekitar Masalah Kebudayaan (1986) adalah buku yang kemudian dijadikan Pusat Perbukuan Proyek Buku Terpadu Depdikbud 1988/1989 sebagai buku-ajar untuk Matakuliah Dasar Umum (MKDU) Ilmu Budaya Dasar di hampir setiap perguruan tinggi se-Indonesia. Isi buku tersebut sungguh menarik, karena di dalamnya bukan hanya teori-teori dan konsep-konsep kebudayaan konvensional yang pernah dikenal, tapi juga mengandung kritikan-kritikan pedasnya terhadap sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang selama ini tidak berakar pada 'budaya'nya sendiri, sehingga lulusan-lulusannya tidak mampu memenuhi kebutuhan riel masyarakat di sistem kebudayaan mana ia dilahirkan: Universitas terlanjur menjadi 'Bandar Impor Ilmu Pengetahuan'. Pada masa jaya-jayanya Positivisme, tak begitu merepotkan batin benar. Di mana-mana ilmu itu objektif, universal. Tetapi sekarang, ketika bahkan para teknolog, teknokrat menyadari bahwa ilmu itu tidaklah objektif mutlak, atau paling tidak, 'Tidak bebas nilai' seperti kata Pitirim Sorokin atau Abraham Maslow—atau lebih tua lagi Karl Marxtentunya (Sekali pun dengan alasan berbeda), maka Universitas menghadapi tantangan berganda. Apakah Ilmu yang diimpornya itu sungguh bisa untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul di tanah air kita? Terutama dalam hal ilmu-ilmu social yang melandaskan diri pada keajegan-keajegan empiris di negeri asal mereka apakah ia bisa dipakai 'langsung' di Indonesia? Inilah yang kemudian membawa pertanyaan tantangan yang menggoda kita: Apakah relevansi dari kegiatan-kegiatan kita di Universitas untuk sebagian besar masyarakat Indonesia?[2]

Memelopori ‘Sains Pribumi

Karya-karyanya di bidang Psikologi antara lain Psikologi Indonesia (Makalah Seminar Lustrum ke-V Fakultas Psikologi UGM 1981), Psikologi Jawa (1996), dan Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Psikologi UNDIP Semarang (10 Januari 2008). Di dalam ketiga karyanya itu, beliau memelopori apa yang disebut 'Psikologi Indonesia'—psikologi yang bukan hanya merupakan penerapan dari hukum sosial yang ditemukan dunia Barat dan diterapkan di Indonesia—tetapi merupakan pengembangan 'The Body of Knowledge', 'The Body of Theory', hasil penelitian empiris di negeri kita.’[3] Suatu pemahaman psikologis yang berbasis budaya Indonesia atau 'Ilmu Jiwa Pribumi'.

Dalam Pidato Pengukuhannya, Darmanto, seraya mengutip Cultural Psychology karya Michael Cole, mengungkapkan keheranannya mengapa kajian Psikologi Kebudayaan (Cultural Psychology) di Indonesia justru terabaikan untuk jangka waktu yang lama, padahal seluruh dinamika kejiwaan, baik kondisi mental, proses mental, maupun struktur mental manusia justru merupakan aktivitas kebudayaan. Agar Psikologi Kebudayaan di Indonesia berkembang berdasarkan budayanya sendiri, beliau mengajak para psikolog se-Indonesia untuk sama-sama membangun apa yang dinamakannya 'Psikologi Indonesia'. Kata beliau: Apabila wacana ini diakhiri dengan `Psikologi Jawa`, bukan berarti ia yang paling unggul di antara berbagai psikologi indigenous atau etnopsikologi lainnya, melainkan untuk mengundang yang lain agar mewacanakan psikologi etnika serta berbagi pengetahuan yang lebih terbuka, sehingga lahir wacana Psikologi Indonesia.[4] Dengan segala karya-karya beliau ini patutlah dikatakan bahwa beliau adalah salah satu dari sekian pelopor ‘Sains Pribumi’ (Indigenous Science).

Referensi

  1. ^ Istilah ini adalah terjemahan dari istilah Inggris Indigenous Science, yang menurut ANU (The Australian National University) dalam situs mereka, www.livingknowledge.anu.edu.au, adalah the science that Indigenous people developed independent of Western science. If we understand ‘indigenous’ to relate to people who have a long-standing and complex relationship with a local area and ‘science’ to mean a systematic approach to acquiring knowledge of the natural world, then Indigenous science is the process by which Indigenous people build their empirical knowledge of their natural environment. As is the case with Western science, Indigenous science is the practical application of theories of knowledge about the nature of the world and increasingly Indigenous people are incorporating Western scientific knowledge into their practices. (sains yang dikembangkan oleh orang-orang pribumi yang mandiri daripada sains Barat. 'Pribumi' artinya orang-orang yang mempunyai hubungan kompleks dan berjangka waktu lama dengan daerah lokal, sedangkan 'Sains' artinya suatu pendekatan sistematis untuk menemukan pengetahuan tentang dunia alamiah. 'Sains Pribumi' artinya proses yang dengannya orang pribumi membangun pengetahuan empiris mereka tentang lingkungan alamiah mereka. Seperti halnya Sains Barat, Sains Pribumi adalah penerapan praktis dari teori pengetahuan tentang alam dunia. Kini banyak orang pribumi yang mempergunakan pengetahuan ilmiah Barat untuk kepentingan-kepentingan mereka sendiri.)
  2. ^ Darmanto Jatman, Sekitar Masalah Kebudayaan, Bandung, Penerbit Alumni, 1993, cet-3, hal. 5
  3. ^ Ibid., hal. 21
  4. ^ Darmanto Jatman: Pembumian Psikologi Tak Berkembang, www.rri-online.com, Kamis 10 Januari 2008, diunduh tgl. 25 Agustus 2008.