Tuhan Bapa
Dalam banyak agama, Tuhan yang Maha Tinggi diberi gelar, tetapi kata Allah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti "Tuhan yang berhak (harus) disembah". Tuhan yang Maha Tinggi dalam Yahudi dan Kristen adalah YHVH atau dengan sebutan dalam Agama Yudaisme adalah Elohim, Eloah, Yehuwa, Adonai dsb. Dalam Kitab Ulangan dan Torah sendiri Elohim atau Tuhan adalah Echad yang berarti Tunggal, Yang Maha Esa dan Satu.
Tetapi karena ada kesalahpahaman dan pembelokan ajaran agama yang lurus dan benar, Tuhan di anggap lebih dari Satu oleh masyarakat Romawi Kuno dan dijuluki sebagai Dewa. Dalam berbagai bentuk Politeisme, Tuhan yang tertinggi dipahami sebagai "Ayah dari semua dewa/dewi dan manusia". Dalam agama Israel dan Yudaisme modern, YHWH disebut Bapa karena Ia adalah Pencipta, Pemberi Hukum, dan Pelindung. Demikian pula di dalam Kekristenan, YHVH disebut Bapa dengan alasan yang sama, tetapi terutama sekali karena misteri dari hubungan Bapa-Anak yang diungkapkan oleh Yesus Kristus atau Yeshua Ha Masiach dalam konsep Tri Tunggal. Pada umumnya, nama Bapa yang diberikan kepada Tuhan menunjukkan bahwa Ia adalah asal usul dari segala sesuatu yang tunduk kepada-Nya. Dialah Kewibawaan yang tertinggi dan yang Mahakuasa, Patriarkh, dan Pelindung.
Allah Bapa dalam agama-agama politeistik
Dalam banyak agama politeistik, satu atau lebih tuhan dianggap sebagai pemimpin dan bapa dari semua tuhan yang lainnya, atau dari seluruh umat manusia.[butuh rujukan] Dibandingkan dengan agama-agama monoteis, Allah Bapa dalam politeisme lebih dihubungkan dengan sifat-sifat yang baik dan buruk seperti seorang ayah. Misalnya, dalam agama Yunani Kuno, Zeus adalah Bapa yang tertinggi,[butuh rujukan] yang mempunyai sejumlah sifat kebapaan, namun pada saat yang sama ia mempunyai banyak hubungan di luar nikah dan mempunyai temperamen yang buruk.
Allah Bapa dalam monoteisme
Dalam dua dari tiga bentuk utama dari monoteisme, Yudaisme dan Kekristenan, Allah disebut Bapa sebagian karena Ia dianggap secara aktif mempunyai perhatian dalam urusan manusia, dalam cara yang sama seorang ayah menaruh minat terhadap anak-anaknya. Jadi, banyak pemeluk monoteis yang percaya bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan-Nya melalui doa, baik untuk memuji-Nya ataupun memengaruhi tindakan-Nya. Mereka mengharapkan bahwa sebagai Bapa, Ia akan menjawab kepada umat manusia, anak-anak-Nya, bertindak demi kepentingan mereka, bahkan menghukum orang-orang yang berperilaku buruk, seperti seorang ayah yang menghukum anak-anaknya, dan memulihkan mereka yang percaya akan kasih-Nya.
- "Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang." (Ibrani 12:8).
Konsep Allah Bapa di dalam agama Islam
Islam tidak memandang Allah dalam peran seperti itu. Atribusi seperti itu tidak diterima oleh Al Qur'an. "Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?" (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya." (Surah 5:18)Tentu saja jelas, bahwa Allah Islam berbeda dengan Allah Kristen
Di dalam Al Quran surah Al-Qasas, 28:88, dinyatakan bahawa "Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apa pun. Tidak ada Tuhan melainkan Dia (Allah). Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. BagiNyalah segala penentuan, dan hanya kepadaNyalah kamu dikembalikan"
Konsep "monoteisme" di dalam ajaran agama Islam ialah Tuhan yang lebih dikenali dengan nama Allah adalah tunggal dan tidak boleh dikaitkan dengan istilah seperti Allah Bapa, Allah Putera atau Ruhul Kudus. Di dalam Islam, Ruhul Kudus merujuk kepada malaikat Jibril dan bukan merujuk kepada konsep Tritunggal. Untuk mengetahui kepercayaan orang Islam kepada Allah, lihat Tauhid.
Dan, penggunaan frasa campuran Arab-Indonesia "Allah Bapa" atau "Allah Putera" tidak diterima dalam Islam. Dua frasa itu dalam bahasa Indonesia adalah "Tuhan Bapa" dan "Tuhan Putera". Kata Tuhan dalam bahasa Arab yang lebih tepat adalah Ilah,sehingga kedua farase tersebut dalam frasa campuran Arab-Indonesianya, adalah "Ilah Bapa" dan "Ilah Putera", karena Allah bukanlah nama jenis tetapi nama diri, sedangkan nama jenisnya adalah Ilah (ihat kembali uraian di muka). Dalam Bahasa Jawa dan Sunda, frasa yang sepadan dengan pengertian yang persis adalah "Gusti Allah" dengan lidah lokal pengucapannya menjadi "Gustialah" dengan kata Gusti yang bermakna Tuhan. Jika dalam Kekristenan digunakan pengertian yang demikian yakni "Tuhan Bapa" atau "Ilah Bapa" bukannya "Allah Bapa", maka pengertian Tuhan yang merujuk pada Allah akan sama dengan pengertian dalam kepercayaan Yahudi dan Islam, walau dalam sifat-sifat yang sedikit berbeda.
Allah Bapa bagi umat Israel
Dalam agama monoteistik Israel, Allah disebut "Bapa" dengan pemahaman yang unik. Allah dianggap sebagai "Bapa" karena Ia menciptakan dunia. Ia pun berperan seperti seorang Patriarkh yang memberikan hukum, dan melalui suatu perjanjian Ia memelihara suatu hubungan khusus bagaikan ayah-anak dengan manusia. Ia memberikan mereka Sabat, mempercayakan kata-kata-Nya, dan warisan-Nya yang unik dalam hal-hal yang berkaitan dengan Allah, dan menyebut Israel sebagai "anak-Nya yang sulung". Allah yang dipahami umat Yahudi juga diatribusikan peranan Pelindung yang dimiliki seorang ayah. Ia disebut Bapa dari mereka yang miskin, dari kaum yatim dan para janda, Pelindung dan Penjamin keadilan. Ia juga disebut Bapa dari para raja, Guru, dan Penolong bagi hakim umat Israel.
Bagian dari seri tentang |
Kekristenan |
---|
Portal Kristen |
Allah Bapa dalam Kekristenan
Dalam Kekristenan, Allah disebut "Bapa" pengertian yang tidak pernah dikenal sebelumnya, selain sebagai Pencipta dan Pemelihara ciptaan, dan Pelindung bagi anak-anak-Nya, umat-Nya. Bapa dikatakan mempunyai hubungan yang kekal dengan Anak Tunggal-Nya, Yesus. Hal ini menunjukkan bahwa, Kristus adalah Anak Allah yang lahir dari Dia. Hal ini menyiratkan suatu hubungan yang eksklusif dan akrab yang menjadi hakikat-Nya yang khas: "...tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya" (Matius 11:27). Dalam teologi Kristen, ini adalah ungkapan dari pengertian tentang Bapa yang menjadi hakikat sifat Allah, suatu hubungan yang kekal. Bentuk dominan dari teologi ini menyatakan bahwa hubungan ini merupakan misteri Kristen yang disebut Tritunggal.
Roma 8:14-17, "Semua orang, yang dipimpin oleh Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!" Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah." Dari penggalan surat Paulus kepada jemaat di Roma tersebut, bahwa yang disebut anak Allah bukanlah semua orang, melainkan orang yang dipimpin Roh Allah. Jadi orang yang disebut 'anak Allah', memperoleh status itu semata-mata karena kasih karunia Allah kepadanya, bukan karena usaha atau kebaikan orang itu, melainkan hanya anugrah semata.Dia juga disebut Bapa, karena Dia adalah sumber dan pemelihara dari orang Kristen.
Bagi orang Kristen, hubungan Allah Bapa dengan manusia adalah bagaikan seorang ayah dengan anak-anaknya. Jadi, orang-orang yang terpilih oleh kasih karunia Allah disebut sebagai anak-anak Allah (Bandingkan dengan 1 Petrus 2:9). Bagi orang Kristen, hubungan Allah Bapa dengan umat manusia adalah laksana hubungan antara Pencipta dengan ciptaan-Nya, dan dalam hubungan itu, Ia adalah Bapa dari semuanya. Dalam pengertian ini, Perjanjian Baru mengatakan bahwa gagasan tentang keluarga berasal dari Allah Bapa (Efesus 3:15). Jadi, hubungan Allah dengan anak-anak-Nya adalah panutan dan model untuk membina keluarga Kristen agar senantiasa bertumbuh di dalam iman perbuatan dan pengenalan takut akan Allah.
Orang Kristen percaya bahwa mereka dijadikan partisipan di dalam hubungan rohani yang kekal antara Bapa dan Anak, melalui Tuhan Yesus Kristus. Orang Kristen menyebut diri mereka anak-anak Allah melalui pengangkatan:
- Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak. Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: "ya Abba, ya Bapa!" Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah. (Galatia 4:4-7)
Allah sebagai Bapa yang memelihara, yang memberikan kasih seorang Bapa Sejati yang sangat mesra, begitu penyayang dan begitu tertib penuh ketegasan (disiplin). Bapa Sorgawi tidak pernah sama dengan para bapa (bapak-bapak atau para ayah) dunia ini dalam hal kasih dan karakter yang tidak dapat terbandingi dengan kasih dan karakter Bapa Sorgawi. Allah sebagai Bapa Sorgawi merupakan Bapa yang sempurna dari segala bapa (bapak-bapak atau para ayah) dunia ini yang adalah gambaran dan rupa (duplikat dan bayangan) dari Sang Bapa Sorgawi yang murni.
Bapa (Kepribadian Bapa) tidaklah lebih tinggi daripada Anak ataupun juga dengan Roh Kudus. Juga perlu diketahui, kehadiran Allah Bapa dan Allah Putra dan Roh itu adalah satu dan tidak terpisahkan. Ini adalah misteri Alkitab. Bisa dibilang dalam hakikat dan hayat-Nya Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah sama. Bapa adalah Anak adalah Roh Kudus itu yang telah disalurkan ke manusia tripartit yang menerima Kristus sebagai Juruselamat.
Trinitarianisme dan konsep-konsep Kristen lainnya
Bagi orang Kristen trinitarian (yang selama berabad-abad merupakan mayoritas umat Kristen), Allah Bapa bukanlah Allah yang terpisah dari Sang Anak (dalam hal ini, Yesus adalah penjelmaan-Nya) dan dari Roh Kudus, yang ketiganya merupakan Allah yang esa. Orang Kristen trinitarian menggambarkan ketiga pribadi ini sebagai Tritunggal atau Trinitas. Ini berarti mereka selalu hadir sebagai tiga "pribadi" (Yunani: hypostases) yang berbeda, tetapi ketiganya adalah satu Allah, masing-masing mempunyai identitas yang penuh sebagai Allah sendiri ("substansi" yang esa), "kepribadian ilahi" dan kuasa yang esa, dan "kehendak ilahi" yang esa pula.
Namun sebagian orang Kristen lainnya ada yang menganut gagasan alternatif yang sangat berbeda. Sebagian kecil menggambarkan Sang Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus masing-masing sebagai Keberadaan yang berbeda, dan yang telah ada secara kekal (triteisme), atau sebagai "manifestasi" yang berbeda dari Keberadaan yang tunggal (modalisme). Sebagian orang mencetuskan teori bahwa hubungan antara Sang Bapa dan Sang Anak dimulai pada suatu titik yang mungkin berada di luar "sejarah" yang biasa (Arianisme). Yang lainnya percaya bahwa Allah menjadi Bapa ketika Ia mengucapkan Λογος ("logos" atau "firman")-Nya yang menciptakan. Logos atau firman ini adalah tatanan yang pertama dan makhluk yang dengan-Nya Allah membina hubungan sebagai Bapa (pandangan sebagian gnostik). Yang lainnya menemukan hubungan yang kuat dengan gagasan kafir tentang seorang penyelamat atau pahlawan yang dilahirkan oleh dewata, sebuah gagasan tentang Bapa yang mirip dengan Mithraisme atau penyembahan terhadap kaisar Romawi.
Bagi kebanyakan orang Kristen, pribadi Allah Bapa adalah yang paling tinggi, dan sesekali merupakan alamat doa yang eksklusif, yang sering kali diucapkan dalam nama Yesus Kristus. Doa Bapa Kami, misalnya, dimulai dengan kata-kata, "Bapa kami yang ada di surga..."
Dalam Perjanjian Baru, Allah Bapa mempunyai peranan khusus dalam hubungannya dengan Sang Anak. Dalam hal ini Yesus diyakini sebagai Sang Anak dan warisnya (Ibrani 1:2-5). Menurut Pengakuan Iman Nicea, Sang Anak (Yesus Kristus) "lahir dari Bapa sebelum segala abad". Hal ini menunjukkan bahwa hubungan Bapa-Anak mereka yang ilahi tidaklah terikat pada suatu peristiwa di dalam waktu atau sejarah manusia. Lihat Kristologi.
Dalam teologi Ortodoks Timur, Allah bapa adalah "sumber" dari Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Dalam teologi Barat, ketiga hupostasis (zat) atau persona ini mempunyai asal-usulnya di dalam hakikat keilahiannya. Para Bapa Kapadosia menggunakan pemahaman monarki Ortodoks Timur untuk menjelaskan mengapa trinitarianisme bukan suatu triteisme: "Allah itu esa karena Sang Bapa itu esa," kata Basil Agung pada abad keempat. Pada abad ke-8, Yohanes dari Damsyik menulis panjang lebar tentang peranan Allah Bapa:
- Segala sesuatu yang dimiliki oleh Anak berasal dari Bapa, demikian pula halnya Roh berasal dari Bapa, termasuk keberadaan-Nya. Dan bila Bapa tidak ada, maka Anak dan Roh pun tidak ada; dan bila Bapa tidak memiliki sesuatu, maka Anak ataupun Roh pun tidak memilikinya. Lebih jauh, karena Sang Bapa, artinya, karena Bapa itu ada, maka Anak dan Roh pun ada; dan oleh karena Sang Bapa, Anak dan Roh pun memiliki segala sesuatu yang mereka miliki.