Petilasan Sri Aji Joyoboyo

Revisi sejak 20 Oktober 2021 14.39 oleh Lutpiii (bicara | kontrib) (membuat artikel baru)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Petilasan Sri Aji Joyoboyo adalah sebuah petilasan atau tempat bersemedi raja dari kerajaan Kediri dan dipercayai sebagai tempat moksa Prabu Sri Aji Joyoboyo yang terkenal sebagai Raja Kediri abad XII dan juga ramalan Jongko Joyoboyo yang berisi ramalan-ramalan kejadian di masa yang akan datang.

Lokasi

Petilasan Sri Aji Joyoboyo bertempat di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur.

Sekitar ± 10 km, ± 5 menit dari Kota Kediri atau ±120 km sekitar 2,5 jam dari Bandara Juanda Surabaya.

Sejarah dan Legenda

  • Pamuksan dapat diartikan sebagai tempat muksa dari Prabu Joyoboyo. Menurut legenda yang ada, Joyoboyo tidak dikatakan meninggal tetapi Ia muksa yaitu menghilang bersama jasadnya. Dalam pamuksan ini terdapat loka muksa, loka busana dan loka makuta. Masyarakat percaya terhadap hal tersebut, karena sampai sekarang jasad Joyoboyo tidak diketemukan.
  • Petilasan Sri Aji Joyoboyo atau Pamuksan Sri Aji Joyoboyo dipugar pada 22 Februari 1975 dan diresmikan pada 17 April 1976. Sedangkan Sendang Tirto Kamandanu dipugar pada tahun 1982. Pemugaran ini diprakarsai oleh Keluarga Besar Hondodenta, Keraton Yogjakarta, yang dikoordinir oleh Sri Sultan HamengkuBuwono VI.[1]
  • Semasa hidupnya, Sri Aji Joyoboyo memiliki seorang permaisuri yang bernama Dewi Sara. Dari hasil perkawinannya, Sri Aji Joyoboyo memiliki tiga orang putri dan seorang putra. Tiga orang putri tersebut adalah Dewi Pramesti, Dewi Pramuna, Dewi Sasanti, dan seorang putra bernama Raden Jayawijaya. Namun, pada saat ketiga putrinya telah dewasa dan menikah. Mereka bertiga diceraikan dan menjadi janda. Padahal, saat Dewi Pramasti diceraikan, ia sedang hamil. Pada masa kehamilan Dewi Pramasti yang telah mencapai sembilan bulan, Dewi Pramasti tidak juga melahirkan. Ia malah terus menerus kesakitan selama tujuh hari tujuh malam. Melihat keadaan putrinya yang demikian, maka Sri Aji Joyoboyo dan istrinya memohon petunjuk dewata. Sri Aji Joyoboyo mendapat bisikan bahwa Ia harus melepaskan kedudukannya sebagai titisan Batara Wisnu. Mengingat bahwa usianya telah semakin lanjut, maka ia segera ngraga sukma yaitu melepaskan sukma sebagai titisan Dewa Wisnu. Lalu tidak lama kemudian lahirlah seorang putra yang diberi nama Anglingdarma yang ditandai dengan suasana alam yang benar-benar menakutkan. Kilat sambung menyambung, hari gelap gulita dan gempa pun menggoncang bumi. Melihat keadaan tersebut, Sri Aji Joyoboyo memanggil seluruh perwira dan kerabat keraton, dan mengumumkan tentang kelahiran Anglingdarma. Dari tubuh Anglingdarma tampak sinar cahaya terang memancar, Tetapi bersamaan dengan itu pula para perwira dan kerabat kaget dikarenakan Sri Aji Joyoboyo muksa, kembali ke alam kelanggengan.[1]

Bagian

Petilasan Sri Aji Joyoboyo dibagi menjadi dua tempat yaitu Pamuksan Joyoboyo dan Sendang Tirto Kamandanu. Meskipun terdiri dari dua tempat yang terpisah, tetapi masih satu kawasan.

Sebelum memasuki Petilasan Sri Aji Joyoboyo, kita akan melewati tiga pintu. Dalam hal ini, masyarakat Jawa percaya jika manusia pasti mengalami tiga alam kehidupan, yaitu alam kandungan, alam nyata, dan alam sukma atau alam akhirat.[1]

Beberapa situs yang ada di kawasan budaya ini seperti Sendang Tirto Kamandanu, Palinggihan Mpu Bharada, dan juga Arca Totok Kerot.Banyak pengunjung yang melakukan ziarah di situs ini dan puncak ritual di Pamuksan tanggal 1 Suro dengan ribuan pengunjung dari berbagai daerah untuk prosesi ritual.[2]

Bagi masyarakat, terdapat empat tempat yang dianggap sakral yaitu Loka Muksa, Loka Busana, Loka Makuta, dan Sendang Tirto Kamandanu.[1]

Loka Muksa dianggap sebagai tempat muksanya Sri Aji Joyoboyo. Loka Busana merupakan tempat busana. Loka Makuta berarti tempat mahkota. Sedangkan Sendang Tirto Kamandanu merupakan pemandian yang digunakan oleh Sri Aji Joyoboyo sebelum Ia muksa.

 
Wilayah Petilasan Sri Aji Joyoboyo

Sendang Tirto Kamandanu. Sendang ini dulunya kolam dengan sumber air alami yang memiliki banyak fungsi, salah satunya menambah kekuatan lahir dan batin manusia. Tanggal 26 April 1980, sendang ini mulai dipugar. Karena tempat ini dianggap sebagai bagian tak terpisah dari petilasan Sang Prabu. Desain barunya. Sendang ini menjadi kawasan taman segi empat berukuran 1.016 meter persegi.

Bangunan utama, kolam pemandian yang airnya selalu mengalir melalui tiga tingkatan. Yaitu sumber, tempat penampungan, dan kolam pemandian. Kolam ini dilengkapi dengan Arca Syiwa Harihara (perdamaian) dan Ganesha. Selain itu, tempat ganti pakaian, gapura, tempat mengambil air, dan pagar. Sedangkan bangunan pelengkap terdiri dari halaman, gapura utama (Kori Agung dan Candi Bentar), dan pagar dengan patung dewa di masing-masing sudut . Masing-masing Bathara Wisnu, Brahma, Bayu, dan Indra.[2]

Ritual

Masyarakat sekitar selalu menyelenggarakan upacara adat atau ritual khusus sebagai bentuk kepercayaan masyarakat terhadap petilasan. Ritual ini dilaksanakan setiap tanggal 1 Muharam atau 1 Suro. Dalam upacara ini biasanya berupa arak-arakan yang dimulai dari balai desa Menang menuju ke loka muksa lalu berakhir di Sendang Tirto Kamandanu.[1]

Upacara tradisional di petilasan Sri Aji Joyoboyo telah berlangsung sejak tahun 1976 yang selalu diselenggarakan pada setiap awal bulan Suro atau tanggal 1 Suro menurut penanggalan Jawa. Pelaksanaan upacara di Petilasan Sri Aji Joyoboyo dalam prosesinya menggunakan tata cara dan perlengkapan seperti yang digunakan pada upacara tradisional di kraton Yogyakarta. Yayasan Hondodento dari Yogyakarta merupakan pemrakarsa sekaligus pemandu jalanya upacara yang diselenggarakan oleh masyarakat Desa Menang.[3]

Referensi

  1. ^ a b c d e "Sejarah Petilasan Sri Aji Joyoboyo yang Belum Kalian Ketahui". Kampung Inggris CEC. 2020-10-13. Diakses tanggal 2021-10-20. 
  2. ^ a b "Kabupaten Kediri - Kediri Lagi". kedirikab.go.id. Diakses tanggal 2021-10-20. 
  3. ^ Ummatin, Khoiro Ummatin (2017-06-10). "Konflik Dan Integrasi Umat Beragama Dalam Budaya Lokal Di Loka Muksa Sri Aji Joyoboyo Menang Pagu Kediri". Panangkaran: Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat. 1 (1): 37. doi:10.14421/panangkaran.2017.0101-03. ISSN 2614-3461.