Paruman Agung

Revisi sejak 24 Oktober 2021 08.50 oleh Charizarrdd (bicara | kontrib) (penjelasan)

Paruman Agung adalah parlemen regional Bali pada tahun 1938 hingga 1950.

Sejarah

Hindia Belanda (1938-1942)

Berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, pada 1 Juli 1938, delapan kerajaan di Bali didirikan kembali. Dua hari sebelumnya, pada 29 Juni 1938, diadakan pelantikan raja-raja Bali di Pura Besakih[1]. Raja-raja dari delapan kerajaan menjadi anggota dari Paruman Agung yang diresmikan pada 30 September 1938[2].

Pada era ini, Paruman Agung terdiri dari sembilan anggota, termasuk perwakilan daerah yang berasal dari Lombok dan Bali, dan delapan anggota lainnya. Setiap raja didampingi oleh dua orang penasihat. Paruman Agung juga memiliki sekretaris yang ditunjuk oleh anggota dan disetujui oleh perwakilan daerah[2].

Pendudukan Jepang (1942-1945)

Pada masa pendudukan Jepang, Paruman Agung memasuki masa reses. Tidak ada perubahan struktural pada masa ini[1].

Pembubaran Paruman Agung (1945-1946)

Setelah kemerdekaan Negara Indonesia, pemerintah mulai membentuk pemerintah daerah di Bali. Provinsi Sunda Kecil dibentuk dan ibu kotanya terletak di Singaraja. Pada 18 Agustus 1945, Presiden Sukarno menunjuk Ida Bagus Putra Manuaba sebagai perwakilan Provinsi Sunda Kecil dalam Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada 22 Agustus 1945, Presiden Sukarno menunjuk I Gusti Ketut Pudja sebagai Gubernur Sunda Kecil. Pada 23 Agustus 1945, I Gusti Ketut Pudja kembali ke Bali dan mendiskusikan masa depan Bali dan struktur politiknya[3].

I Gusti Ketut Pudja berjanji bahwa kerajaan-kerajaan di Bali akan diatur oleh Komite Nasional Indonesia Daerah yang bekerja sama dengan raja-raja, dan pemerintahan Bali akan diatur oleh Komite Nasional Indonesia Sunda Kecil yang bekerja sama dengan Gubernur Sunda Kecil. Walaupun I Gusti Ketut Pudja merasa pembagian kekuasaan antara kerajaan dan negara sudah adil[3], sejumlah raja merasa keberatan dan tidak ingin bekerja sama dengan pemerintah Indonesia.

Pada bulan Oktober 1946 sampai Februari 1946, Belanda mengutus perwakilan ke Bali melalui AMACAB (Allied Military Administration-Civil Affairs Branch). AMACAB menjanjikan raja-raja Bali bahwa mereka akan mendapatkan kekuasaan penuh jika tidak mengakui kemerdekaan Negara Indonesia, dan mendukung Belanda.[4] Aliansi antara perwakilan Belanda dan raja-raja Bali membuat posisi pemerintah Indonesia melemah. Pada 29 Januari 1946, I Gusti Ketut Pudja menyerahkan kekuasaan pada Dewan Raja-Raja.

Referensi

  1. ^ a b Penerangan, East Indonesia Kementerian (1948). Bali membuat sedjarah baru, 1938-1948 (dalam bahasa Melayu). Drukkerij Makassar N.V. 
  2. ^ a b Penerangan, Indonesia Departemen (1953). Sunda Ketjil (dalam bahasa Melayu). Kementerian Penerangan. 
  3. ^ a b Ardhana, I Ketut (1993). "BALINESE PURI IN HISTORICAL PERSPECTIVE: The Role of Puri Satria and Puri Pamacutan in Social and Political Changes in Badung, South Bali 1906 - 1950". doi:10.25911/5d7634a8da426.  line feed character di |title= pada posisi 139 (bantuan)
  4. ^ Sendra, I Made (2013). "Pergolakan Elite dalam Panggung Politik di Bali 1945-1950". JURNAL KAJIAN BALI. 03 (01).  line feed character di |title= pada posisi 41 (bantuan)