Geriten

bangunan tradisional Batak Karo
Revisi sejak 25 Oktober 2021 09.18 oleh Nanda Rinjani (bicara | kontrib) (Penambahan pranala kata)

Geriten atau Giriten adalah salah satu bangunan tradisional suku Karo. Ia berbentuk seperti rumah adat, tetapi lebih kecil. Geriten berdiri di atas tiang dan terdiri dari dua lantai. Lantai bawah tidak berdinding, sementara lantai atas berdinding.[1]

Giriten Karo

Definisi

Menurut Samaria Ginting (1994): geriten hampir sama bentuknya dengan jambur, namun geriten lebih kecil daripada jambur. Ia berukuran sekitar 2,5 meter x 2,5 meter. Dalam penjelasan lain, Hilderia Sitanggang (1991) dalam bukunya Arsitektur Tradisional Batak Karo menjelaskan bahwa geriten merupakan bangunan yang lebih kecil dari jambur. Bangunan geriten digunakan untuk tempat penyimpanan tengkorak dari nenek moyang atau tulang belulang dari orang tua yang cawir metua. Pengertian cawir metua dapat kita lihat seperti penjelasan Nelly Tobing (1991) dalam bukunya berjudul Upacara Adat Kampung Lingga. Mate cawir metua memiliki arti meninggal dalam usia yang sudah lanjut. Seseorang yang disebut mate cawir metu sudah mempunyai banyak turunan termasuk anak, cucu, cicit bahkan buyut. Jenis kematian ini dianggap paling mulia dalam budaya suku Karo.[2]

Makna Geriten Pada Mayarakat Karo

Pada masyarakat Karo dahulu, setelah orang meninggal, mereka tidak langsung dimakamkan. Upacara adat kematian akan diadakan untuk menghormati jenazahnya. Jenazah dimakamkan untuk sementara dan setelah beberapa tahun lamanya, makam digali kembali untuk mengumpulkan tulang-tulangnya. Tulang-tulang atau kerangka kemudian dibungkus dengan kain putih. Kain putih tersebut dimasukkan ke dalam geriten dan diiringi dengan upacara yang disebut nurun-nurun. Kerangka yang ditempatkan di geriten adalah kerangka penghulu (kepala kampung/kepala desa). Pada zamannya sebagai panutan (pemimpin) atau sierjabaten, misalnya: guru, penggual, penarune, dan lain sebagainya. Di samping itu orang ini harus mempunyai budi pekerti, kewibawaan, dan tingkah laku yang menjadi teladan bagi masyarakat karena akan dirayakan setiap waktu tertentu untuk mengenang jasanya semasih hidup.

Filosofi Geriten

Bagian-bagian konstruksi Geriten sarat dengan nilai-nilai moral, sosial, religius, dan pedagogis yang diharapkan dapat ditiru oleh generasi sesudahnya. Penempatan geriten tidak bisa jauh dari rumah adat. Ketika sebuah raga binasa, maka roh kembali ke rumah untuk mengayomi keturunannya. Tempat tulang-belulang dimasukkan dalam Geriten tidak boleh jauh dari rohnya yang tinggal di rumah. Tulang-belulang yang dinaikkan ke atas merupakan suatu simbol penghargaan. Ada filosofi yakni dareh jadi lau, daging jadi taneh, kesah jadi angin, buk jadi ijuk, tulan jadi batu, tendi mulih ku dibata simada tinuang (roh kembali kepada Maha Pencipta). Masyarakat Karo lama (sebelum menganut agama Kristen maupun non-kristen) telah paham bahwa diri seseorang bukanlah miliknya dan bahwa suatu penghabisan adalah perubahan. Asal mula, akhir dari suatu perubahan itu dan menjadi, air kembali ke air, tanah kembali ke tanah, roh kembali kepada pemilik roh. Rambut jadi ijuk, tulang jadi batu, akhir bukanlah suatu kesia-siaan, melainkan awal sesuatu yang bermanfaat demi kesejahteraan umat.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Geriten, Rumah Tulang Belulang pada Suku Karo". www.gobatak.com. 2 Desember 2010. 
  2. ^ M.Hum, Dr. Daulat Saragih (12 Mar 2016). "Geriten Bagi Masyarakat Karo". analisadaily.com. Diakses tanggal 2 Peb 2020.