Hubungan industrial

Revisi sejak 25 Oktober 2021 14.15 oleh Fairuz Salsabila (bicara | kontrib) (perbaikan ejaan dan tata bahasa)

Hubungan industrial adalah hubungan semua pihak yang berkepentingan atas proses produksi barang atau jasa di suatu perusahaan.[1] Istilah hubungan industrial merupakan terjemahan dari "labour relation" atau hubungan perburuhan. Pada awalnya, istilah ini meliputi hubungan perburuhan, membahas berbagai masalah yang berhubungan dengan pekerja buruh dan pengusaha. Seiring dengan perkembangannya jaman, dan kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa masalah hubungan kerja antara pekerja buruh, dan pengusaha ternyata juga menyangkut aspek-aspek lainnya yang luas. Dengan demikian, Abdul Khakim (2009) menyatakan hubungan perburuhan tidak lah terbatas hanya pada hubungan antara pekerja buruh dan pengusaha, tetapi perlu adanya campur tangan pemerintah.[2]

Pihak dalam perusahaan

Pihak yang berkepentingan dalam setiap perusahaan (stakeholders) diantaranya:

  1. Pengusaha atau pemegang saham yang diwakili oleh pihak manajemen;
  2. Pekerja buruh dan serikat pekerja atau serikat buruh;
  3. Supplier atau perusahaan pemasok;
  4. Konsumen;
  5. Perusahaan pengguna;
  6. Masyarakat sekitar;
  7. Pemerintah.

Di samping stakeholders tersebut, pelaku hubungan industrial juga melibatkan pihak ketiga, yaitu:

  1. Konsultan hubungan industrial atau pengacara
  2. Arbitrator, konsiliator, mediator, dan akademisi
  3. Hakim pengadilan hubungan industrial

Prinsip-Prinsip Hubungan Industrial

Payaman J. Simanjuntak (2009) menjelaskan beberapa prinsip dari Hubungan industrial, yaitu:

  1. Kepentingan Bersama: Pengusaha, pekerja buruh, masyarakat, dan pemerintah
  2. Kemitraan yang saling menguntungkan: Pekerja buruh dan pengusaha sebagai mitra yang saling tergantung dan membutuhkan
  3. Hubungan fungsional dan pembagian tugas
  4. Kekeluargaan
  5. Penciptaan ketenangan berusaha dan ketentraman bekerja
  6. Peningkatan produktivitas
  7. Peningkatan kesejahteraan bersama

Sarana Pendukung Hubungan Industrial

Payaman J. Simanjuntak (2009) menyebutkan sarana-sarana pendukung Hubungan industrial, yaitu sebagai berikut:

  1. Serikat Pekerja atau Buruh
  2. Organisasi Pengusaha
  3. Lembaga Kerjasama bipartit (LKS Bipartit)
  4. Lembaga Kerjasama tripartit (LKS Tripartit)
  5. Peraturan Perusahaan
  6. Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
  7. Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaaan
  8. Lembaga penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial

Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

Perjanjian Kerja Bersama atau disingkat menjadi PKB, merupakan pijakan karyawan dalam menorehkan prestasi yang pada saatnya akan berujung kepada kinerja korporat, dan kesejahteraan karyawan. Jadi, PKB memang penting bagi perusahaan manapun. Hubungan kerja senantiasa terjadi di masyarakat, baik secara formal maupun informal, dan semakin intensif di dalam masyarakat modern. Di dalam hubungan kerja yang memiliki potensi timbulnya perbedaan pendapat atau bahkan konflik. Untuk mencegah timbulnya akibat yang lebih buruk, maka perlu adanya pengaturan di dalam hubungan kerja ini dalam bentuk PKB. Dalam praktiknya, persyaratan kerja diatur dalam bentuk perjanjian kerja yang sifatnya perorangan.

Perjanjian kerja Bersama ini dibuat atas persetujuan pemberi kerja dan Karyawan yang bersifat individual. Pengaturan persyaratan kerja yang bersifat kolektif dapat dalam bentuk Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Perjanjian Kerja Bersama atau PKB sebelumnya dikenal juga dengan istilah KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) / CLA (Collective Labour Agreement). KKB atau CLA adalah merupakan perjanjian yang berisikan sekumpulan syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak yang merupakan hasil perundingan antara Pengusaha. Dalam hal ini diwakili oleh Manajemen Perusahaan dan Karyawan yang diwakili oleh Serikat Karyawan, serta tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Hal ini juga tertuang dalam Pasal 1 UU No.13 tahun 2003 Point 21, bahwa PKB dibuat dengan melalui perundingan antara manajemen dan serikat karyawan.

Semua poin yang tertuang ada untuk menjamin kepastian dan perlindungan di dalam hubungan kerja, sehingga dapat tercipta ketenangan kerja dan berusaha. Lebih dari itu, dengan partisipasi ini juga merupakan upaya kolektif untuk memperkirakan, dan menetapkan nasib perusahaan untuk masa depan. Masa berlakunya PKB paling lama adalah dua tahun dan dapat di perpanjang masa berlakunya paling lama satu tahun. PKB juga merupakan suatu instrumen yang digunakan untuk untuk menjalankan hubungan industrial, dimana sarana yang lain adalah serikat karyawan, organisasi pengusaha, lembaga kerjasama bipartit, lembaga kerjasama tripartit, peraturan perusahaan, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Menurut ketentuan, Perundingan pembuatan PKB berikutnya dapat dimulai paling cepat tiga bulan sebelum berakhirnya PKB yang berlaku. Jika dalam hal perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka PKB yang masih berlaku tetap berlaku untuk satu tahun. Sehingga proses pembuatan PKB tidak memakan waktu lama, dan berlarut-larut sampai terjadi kebuntuan (dead lock) yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum.

Referensi

  1. ^ Simanjuntak, 2009
  2. ^ Khakim, Abdul (2009). Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. ISBN 978-979-491-044-3. 

Bacaan lanjutan

  1. Abdul Khakim, 2009, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti Bandung
  2. Payaman J. Simanjuntak, Manajemen Hubungan Industrial, Penerbit Jala Permata Aksara, Jakarta
  3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan
  4. http://id.shvoong.com/social-sciences/2005328-kosep-dasar-hubungan-industrial/#ixzz1YU9h5CQO