Talok, Turen, Malang
Talok adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.
Talok | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Timur | ||||
Kabupaten | Malang | ||||
Kecamatan | Turen | ||||
Kode pos | 65175 | ||||
Kode Kemendagri | 35.07.09.2007 | ||||
Luas | ... km² | ||||
Jumlah penduduk | ... jiwa | ||||
Kepadatan | ... jiwa/km² | ||||
|
Sejarah Desa Talok
Al Kisah, Pada tahun 956 M Seorang Resi yang bernama Sang Reca Bhuwana bertapa di suatu tempat. Sang Reca Bhuwana ini merupakan titisan dari Betoro Guru (dalam agama Hindu). Hasil dari pertapaannya Ia mendapatkan sebuah biji dari dewata beserta perintah untuk menanam biji pohon tersebut di sebuah tempat yang sekarang dikenal dengan Gunung Petung. Maksud dari perintah penanaman biji tersebut adalah untuk memberikan tanda bahwa area tersebut merupakan suatu tempat di bumi yang menghubungkan langsung dengan kahyangan. Tempat inilah yang nantinya akan memunculkan calon Raja Besar Tanah Jawa. Akhirnya, Pohon dari biji tersebut dinamai Taloka. Taloka berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti, Ta: Tembung aran/sebuah dan Loka: dunia/dimensi yang berkaitan dengan kahyangan.
Pada waktu pohon taloka ditanam, wilayah tersebut belum ada peradaban. Baru Sekitar 19 tahun kemudian penduduk dari wilayah sekitar mulai berdatangan ke tempat tersebut termasuk dari wilayah Turyyantapada yang akhirnya terbentuklah sebuah perkampungan yang yang dinamakan Taloka. Keberadaan Desa Talok yang sekarang ini tidak lepas dari adanya tiga zaman yang berbeda yaitu: zaman sebelum kerajaan singosari, zaman kerajaan mataram islam, dan zaman penjajahan. Tiga zaman ini saling berkaitan dan menjadi bukti sejarah adanya desa Taloka sejak dahulu kala.
Pada zaman kerajaan Singosari dibuktikan dengan adanya Wilayah Taloka yang merupakan tempat bertemunya Ken Arok dengan Brahmana bernama Sang Hyang Lohgawe (Pararaton, 1896: 7). Pada zaman kerajaan Mataram Islam dibuktikan dengan adanya tiga punden (makam) pasukan kerajaan mataram yang mengungsi di Wilayah Taloka. Tiga punden tersebut yaitu: punden Gunung Petung, Punden Mbah Surogawe, dan Punden Mbah Gunung Djati. Sedangkan pada zaman penjajahan dibuktikan dengan adanya kepala desa pertama yang resmi di Desa Talok.
Zaman Kerajaan Singosari
Taloka adalah sebuah nama wilayah yang disebut dalam kitab Pararaton tempat bertemunya Sang Hyang Lohgawe dan Ken Arok sebelum menjadi raja, yang mana tempat tersebut sudah dijanjikan oleh para dewata melalui penanaman biji pohon Taloka oleh Reca Bhuwana. disebutkan Wilayah ini berada di sebelah timur Gunung Kawi.
Sebelum kerajaan Singosari berdiri, Sang Hyang Lohgawe mendapatkan wisik (wahyu dari dewa) dari Betoro Wisnu di tempat pertapaannya di India, Ia diperintahkan untuk menemui seorang titisan dewa wisnu di jawa, ia berada di tempat perjudian, namanya adalah Ken Arok. Sedangkan Ken Arok mendapatkan wisik 3 (wahyu dari dewa) dari Betoro Guru setelah musyawarah para dewa di Gunung Lejar (Gunung Layar). Ken Arok pergi ke Taloka, wilayah ini terdapat padepokan yang dijadikan tempat perjudian terkenal pada masanya. Tempat perjudian inilah yang menjadi titik temu antara Ken Arok (pendiri kerajaan singosari) dengan gurunya Sang Hyang Lohgawe.
Pertemuan ini terjadi karena keduanya mendapatkan wisik (wahyu dari dewa) dari betoro guru di gunung layar. Ken Arok diutus untuk menjadi murid dan mengaku anak kepada Sang Hyang Lohgawe, sedangkan Sang Hyang Lohgawe diutus untuk menjadi guru dan mengaku ayah kepada Ken Arok. Ditemukannya Ken Arok oleh Sang Hyang Lohgawe di Taloka karena pentunjuk dari Dewa Wisnu tentang ciri-ciri Ken Arok. Sang Hyang Lohgawe berkata: "Ada seorang anak yang tangannya panjang melampaui lutut, rajah telapak tangan kanannya bertanda cakra, dan rajah telapak tangan kirinya bertanda shankha (cangkang kerang). Ia bernana Ken Angrok. tampak pada waktu aku memuja di Jambudwipa, ia adalah titisan Dewa Wisnu". (Pararaton, 1896: 8).
Setelah Sang Hyang Logawe menurunkan ilmunya ke Ken Arok, mereka berdua pergi ke Tumapel menemui Akuwu (kepala daerah) Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Ken Angrok diterima Oleh Akuwu dan diizinkan untuk mengabdi di Tumapel sebagai pelayan. Setelah insiden pembunuhan Tunggul Ametung oleh Ken Arok, berdirilah kerajaan Singhasari dan Ken Arok pun 4 berkuasa. Setelah Ken Arok menjadi Raja, Sang Hyang Lohgawe memilih menetap di Taloka dari pada kembali ke negerinya agar tetap bisa mendampingi Ken Arok selama menjadi raja. Lalu Setelah ken arok meninggal Sang Hyang Lohgawe kembali ke negeri asalnya di India. Sebagai rasa hormat, masyarakat Taloka memberikan tanda petilasan kepada Sang Hyang Lohgawe bahwa Ia pernah singgah di Taloka sebagai guru dari Ken Arok.
Zaman Kerajaan Mataram islam
Pada masa Gusti Raden Mas Gathot Menol naik tahta menjadi Hamengkubhuwana V, yang merupakan Raja Kerajaan Mataram Islam (1823-1855) terjadi perseteruan antara keraton Jawa dengan Pasukan Belanda. Puncak dari perseteruan ini adalah terjadinya tragedi perang Jawa atau yang kebih dikenal dengan perang Diponegoro. Perang ini dipimpin oleh putra Hamengkubhuwana III yaitu Pangeran Harya Diponegoro. Pada masa perang Diponogoro pada tahun 1825-1830 M, banyak pasukan tentara Diponegoro melarikan diri dari pasukan Belanda karena faktor penipuan terhadap Pangeran Diponegoro yang berujung pada kekalahan besar-besaran. Mereka melarikan diri ke arah timur, salah satu tempat yang dijadikan pelarian oleh pasukan Dipenogoro adalah wilayah Taloka dan Tengger.
Adapun pasukan Diponegoro pertama kali yang melarikan ke Taloka adalah Mbah Rifa'I (Mbah Mulud) beserta pasukannya. Sedangkan yang melarikan diri ke wilayah Tengger adalah Mbah Branjangan, Mbah Tosari, Pangeran Dipoyono, Mbah Sirad, Nyi Kuning (Mbah Fatimah), Pangeran Diposentono (Sentong), Bambang Irawan, dan Mbah Karimun. Alasan mereka melarikan dari ke tengger yaitu untuk mencari salah satu saudara tertua mereka yaitu Mbah Sidiq Wacono/kencono yang sudah membabat desa tersebut sejak tahun 1774 M. Mereka semua merupakan saudara kandung Mbah Sidiq kecuali Mbah Branjangan dan Mbah Karimun.
Tak lama kemudian, Mbah Karimun dan Nyi koneng pun saling mencintai dan menikah. Beliau berdua menyusul Mbah Mulud yang merupakan saudara sepupu Mbah Karimun ke Taloka. Beliau berdua ikut serta membantu Mbah Mulud dalam mengembangkan wilayah Taloka dan bersama-sama membangun kepesantrenan di pedukuhan yang sekarang dikenal dengan Madyorenggo.
Setelah itu, dilanjutkan dengan beberapa saudara Nyi Koneng yang berencana menyusulnya ke Taloka. Beliau adalah Pangeran Dipoyono, Mbah Sirad, Pangeran Diposentono (Sentong), Bambang Irawan, dan teman seperjuangannya yaitu Mbah Branjangan. Sesampainya di taloka beliau semua mencari saudarinya (Nyi Koneng), Mbah Bambang Irawan mencari ke arah selatan yang sekarang dikenal Kepatihan, Dampit. Sedangkan yang lainnya mencari ke wilayah Taloka ke Pedukuhan Serut, yang sekarang dikenal dengan pedukuhan Jatirenggo.
Beberapa tahun sebelum bertemu dengan saudarinya, Pangeran Dipoyono, Mbah Sirad, Pangeran Diposentono (Sentong), dan Mbah Branjangan sudah membabat wilayah Taloka di Pedukuhan Jatirenggo. Beliau semua menetap di daerah tersebut dan mengajarkan ajaran islam ala sunan Kalijaga. Ajaran islam ini tidak menghilangkan budaya jawa, bahkan budaya jawa tersebut dijadikan ajaran untuk menyebarkan agama islam. Salah satu bukti konkritnya adalah tradisi masyarakat Jatirenggo yang melakukan kenduri (syukuran) dengan menggunakan do'a bahasa Jawa, dan masih adanya tradisi Cawisan (Sesajen) untuk para leluhur yang sudah meninggal.
Sedangkan ajaran islam yang diajarkan Mbah Mulud dan Mbah Karimun di Madyorenggo adalah islam ala kudus. Beliau mengajarkan islam beserta budayanya kepada masyarakat dan mulai mininggalkan budaya Jawa. Sehingga sampai saat ini, masyarakat Madyorenggo mewarisi tradisi keislaman dengan budayanya yang kental. Sebagai sebuah penghormatan dari masyarakat atas peran penting Mbah Mulud dan Mbah Karimun beserta istrinya, dibuatlah punden yang terletak di Gunung Petung. Sejak saat itu, beliau bertiga dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh-tokoh yang sangat berjasa dalam penyebaran islam di wilayah Taloka khususnya di pedukuhan Madyorenggo.
Sedangkan Pangeran Dipoyono, Pangeran Diposentono (Sentong), dan Mbah Branjangan di buatkan punden di Gunung Djati. Masyarakat mengenalnya sebagai tokoh yang membabat pedukuhan Jatirenggo pertama kali. Adapun Mbah Sirad di kampung mentaraman dikenal dengan nama Mbah Surogawe karena untuk menyamarkan identitasnya dari para pasukan Belanda, sedangkan Mbah Bambang Irawan di makamkan di Kepatihan, Dampit.
Zaman Penjajahan Sampai Kemerdekaan
Asal mula Talok menjadi sebuah nama desa yang resmi secara hukum ketika zaman penjajahan sampai kemerdekaan. Tentang cikal bakal Desa Talok tidak banyak yang bisa dijadikan sumber literatur untuk membuat kisah atau legendanya eksis sampai saat ini, hanya ditemukan bebarapa hal yang bisa dijadikan bahan dasar sejarah Desa Talok. Diantaranya berupa catatan sesepuh Desa Talok dan sumber tertulis, yaitu kitab Pararaton, serta hasil penelusuran secara spiritual.
Nama Talok berasal dari Pohon Taloka. Pohon Taloka sendiri merupakan sebuah Pohon Dewata dari sebuah biji yang ditanam pertama kali di gunung petung oleh Resi Sang Reca Bhuwana pada tahun 956 M. Kata Taloka berasal dari Bahasa Jawa Kuno. Ta berarti tembung aran, dan Loka berarti Dunia atau dimensi yang berkaitan dengan Kahyangan. Jadi Taloka berarti pohon dewata yang menghubungkan Bumi dengan Kahyangan dan sebagai tempat turunnya Para Dewa.
Pohon Taloka memiliki ciri-ciri yaitu, bercabang banyak dan kecil-kecil, jarak antar cabang dekat, panjangnya bisa mencapai 10 meter, daunnya seperti daun pisang, dan tangkai dan tekstur daunnya seperti daun pohon jati. Berdasarkan kitab Pararaton, secara etimologi nama Desa Talok berasal dari proses peluluhan bunyi untuk memudahkan pengucapan, seperti bagan di bawah ini:
TALOKA -> TALOK
Setelah tercetus nama Pohon Taloka melalui hasil penelusuran spiritual, kemudian dinamakan -dalam kitab Pararaton- sebuah wilayah di sebelah timur Gunung Kawi dengan wilayah Taloka. Kemudian setelah adanya kepala desa pertama yang berbadan hukum, barulah kata Taloka ini dijadikan nama desa menjadi Desa Talok. Berdasarkan hasil penelusuran spiritual dan hitungan Jawa (weton), diketahui bahwa hari lahir Taloka adalah pada saat pohon Taloka ditanam pertama kali. Pohon Taloka ditanam pada Minggu Kliwon malam Senin Legi, 13 Dzulhijjah 856 H/02 April 956 M. Sedangkan berdirinya desa Talok adalah pada saat kepala desa talok pertama kali menjabat.
Desa Talok berdiri pada tahun 1897, desa ini resmi menjadi badan hukum pemerintah dan memiliki kepala desa tetap. Adapun kepala desa pertama sampai sekarang adalah sebagai berikut:
1. Kayat (1897-1905)
2. Panderu (1906-1914)
3. Taerun (1915-1923)
4. Atmo Prayitno (1924-1932)
5. Sukowijoyo (1933-1941)
6. M. Yasin (1942-1949)
7. Karsono (1950-1958)
8. Sarmidi (1959-1966)
9. Endro (1967-1969)
10. Ahmad (1970-1973)
11. M. Sodiq (1974-1990)
12. Setiyo Aji (1991-2001)
13. Hariyono (2002-2012)
14. Sugeng Joko Prapto (2013-2018)
15. Agus Harianto (2019-Sekarang)
Terdapat beberapa peristiwa yang membekas di masyarakat sejak zaman penjajahan sampai saat ini. Peristiwa ini menjadi sejarah kelam yang dialami salah satu kepala desa Talok dan para penduduk. Terdapat peninggalan yang tercatat sebagai bukti adanya sejarah tersebut di Desa Talok, salah satunya adalah punden Mbah M. Yasin dan lubang tempat pembuangan korban peristiwa G30S/PKI.
Pada zaman penjajahan, Bapak M. Yasin menjabat sebagai kepala desa yang resmi dipilih oleh rakyat. Masa jabatan beliau adalah delapan tahun dari tahun 1942 -1949. Namun, beliau menjabat sebagai kepala desa hanya selama dua tahun. Beliau terkena tembak oleh pasukan penjajah pada tahun 1944 karena ikut serta berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Kemudian jabatan beliau digantikan oleh Carik Noto hingga selesai. Untuk mengenang jasa beliau, masyarakat talok membuatkan punden yang terletak di Gunung Djati.
Disamping itu, ada peristiwa menyedihkan yang dialami penduduk desa Talok dan banyak menelan korban. Peristiwa ini dikenal dengan G30S/PKI, bukti sejarah yang masih ada sampai saat ini adalah Sumur Jobong yang terletak di RW 06 dan Sumur Kampung Sumber yang merupakan tempat pembuangan mayat korban dari kekejaman G30S/PKI. Diketahui bahwa korban di Sumur Jobong sebanyak 22 mayat, sedangkan di Sumur Kampung Sumber 4 mayat. Pada zaman tersebut, kepala desa Talok dipegang oleh karteker, ada dua karteker di desa Talok yaitu, Karteker satu Bapak Endro yang menjabat selama 2 tahun, dan karteker dua Bapak Ahmad yang menjabat selama 3 tahun. Keduanya adalah seorang anggota TNI.
SITUS SEJARAH DESA TALOK
Di Desa Talok ada tiga situs sejarah penting yang menjadi cikal bakalnya Desa Talok. Tiga situs sejarah ini juga berhubungan erat dengan tiga zaman sejarah Talok. Adapun tiga situs sejarah Desa Talok yaitu: Makam Mbah Surogawe yang ada sejak zaman kerajaan Singosari, gunung petung dan gunung djati ada sejak zaman kerajaan mataram islam.
Makam Mbah Surogawe
Makam yang menjadi situs sejarah di Desa Talok adalah makam Mbah Surogawe yang bernama asli Mbah Siraj. Beliau memakai nama Surogawe sebagai penyamaran dari pasukan Belanda. Surogawe sendiri adalah merupakan seorang Brahmana yang bernama lengkap Sang Hyang Lohgawe. Adapun nama Surogawe diperoleh karena kebiasaan orang jawa yang menambahi awalan nama seseorang dengan "Suro", dan "Gawe" adalah proses peluluhan bunyi untuk memudahkan orang jawa dalam pengucapannya, sehingga nama Logawe menjadi Surogawe.
Sang Hyang Lohgawe adalah seorang pendatang dari India, Ia seorang Brahmana yang taat memuja dewanya di India. Suatu hari dalam pemujaannya, ia menerima wisik (wahyu) dari dewa Wisnu, untuk berhenti memuja arca Dewa Wisnu yang ada di pertapaan Sang Hyang Lohgawe di India, karena Dewa Wisnu pada saat itu sudah menitis ke dalam diri seseorang di Jawidwipa (Jawa) dengan ciri tangannya panjang melampaui lutut, terdapat gambar pada tangan kanannya cakera dan yang kiri shankha, bernama Ken Arok. Kemudian Mbah Surogawe diberi petunjuk untuk datang ke Wilayah Taloka di Jawidwipa.
Mbah Surogawe adalah sosok sakti, dalam perjalannya menuju tanah Jawa, Ia tidak menggunakan perahu melainkan dengan menginjak tiga kekatang (ikat) rumput, Ia berhasil mendarat di tanah Jawa. Setelah berkeliling, akhirnya Ia menjumpai Ken Arok di tempat perjudian di Taloka. Lalu Mbah Surogawe mendekap Ken Arok seraya berucap "Aku akui kamu menjadi anakku (muridku)".
Gunung Petung
Penamaan Gunung Petung berasal dari banyaknya bambu petung di wilayah tersebut. Gunung ini terletak di pedukuhan Madyorenggo. Gunung Petung menjadi situs sejarah di Desa Talok karena terdapat beberapa peninggalan, yaitu pohon talok, punden (makam) Mbah Mulud, Punden Mbah Karimun beserta isterinya, dan punden Nyi Sri Murti. Beliau-beliau adalah sosok yang sangat berjasa dalam pengembangan Desa Talok terutama di pedukuhan Madyorenggo pada Zaman Kerajaan Mataram Islam.
Di puncak Gunung Petung terdapat pohon Taloka yang sekarang dikenal dengan Pohon Talok. Hal yang beredar dikalangan masyarakat bahkan penduduk Talok sendiri adalah menganggap pohon ceri sebagai pohon Talok karena mereka belum pernah melihat pohon yang sebenarnya dan belum mengenal sejarahnya. Padahal jika kita lihat sejarahnya, pohon ini merupakan peninggalan sejarah yang menjadi cikal bakal nama desa Talok. Pohon ini sudah sejak lama tidak ditemukan, yaitu sejak pohon aslinya yang ditebang pada tahun 1976 oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Setelah tahun 2020 pohon taloka kembali ditemukan oleh sekelompok masyarakat yang sekarang dinamai Gunung Petung Peduli (GPP), merupakan sebuah organisasi yang peduli terhadap sejarah dan peninggalan Desa Talok. Pohon ini ditemukan sekitar 50 meter dari pohon aslinya, tepatnya di sebelah barat daya punden Mbah Mulud. Sekarang pohon ini dipelihara oleh pemerintah desa dan masyarakat Desa Talok yang peduli, sehingga dijadikan icon utama desa Talok.
Selain itu, di Gunung Petung juga ada punden Nyi Sri Murti. Beliau pendatang dari solo yang merupakan seorang penari terkenal pada masanya. Parasnya cantik, wajahnya bulat, memakai kemben warna merah dengan selendang kuning dan memakai tiga sundhuk menthul motif bunga, dan satu tusuk konde. Konon menurut kepercayaan sebagian masyarakat, jika ada seseorang yang ingin menjadi penari tersohor maka harus bertapa di Watu Leter (batu datar) yang terletak disamping makamnya dengan membawa kembang tujuh rupa.
Gunung Djati
Gunung Djati terletak di pedukuhan Jatirenggo. Diberi nama Gunung Djati karena di gunung tersebut terdapat banyak pohon djati. Gunung Djati menjadi situs sejarah desa Talok karena terdapat peninggalan yang terkenal yaitu punden mbah Dipoyono, punden Mbah Branjangan, dan tradisi Tayuban. Gunung Djati dijadikan tempat melakukan tradisi Tayuban oleh masyrakat pedukuhan Jatirenggo. Tradisi ini dilakukan secara turun-temurun, jika tradisi ini tidak dilakukan maka diyakini akan ada musibah/pageblug (musibah penyakit) yang menimpa masyarakat. Sehingga tradisi ini sudah menjadi kewajiban masyarakat agar terhindar dan dilindungi dari musibah tersebut.
Tayub merupakan singkatan dari "ditoto nganti guyub" yang berarti ditata dengan kebersamaan. Tradisi Tayuban dilakukan setiap Senin Legi pada bulan Suro. Pada hari itu, semua masyarakat Jatirenggo bergotong-royong membersihkan makam para leluhur mereka di Gunung Djati. Tradisi ini diawali dengan mengaji bersama pada malam hari, yang kemudian pada esok harinya, masyarakat bersama pemerintah desa bersama-sama ke gunung djati dengan membawa makanan, tumpeng, serta ingkung (ayam ungkep utuh). Mereka mengikuti serangkaian acara yang terdiri dari sambutan dari pemerintah desa, do'a bersama, dan pengucapan ikrar jawa. Lalu, siang harinya merupakan puncak acara yang ditunggu-tunggu masyarakat yaitu penampilan dari kelompok tayub.
Tradisi ini muncul akibat sebuah peristiwa yang mengakar pada pikiran masyarakat. Dahulu kala, sebagian masyarakat Jatirenggo pernah terkena penyakit yang tidak bisa disembuhkan seorangpun, hingga mereka harus dipisahkan ke sebuah tanah lapang agar tidak menularkan pada masyarakat yang lain. Tak lama datanglah sekelompok pengamen orang yang terdiri dari dua orang pemain musik jawa serta satu orang penari atau yang disebut tandak ke daerah tersebut dan membuat pertunjukkan tari dan musik secara khidmad. Setelah itu, para masyarakat yang terkena penyakit tertarik untuk melihat sekelompok orang atau tandak amen tersebut dan kemudian berkerumun untuk menyaksikan penampilan tersebut. Tanpa diduga, para masyarakat yang sebelumnya sakit saat melihat pertunjukkan tersebut menjadi sembuh dan tidak berpenyakit lagi. Dan sesaat kemudian, kelompok pengamen tadi tiba-tiba hilang entah kemana. Untuk menghormati para pemain tandak amen tersebut, setiap senin legi pada bulan Suro masyarakat Jatirenggo menggelar acara tayuban untuk dijadikan tradisi yang tetap lestari sampai saat ini.
Bukti nyata musibah yang terjadi jika tradisi tidak dilakukan adalah pada zaman kepala desa ke-13. Pada suatu hari, sesorang wanita pernah berjanji bahwa yang akan meneruskan tradisi Tayuban adalah anaknya sendiri, yang sebelumnya tradisi Tayuban dilakukan oleh suaminya. Awalnya tradisi ini benar-benar dilakukan dengan lancar, namun pada suatu saat, lupa untuk dilakukan, akibatnya seorang wanita tersebut jatuh sakit dan tidak sembuh-sembuh. Ketika a ingat akan janji ibunya, maka dilakukanlah dengan segera tradisi tayuban, lalu tak lama setelah itu, ibunya segera sembuh. Hal ini terulang kembali pada satu tahun berikutnya. Seorang wanita tersebut jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sebelum meninggal ada seseorang pernah bermimpi, beliau melihat sebuah kain kafan yang terbang mengelilingi pedukuhan Jatirenggo dan jatuh tepat pada kediaman seorang wanita tersebut. Dari cerita tersebut masyarakat Jatirenggo semakin yakin akan adanya musibah jika tradisi Tayuban tidak dilakukan.
Batas Wilayah Desa
Desa Talok adalah desa yang berada diantara beberapa desa yang ada di kecamatan Turen. Batas Wilayah desa Talok diantaranya sebagai berikut :
a. Desa/Kelurahan Sebelah Utara Desa Pagedangan
b. Desa/Kelurahan Sebelah Selatan Desa Gedog Wetan
c. Desa/Kelurahan Sebelah Timur Desa Rembun Kec. Dampit
d. Desa/Kelurahan Sebelah Barat Kelurahan Sedayu
Luas Wilayah Desa
Jumlah keseluruhan wilayah desa talok 412,9000 ha, yang terbagi kedalam beberapa bagian wilayah antara lain sebagai berikut:
a. Sawah 149,3910 ha
b. Pemukiman 31,6100 ha
c. Pekarangan 106,4800 ha
d. Tanah Kas Desa 35,5600 ha
e. Fasilitas Umum 89,8590 ha
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah penduduk desa talok saat ini ada 10.533 orang yang dikategorikan laki-laki dan perempuan, sebagai berikut:
a. Jumlah Laki-Laki (5.263 orang)
b. Jumlah Perempuan (5.270 orang)
Struktur Mata Pencaharian Masyarakat
Desa Talok memiliki masyarakat yang homogen yang mana dalam hal ini berdampak pada mata pencaharian masyarakatnya sendiri. Adapun rincian mata pencaharian yang ada di desa talok adalah sebagai berikut :
a. Nelayan (6 jiwa)
b. Dokter swasta (6 jiwa)
c. Perawat swasta (3 jiwa)
d. TNI (32 jiwa)
e. POLRI (10 jiwa)
f. Pengusaha kecil, menengah dan besar (13 jiwa)
g. Guru swasta (76 jiwa)
h. Dosen swasta (5 jiwa)
i. Karyawan Perusahaan Pemerintah (22 jiwa)
j. Wiraswasta (2.163 jiwa)
h. Tidak Mempunyai Pekerjaan Tetap (179 jiwa)
j. Belum Bekerja (2.041 jiwa)
k. Pelajar (1.541 jiwa)
l. Ibu Rumah Tangga (1.057 jiwa)
m. Purnawirawan/Pensiunan (120 jiwa)
n. Perangkat Desa (8 jiwa)
o. Buruh Harian Lepas (316 jiwa)
p. Sopir (50 jiwa)