Hamka

ulama, sastrawan, dan politisi Indonesia beretnis Minangkabau
Revisi sejak 23 November 2021 12.13 oleh Pufanadz (bicara | kontrib) (Perbaikan pengetikan)

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, populer dengan nama penanya Hamka (bahasa Arab: عبد الملك كريم أمر الله; 17 Februari 1908 – 24 Juli 1981) adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia sempat berkecimpung di politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

Abdul Malik Karim Amrullah
Hamka pada tahun 1954
Hamka pada tahun 1954
Lahir(1908-02-17)17 Februari 1908
Sungai Batang, Tanjung Raya, Onderafdeeling Oud Agam, Hindia Belanda
Meninggal24 Juli 1981(1981-07-24) (umur 73)
Jakarta, Indonesia
Nama penaHamka
KebangsaanIndonesia
TemaTafsir Al-Quran, fiqih (hukum Islam), tarikh (sejarah Islam), tasawuf, dan sastra
Aliran sastraBalai Pustaka
Karya terkenalTafsir Al-Azhar
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Di Bawah Lindungan Ka'bah
PasanganSitti Raham
Sitti Khadijah
AnakRusydi Hamka
Irfan Hamka
Aliyah Hamka
Afif Hamka
Hisyam Hamka
Husna Hamka
Fathiyah Hamka-Vickri
Helmi Hamka
Syakib Arsalan Hamka
Azizah Hamka
Fachry Hamka
Zaki Hamka
Orang tuaAbdul Karim Amrullah (ayah) Sitti Shafiah (ibu)
KerabatAhmad Rasyid Sutan Mansur (kakak ipar)
Tanda tangan

Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa pada tahun 1924. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Setelah menikah, ia kembali ke Medan dan menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melambung sebagai sastrawan.

Selama revolusi fisik Indonesia, Hamka bergerilya di Sumatra Barat bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Semula ia mendapat pekerjaan di Departemen Agama, tapi ia mengundurkan diri karena terjun di jalur politik. Dalam pemilihan umum 1955, Hamka terpilih duduk di Konstituante mewakili Masyumi. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan anti-Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungan Hamka dengan Presiden Soekarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat yang berumur pendek, dibredel oleh Soekarno setelah menurunkan tulisan Hatta—yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul "Demokrasi Kita". Seiring meluasnya komunisme di Indonesia, Hamka diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia merampungkan Tafsir Al-Azhar.

Menjelang berakhirnya kekuasaan Soekarno, Hamka dibebaskan pada Mei 1966.[1] Pada masa Orde Baru Soeharto, ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Agung Al-Azhar serta berceramah di Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.

Kehidupan awal

Masa kecil

 
Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka yang dijadikan museum sejak 2001, tempat Hamka lahir, diasuh dan tinggal bersama anduangnya selama di Maninjau

Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1326] di Tanah Sirah, kini masuk wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan Abdul Karim Amrullah "Haji Rasul" dan Safiyah. Adik-adik Hamka bernama: Abdul Kuddus, Asma, dan Abdul Mu'thi. Haji Rasul menikahi Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana yang merupakan kakak Safiyah meninggal di Mekkah. Raihana memberi Malik seorang kakak tiri, Fatimah yang kelak menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Kelak, Haji Rasul bercerai denagan Safiyah, menikah dengan Rafi'ah dan memberi Hamka seorang adik tiri bernama Abdul Bari. Kembali ke Minangkabau setelah belajar kepada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Haji Rasul memimpin gelombang pembaruan Islam, menentang tradisi adat dan amalan tarekat, walaupun ayahnya sendiri, Muhammad Amrullah adalah seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Istri Amrullah, anduang bagi Malik, bernama Sitti Tarsawa adalah seorang yang mengajarkan tari, nyanyian, dan pencak silat.

Di Maninjau, Hamka kecil tinggal bersama anduangnya, mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau. Ayahnya sering bepergian untuk berdakwah. Saat berusia empat tahun, Malik mengikuti kepindahan orangtuanya ke Padang Panjang, belajar membaca al-Quran dan bacaan shalat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya. Memasuki umur tujuh tahun, Malik masuk ke Sekolah Desa.[a] Pada 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Diniyah School, menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis surau. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Malik mengambil kelas sore di Diniyah School. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab.

Pada 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Malik ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf. Setelah belajar di Diniyah School setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh. Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Dari pelajaran yang diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran arudh yang membahas tentang syair dalam bahasa Arab.[2] Kendati kegiatannya dari pagi sampai sore hari dipenuhi dengan belajar, Hamka kecil terkenal nakal. Ia sering mengganggu teman-temannya jika kehendaknya tidak dituruti. Karena gemar menonton film, Malik pernah mengelabui ayahnya, diam-diam tidak datang ke surau untuk mengintip film bisu yang sedang diputar di bioskop.[3]

Perceraian orang tua

Saat berusia 12 tahun, Malik menyaksikan perceraian orang tuanya. Walaupun ayahnya adalah penganut agama yang taat, kerabat dari pihak ibunya masih menjalankan praktik adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hari-hari pertama setelah orang tuanya bercerai, Malik tak masuk sekolah. Ia menghabiskan waktu berpergian mengelilingi kampung yang ada di Padang Panjang. Ketika berjalan di pasar, ia menyaksikan seorang buta yang sedang meminta sedekah. Malik yang iba menuntun dan membimbing peminta itu berjalan ke tempat keramaian untuk mendapatkan sedekah, hingga mengantarkannya pulang. Namun, ibu tirinya marah saat mendapati Malik di pasar pada hari berikutnya, "Apa yang awak lakukan itu memalukan ayahmu." Malik sempat membolos selama lima belas hari berturut-turut sampai seorang gurunya di Thawalib datang ke rumah untuk mengetahui keadaan Malik. Mengetahui Malik membolos, ayahnya marah dan menamparnya.

Dibayang-bayangi ketakutan terhadap ayahnya, Malik kembali memasuki kelas belajar seperti biasa. Pagi belajar di Sekolah Diniyah, pulang sebentar, berangkat ke Thawalib dan kembali ke rumah menjelang Magrib untuk bersiap pergi mengaji. Sejak ia menemukan bahwa gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy membuka bibliotek, perpustakaan penyewaan buku, Malik sering menghabiskan waktunya membaca. Melalui buku-buku pinjaman, ia membaca karya sastra terbitan Balai Pustaka, cerita Cina, dan karya terjemahan Arab. Setelah rampung membaca, Malik menyalin versinya sendiri. Ia pernah mengirim surat cinta yang disadurnya dari buku-buku kepada teman perempuan sebayanya. Karena kehabisan uang untuk menyewa, Malik menawarkan diri kepada percetakan milik Bagindo Sinaro, tempat koleksi buku diberi lapisan karton sebagai pelindung, untuk mempekerjakannya. Ia membantu memotong karton, membuat adonan lem sebagai perekat buku, sampai membuatkan kopi, tetapi sebagai upahnya, ia meminta agar diperbolehkan membaca koleksi buku yang akan disewakan. Dalam waktu tiga jam sepulang dari Diniyah sebelum berangkat ke Thawalib, Malik mengatur waktunya agar punya waktu membaca. Karena hasil kerjanya yang rapi, ia diperbolehkan membawa buku baru yang belum diberi karton untuk dikerjakan di rumah. Namun, karena Malik sering kedapatan membaca buku cerita, ayahnya menanyakan kepada dirinya apakah akan "menjadi orang alim nanti atau menjadi orang tukang cerita". Setiap mengetahui ayahnya memperhatikan, Malik meletakkan buku cerita yang dibacanya, mengambil buku agama sambil berpura-pura membaca.

Berkas:Masjid Jamik Parabek.PNG
Masjid Jamik Parabek

Permasalahan keluarga membuat Malik sering berpergian jauh seorang diri. Ia meninggalkan kelasnya di Diniyah dan Thawalib, melakukan perjalanan ke Maninjau untuk mengunjungi ibunya. Malik didera kebingungan untuk memilih tinggal dengan ibu atau ayahnya. "Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah ibu, ada ayah tiri." Mengobati hatinya, Malik mencari pergaulan dengan anak-anak muda Maninjau. Ia belajar silat dan randai, tetapi yang disenanginya adalah mendengar kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan bersama alat-alat musik tradisional Minangkabau. Ia berjalan lebih jauh sampai ke Bukittinggi dan Payakumbuh, sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki pacuan kuda. Hampir setahun ia terlantar hingga saat ia berusia 14 tahun, ayahnya merasa resah dan mengantarnya pergi mengaji kepada ulama Syekh Ibrahim Musa di Parabek, sekitar lima kilometer dari Bukittinggi. Di Parabek, untuk pertama kalinya Hamka hidup mandiri.

Di Parabek, Malik remaja belajar memenuhi kebutuhan harian sebagai santri. Meskipun belajar menyesuaikan diri, Malik masih membawa kenakalannya. Malik pernah usil menakuti penduduk sekitar asrama yang mengaitkan wabah demam di Parabek dengan keberadaan hantu yang berwujud seperti harimau. Karena tak percaya dan ingin membuktikan bahwa hal tersebut hanya takhayul, ia menyamar menyerupai ciri-ciri hantu pada malam hari. Dengan mengenakan sorban dan mencoret-coret mukanya dengan kapur, Malik berjalan keluar asrama. Orang-orang yang melihat dan ketakutan berencana membuat perangkap keesokan hari, tetapi Malik segera memberi tahu teman seasramanya tentang keusilannya, meyakinkan bahwa hantu itu tidak ada. Selama berasrama, Malik memanfaatkan hari Sabtu yang dibebaskan untuk keluar dengan pergi berkeliling kampung sekitar Parabek. Karena tertarik mendengar pidato adat, Malik sering menghadiri pelantikan-pelantikan penghulu, saat para tetua adat berkumpul. Ia mencatat sambil menghafal petikan-petikan pantun dan diksi dalam pidato adat yang didengarnya.[4] Demi mendalami minatnya, ia mendatangi beberapa penghulu untuk berguru.[5][6]

Perantauan

Malik sering menempuh perjalanan jauh sendirian, berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau. Ayahnya memberinya julukan "Si Bujang Jauh" karena ia selalu menjauh dari orang tuanya sendiri. Dalam usia baru menginjak 15 tahun, Malik telah berniat pergi ke pulau Jawa. Ia melarikan diri dari rumah, tanpa diketahui ayahnya dan hanya pamit kepada anduangnya di Maninjau. Dari Maninjau, Malik memulai perjalanan dengan bekal ongkos pemberian andungnya. Ia menempuh perjalanan melalui darat dengan singgah terlebih dahulu di Bengkulu, berencana menemui kerabat satu suku dari ibunya untuk meminta tambahan ongkos. Namun, dalam perjalananya, Malik didera penyakit beruntun. Ia ditimpa penyakit malaria saat sampai di Bengkulu. Dalam kondisi sakit dan tubuhnya mulai diserang cacar, Malik meneruskan perjalanan ke Napal Putih dan bertemu kerabatnya. Setelah dua bulan meringkuk menunggu kesehatannya pulih, kerabatnya memulangkan Malik ke Maninjau. Bekas luka cacar menyisakan bopeng di sekujur tubuhnya membuat Malik remaja minder dan dicemooh teman-temannya.

 
Danau Maninjau, pemandangan sebelah barat Nagari Sungai Batang

Pada Juli 1924, Malik kembali memulai perjalanannya ke Jawa. Ia menumpang di rumah Marah Intan sesama perantau Minang dan bertemu adik ayahnya, Jafar Amrullah di Yogyakarta. Pamannya itu membawanya ke tempat Ki Bagus Hadikusumo untuk belajar tafsir Al-Quran. Hamka menemukan keasyikan belajar dengan Ki Bagus yang mengupas makna ayat-ayat Al-Quran secara mendalam. Dari Ki Bagus, Malik mengenal Sarekat Islam dan bergabung menjadi anggota. Melalui kursus-kursus yang diadakan Sarekat Islam, ia menerima ide-ide tentang gerakan sosial dan politik. Di antara gurunya waktu itu adalah HOS Tjokroaminoto dan Suryopranoto. Cokroaminoto menaruh perhatian kepada Malik karena semangatnya dalam belajar. Malik mengikuti kelas dengan tekun, sering bertanya dan menyalin pelajaran yang didapatnya.

Pergerakan Islam di Jawa telah memberi pengaruh besar bagi Malik. Dari pengalamannya di Yogyakarta, ia menemukan Islam sebagai suatu yang hidup, suatu perjuangan, dan suatu pendirian yang dinamis. Ketika perhatian umat Islam di Minangkabau terseret pada perdebatan praktik ritual Islam, ia mendapati organisasi dan tokoh-tokoh pergerakan di Jawa memusatkan diri pada perjuangan untuk memajukan umat Islam dari keterbelakangan dan ketertindasan. Setelah melewatkan waktu enam bulan di Yogyakarta, Malik bertolak ke Pekalongan untuk bertemu dan belajar kepada kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.[7] Pertemuannya dengan Sutan Mansur mengukuhkan tekadnya untuk terjun dalam perjuangan dakwah. Dari kakak iparnya, Malik mendapatkan kesempatan mengikuti berbagai pertemuan Muhammadiyah dan berlatih berpidato di depan umum.

Di Pekalongan, Malik bertemu ayahnya yang urung berangkat ke Mesir setelah ditundanya Kongres Kekhalifahan Internasional. Kegiatan Muhammadiyah menarik perhatian Haji Rasul sehingga saat kembali ke Minangkabau bersama Jafar Amrullah dan Marah Intan, Haji Rasul menginisiasi pendirian Muhammadiyah di Sungai Batang. Perkumpulan yang telah berdiri lebih dulu bernama Sendi Aman bertukar nama menjadi Muhammadiyah untuk diakui sebagai cabang dari Yogyakarta. Dari sinilah Muhammadiyah menyebar ke seluruh daerah Minangkabau dengan bantuan bekas murid-muridnya. Dalam rangka mempersiapkan mubalig dan guru Muhammadiyah, Haji Rasul menggerakkan murid-murid Thawalib membuka Tabligh Muhammadiyah di Sungai Batang. Malik memimpin latihan pidato yang diadakan kursus itu sekali sepakan. Ia membuatkan pidato bagi yang tak pandai mengarang. Pidato-pidato yang bagus ia muat dalam majalah Khatibul Ummah yang dirintisnya dengan tiras 500 eksemplar. Malik melengkapi dan menyunting bagian pidato yang diterimanya sebelum diterbitkan. Gurunya Zainuddin dan pemilik percetakan Bagindo Sinaro ikut membantu pembuatan dan distribusi majalah. Beberapa orang belajar kepada Malik membuat materi pidato. Dari kesibukannya menulis dan menyunting naskah pidato, Malik mulai mengetahui dan menuangkan kemampuannya dalam menulis. Namun, karena alasan keuangan, penerbitan Khatibul Ummah hanya bertahan tiga nomor.[8]

Usaha memperkenalkan Muhammadiyah ke daerah Minangkabau memperoleh banyak tantangan dari kalangan Thawalib yang telah dipengaruhi komunis. Pengaruh paham itu mempengaruhi sikap murid-murid Thawalib terhadap Belanda secara radikal ketimbang ideologi yang berakar dari materialisme. Pada saat yang sama, golongan anti-komunis membatasi kegiatan mereka pada perjuangan pembaruan pendidikan tanpa menentang kedudukan Belanda secara terbuka. Peralihan perhatian ke bidang politik di kalangan guru dan pelajar Thawalib membuat Haji Rasul kecewa sehingga ia menolak mengajar di lembaga itu, walaupun lembaga itu kelak bersih dari golongan komunis.

Pada pengujung 1925, pengurus besar Muhammadiyah di Yogyakarta mengutus Sutan Mansur ke Minangkabau. Sejak itu, Malik selalu mendampingi Sutan Mansur berdakwah dan merintis cabang Muhammadiyah.[9] Bersama Sutan Mansur, ia ikut mendirikan Muhammadiyah di Pagar Alam, Lakitan, dan Kurai Taji.[10] Ketika Syekh Jalaluddin Rajo Endah IV Angkat menggantikan Syekh Mohammad Jamil Jaho sebagai ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang, Malik diangkat sebagai wakil ketua.[11]

Penerimaan dan ibadah haji

Meskipun disambut baik saat kepulangannya, Malik dianggap hanya sebagai tukang pidato daripada ahli agama di kampung halamannya. Dalam membacakan ayat atau kalimat bahasa Arab, Malik dinilai tidak fasih karena tidak memahami tata letak bahasa, nahwu, dan sharaf. Kekurangannya dikait-kaitkan karena ia tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di Thawalib. Menurut kesaksian Hamka, ia memang kerapkali salah dalam melafalkan bahasa Arab, walaupun ketika menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hasil terjemahannya jauh lebih bagus daripada teman-temannya. Malik berasa kecil hati dengan dirinya karena tidak ada pendidikan yang diselesaikannya. Ayahnya menasihatkan agar ia mengisi dirinya dengan ilmu pengetahuan karena "pidato-pidato saja adalah percuma". Saat Muhammadiyah membuka sekolah di Padang Panjang, ia bersama banyak teman-temannya yang pulang dari Jawa ikut melamar sebagai guru. Para pelamar diharuskan mengisi formulir yang menerangkan nama, alamat, dan pendidikan disertai lampiran bukti kelulusan seperti diploma atau ijazah. Pada hari pengumuman pelamar yang lolos sebagai guru, Malik tidak lolos karena tidak memiliki diploma. Hal ini menambah kekecewaan Malik sejak kepulangannya.

Kepada andungnya, Malik sering menceritakan kesedihan dan perasaannya. Dari andungnya, Malik diceritakan bahwa ayahnya pernah berjanji akan mengirimnya belajar ke Mekkah selama sepuluh tahun. Karena takut kepada ayahnya, Malik merencanakan sendiri kepergiannya ke Mekkah. Ia tak menuturkan ke mana hendak pergi kepada ayahnya, hanya berkata hendak pergi ke tempat yang jauh. Karena keterbatasan ongkos, Malik berjalan kaki dari Maninjau ke Padang. Ketika kapal yang membawanya singgah di pelabuhan Belawan, Malik bertemu temannya, Isa, yang membantu ongkos perjalanannya. Pada permulaan Februari 1927, bertepatan dengan keberangkatan jemaah haji Indonesia pada bulan Rajab, Malik berangkat dari Pelabuhan Belawan menuju Jeddah. Selama di kapal, ia amat dihormati lantaran kepandaiannya membaca Al-Quran. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan ajengan. Dalam memoarnya, Hamka mengenang dirinya ditawari kawin dengan seorang gadis Bandung yang memang telah menawan hatinya, tetapi ia menolak. Sewaktu itu, kata Hamka, biasa saja orang menikah di atas kapal.[12]

 
Masjidil Haram, Mekkah pada 1900-an. Perjalanan Hamka ke Mekkah pada tahun 1927 meletupkan inspirasi baginya untuk menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah

Sampai di Mekkah, ia mendapat tumpangan di rumah pemandu haji "Syekh" Amin Idris. Untuk memenuhi biaya hidup, ia bekerja di percetakan Tuan Hamid Kurdi, mertua ulama Minangkabau Ahmad Chatib. Di tempat ia bekerja, ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya. Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, ia bergabung dengan perkumpulan orang-orang Indonesia Persatuan Hindia-Timur. Ia memiliki bahasa Arab yang fasih. Ketika perkumpulan itu berencana menyelenggarakan manasik haji bagi jemaah Indonesia, Malik dipercaya memimpin anggota delegasi menemui Amir Faishal, putra Ibnu Saud dan Imam Besar Masjidil Haram Abu Samah. Pengajarannya berlangsung di kompleks Masjidil Haram. Malik sempat memberikan pelajaran agama sebelum ditentang oleh pemandu hajinya.

Ketika waktu berhaji tiba di tengah musim panas, Malik sempat ditimpa sakit kepala dan tak dapat berjalan ke mana-mana. Ia tak sadarkan diri hingga lepas tengah malam. Begitu mudah orang mati, sampai ia merasa barangkali tentu akan mati. Selepas menunaikan haji, ketika jemaah haji menurut kebiasaan menghadap syekh masing-masing untuk dipasangkan sorban dan diberikan nama, Malik mengelak. Ia menyebut kebiasaan itu sebagai "perbuatan khurafat". Sempat berencana menetap di Mekkah, Malik memutuskan pulang setelah bertemu Agus Salim. Karena Agus Salim urung mengikuti Kongres Islam Sedunia yang batal diadakan, waktu yang dimiliki Agus Salim dimanfaatkan Malik untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan politik Indonesia. Hampir seminggu Malik menyediakan diri sebagai khadam atau pelayan saat Agus Salim menasihatinya untuk segera pulang. "Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di Tanah Airmu sendiri", ujar Agus Salim.

Merintis karier

Malik kembali ke Tanah Air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannya pulang ke Padang Panjang, ia memilih turun di Medan, kota tempat berlabuhnya kapal yang membawanya pulang. Medan menandai awal terjunnya Malik ke dalam dunia jurnalistik. Ia menulis artikel tentang pengalamannya menunaikan ibadah haji untuk Pelita Andalas, surat kabar milik orang Tionghoa. Ia menulis, untuk pertama kalinya, mengenai Sumatra Thawalib dan gerakan reformasi Islam di Minangkabau, yang dipimpin ayahnya sendiri. Dari artikel-artikel awal itulah, Hamka menemukan suaranya sebagai jurnalis. Muhammad Ismail Lubis, pimpinan majalah Seruan Islam mengirimkan permintaan kepada Malik untuk menulis. Selain menulis untuk surat kabar dan majalah lokal, Malik mengirimkan tulisannya ke Suara Muhammadiyah pimpinan Abdul Azis dan Bintang Islam pimpinan Fakhroedin. Namun, karena penghargaan atas karya tulis saat itu masih demikian kecil, Malik mengandalkan honor dari mengajar untuk menutup biaya hidupnya. Ia memenuhi permintaan mengajar dari pedagang-pedagang kecil di Kebun Bajalinggi. Waktu itulah ia menyaksikan kehidupan kuli dari dekat yang kelak menggerakkannya menulis Merantau Ke Deli.[13]

Sewaktu di Medan, kerabat dan ayahnya berkali-kali berkirim surat memintanya pulang. Malik baru memutuskan pulang setelah mendapat bujukan kakak iparnya, Sutan Mansur. Sutan Mansur singgah di Medan dalam perjalanan pulang dari Lhokseumawe pada akhir 1927. Malik menyusul ayahnya di Sungai Batang—rumah mereka di Padang Panjang luluh lantak akibat gempa bumi setahun sebelumnya. Setiba di kampung halamannya, Malik bertemu ayahnya secara mengharukan. Ayahnya terkejut mengetahui Malik telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri. "Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya ketika itu sedang susah dan miskin." Penerimaan ayahnya membuat Malik sadar betapa besar kasih ayahnya terhadap dirinya. Menebus rasa bersalah, Malik bersedia memenuhi permintaan ayahnya untuk dinikahkan. Ia menikah dengan Sitti Raham pada 5 April 1929.

Di Sungai Batang, Malik menerbitkan romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah. Roman itu mulai disusunnya ketika di Medan. Ia menunjukkan Si Sabariyah pertama kali di depan ayahnya, Jamil Jambek, dan Abdullah Ahmad dengan membacakannya sewaktu mereka berkumpul dalam Rapat Besar Umat Islam di Bukittinggi pada Agustus 1928. Dari Abdullah Ahmad, ia mendapat motivasi untuk terus mengarang dengan memasukkan nilai-nilai agama ke dalam roman-romannya. Ketika terbit, Si Sabariyah laris di pasaran hingga dicetak tiga kali. Kenyataan ini melecut semangatnya dalam melaksanakan kewajiban dakwah melalui tulisan.[14] Tumbuh kepercayaan dirinya bahwa ia memiliki kualitas tersendiri karena menguasai dengan baik teknik-teknik lisan dan tulisan.[15] Dari honor Si Sabariyah, Malik membiayai pernikahannya kelak. Setelah menikah, Malik menulis kisah Laila Majnun yang dirangkai Malik "dengan khayalannya" setelah membaca hikayat Arab "dua halaman". Pada 1932, Balai Pustaka, penerbit utama kala itu menerbitkan Laila Majnun dengan ketentuan perubahan ejaan dan nama tokoh. Penerimaan Balai Pustaka membesarkan hatinya dan memacunya untuk lebih giat lagi menulis dan mengarang.

Muhammadiyah

Setelah tiga bulan menikah, Malik bersama istrinya pindah ke Padang Panjang. Dalam kepengurusan Muhammadiyah, ia menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah Padang Panjang dan merangkap sebagai pimpinan Tabligh School setingkat madrasah tsanawiyah yang diadakan Muhammadiyah.[16] Pengajarannya menempati gedung Muhammadiyah di Guguk Malintang setiap Selasa malam dan dihadiri banyak orang.[17] Sebagai wadah pembentukan kader-kader Muhammadiyah, mata pelajaran Tabligh School berkisar tentang kepemimpinan, strategi dakwah, dan penyebaran dakwah Muhammadiyah. Malik mengajar bersama Sutan Mansur dan Sutan Mangkuto. Caranya mengajar dianggap baru, berbeda dengan yang lain. Salah seorang muridnya, Malik Ahmad kelak menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah.

Ketika diadakannya Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo pada awal 1929, Malik datang sebagai peserta. Sejak itu, ia tidak pernah absen menghadiri Kongres Muhammadiyah berikutnya. Dalam kunjungannya di Solo, ia bertemu dengan tokoh pimpinan Muhammadiyah, Fakhruddin. Hamka menyebut Fakhruddin sebagai salah seorang yang mempengaruhi jalan pikirannya dalam agama. "Keberanian dan ketegasannya menjadi pendorong bagi saya untuk berani dan tegas pula." Dalam perjalanannya di Bandung, Hamka bertemu A. Hassan dan Mohammad Natsir. Pada 1929, ia juga mengasuh majalah Kemauan Zaman, tetapi hanya bertahan lima nomor.[18]

Ketika Muhammadiyah mengadakan kongres di Bukittinggi pada 1930, Malik berpidato tentang "Agama Islam dalam Adat Minangkabau". Dalam kongres yang bersifat nasional, baru Hamka sebagai pembicara yang mencoba mempertautkan adat dengan agama. Pada kongres Muhammadiyah ke-20 tahun berikutnya di Yogyakarta, Malik menyampaikan pidato mengenai perkembangan Muhammadiyah di Sumatra. Ia mampu memukau sebagian besar peserta kongres yang hadir. Pidatonya membuat banyak orang yang menitikkan air mata. Pada 1931, usai membuka cabang Muhammadiyah di Bengkalis, ia dipercayakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar.[19][20]

Berkas:Pusat Dakwah Muhammadiyah di Kota Makassar.jpg
Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulawesi Selatan di Makassar yang mengadopsi bentuk rumah gadang, rumah khas Minang

Selama di Makassar, Hamka sempat mengeluarkan majalah Islam Tentera sebanyak empat edisi dan majalah Al-Mahdi sebanyak sembilan edisi. Keberadaan Malik di Makassar dimanfaatkan oleh pimpinan Muhammadiyah setempat.[21] Malik mendirikan Tabligh School yang serupa di Padang Panjang. Menggantikan sistem pendidikan tradisional, Tabligh School menawarkan pola pendidikan baru secara modern dan sistematis dengan mengambil model pendidikan barat, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai agama. Sepeninggal Hamka pada 1934, Tabligh School di Makassar diteruskan menjadi Muallimin Muhammadiyah di bawah asuhan Muhammadiyah. Dari pergaulannya dengan masyarakat Makassar, ia mendapat inspirasi dalam menulis novelnya kelak, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.

Kembali ke Padang Panjang pada 1934, Malik diserahi untuk memimpin Kulliyatul Mubalighin sebagai ganti Tabligh School yang mengalami kemunduran sepeninggalnya.[22] Dengan lama belajar tiga tahun, lembaga ini dimaksudkan untuk menyiapkan mubalig dan guru sekolah menengah tingkat tsanawiyyah. Melalui Kulliyatul Mubalighin, ia mengajarkan murid-murinya berpidato dan mengarang.[23]

Pada 1934, ia diangkat menjadi anggota Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah—yang meliputi Sumatra Barat, Jambi, dan Riau.

Pedoman Masyarakat

Dari pengalamannya di Padang Panjang dan Makassar, Hamka merasa bakatnya sebagai pengarang lebih baik ia manfaatkan ketimbang menjadi guru. Pada Januari 1936, Hamka berangkat ke Medan, memelopori jurnalistik Islam dan menekuni karang-mengarang. Ia memenuhi permintaan Muhammad Rasami, tokoh Muhammadiyah Bengkalis untuk memimpin Pedoman Masyarakat di bawah Yayasan Al-Busyra pimpinan Asbiran Yakub.[24] Kulliyatul Mubalighin yang ditinggalkannya diteruskan oleh Abdul Malik Ahmad sampai 1946.[25] Pedoman Masyarakat beroplah 500 eksemplar ketika terbit perdana pada 1935.[26] Oplahnya melonjak hingga 4.000 eksemplar setelah Malik menjadi pemimpin redaksi pada 22 Januari 1936.[27][28] Majalah itu mengupas pengetahuan umum, agama, dan sejarah. Melalui kedudukannya sebagai pemimpin redaksi, Hamka menjalin hubungan intelektual dengan sejumlah tokoh pergerakan.[29][30] Pada Februari 1936, ia menyindir sikap pemerintah kolonial terhadap Hatta dan Sjahrir dengan mengasingkan mereka ke Boven Digul. Melalui Pedoman Masyarakat pula, Malik untuk pertama kalinya memperkenalkan nama pena "Hamka".

Hamka mengisi beberapa rubrik dan menulis cerita bersambung. Mengangkat masalah penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan, ia menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah. Hamid terhalang menikahi Zainab karena perbedaan status antara kedua keluarga. Melihat animo masyarakat yang luas, Balai Pustaka menerbitkan Di Bawah Lindungan Ka'bah pada 1938. Setelah Di Bawah Lindungan Ka'bah, Hamka menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck tentang percintaan antara Zainuddin dan Hayati yang terhalang adat dan berakhir dengan kematian. Sewaktu dimuat sebagai cerita bersambung, Hamka menuturkan ia mendapat banyak surat dari pembaca, sebagian meminta agar Hayati hati "jangan sampai dimatikan", sebagian mengungkapkan kesan mereka "seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri". Namun, sejumlah pembaca Muslim menolak Van Der Wijck karena menurut mereka seorang ulama tak pantas menulis roman percintaan. Ia pernah dijuluki kiai cabul.[31] Hamka membela diri lewat tulisan di Pedoman Masyarakat pada 1938. Ia menyatakan, tak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya. Ia merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.

Pendudukan Jepang dan pasca-kemerdekaan

 
Hamka sebagai anggota Konstituante, 1956

Setelah Jepang mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda dan menduduki Medan pada 13 Maret 1942, majalah Pedoman Masyarakat berhenti terbit.[32] Sembari memfokuskan perhatiannya memimpin Muhammadiyah, Hamka berusaha mempertahankan Muhammadiyah dari pembubaran.

Kedudukan Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah menjadi perhatian Jepang. Pada 1944, Jepang mengangkatnya menjadi anggota Chuo Sangi-in untuk Sumatra, yaitu menjadi penasehat dari Chuokan Sumatra Timur Letnan Jendral T. Nakashima. Ia menerima pengangkatannya karena percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, sikap kompromistis dan kedudukannya dalam pemerintahan pendudukan menyebabkan Hamka terkucil, dibenci, dan dipandang sinis oleh masyarakat. Hamka mengungkapkan bahwa bulan Agustus sampai Desember 1945 adalah masa yang paling pahit selama hidupnya, berada di tengah kebencian dan penghinaan sampai-sampai di depan anak-anaknya ia berkata, "sekiranya tidak ada iman, barangkali ayah sudah bunuh diri." Hal ini membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke Padang Panjang. Hamka tiba di Aur Tajungkang, Bukittinggi pada 14 Desember 1945.

Kembali ke Sumatra Barat, Hamka menulis untuk membuktikan bahwa dirinya bukan kaki tangan penjajah, melainkan bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan. Pada masa ini terbit buku-bukunya, seperti Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita.[33] Ketika berlangsung Konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang pada 22 Mei 1946, Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatra Barat, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto yang diangkat menjadi Bupati Solok. Posisi sebagai ketua Muhammadiyah membuat Hamka mempunyai banyak kesempatan mengunjungi cabang-cabang Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan penyiaran Islam.

Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda ke Tanah Air. Selama perang kemerdekaan, Hamka bersama para pemimpin dan para pejuang lainnya ambil peranan melawan Belanda. Menurut Emzita, seorang jurnalis yang mengikuti perang gerilya pasca-kemerdeaan, Hamka melakukan kegiatan "tablig revolusi". Ia menjadi penghubung krusial di antara ulama dengan kelompok-kelompok pejuang. Hamka ikut mendirikan Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK), pasukan rakyat yang besar sekali peranannya dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda di Sumatra Barat. Ia bergerilya masuk-keluar hutan, mengelilingi hampir seluruh nagari di Sumatra Barat dan Riau untuk mengobarkan semangat perjuangan. Tatkala Front Pertahanan Nasional (FPN) dibentuk secara resmi di Sumatra Barat pada 12 Agustus 1947,[34] Hamka ditunjuk oleh Muhammad Hatta sebagai salah seorang pimpinan. Bersama-sama dengan pimpinan FPN lain, yaitu Khatib Sulaiman, Rasuna Said dan Karim Halim, FPN di Sumatra Barat berhasil menghimpun tidak kurang dari 500.000 pemuda yang berusia antara 17–35 tahun.[35][36][37]

Saat tentara Belanda menduduki Padang Panjang tahun 1948, Hamka mengungsikan keluarganya ke Sungai Batang. Selama berbulan-bulan, Hamka tak bertemu anak-anaknya. Putra Hamka, Rusydi Hamka menuturkan, mereka hanya bisa memakan ubi dan bubur. "Waktu itulah, Aliyah nyaris menemui ajalnya karena terlalu sering mengkonsumsi ubi, membuat Aliyah terserang penyakit."

Pindah ke Jakarta

 
Hamka bersama istri dan anak-anaknya. Dari pernikahannya dengan Sitti Raham, ia dikaruniai sebelas orang anak (delapan dalam foto)

Pada bulan Desember 1949, Hamka pindah bersama keluarganya ke Jakarta. Ia semula menyewa rumah milik keluarga Arab di Jalan Toa Hong II, Kebun Jeruk.[38] Untuk memulai hidup, Hamka mengandalkan honorarium buku-bukunya yang diterbitkan di Medan sambil mengirim tulisan untuk surat kabar Merdeka dan majalah Pemandangan. Dalam surat kabar Abadi, Hamka mengasuh rubrik "Dari Perbendaharaan Lama" yang terbit dalam edisi Minggu. Beberapa karangannya sempat terbit di majalah Mimbar Indonesia yang dipimpin H.B. Jassin dan majalah Hikmah.

Ia diangkat sebagai pegawai Kementerian Agama yang pada waktu itu menterinya dipimpin KH Wahid Hasyim. Ia diserahi tugas mengajar di beberapa perguruan tinggi Islam. Di antaranya Universitas Islam Jakarta, PTAIN Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Universitas Muslim Ujungpandang. Hamka banyak diundang ke berbagai tempat untuk ceramah.

Pada 1950, usai menunaikan ibadah haji, Hamka mengunjungi beberapa negara Arab dan mendapatkan banyak inspirasi untuk menulis. Ia menulis tiga romannya yakni Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajjah. Sejumlah konferensi internasional mendapuk Hamka sebagai pembicara mewakili Indonesia. Pada 1952, ia mendapat undangan dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk mengadakan kunjungan ke negara itu. Dari kunjunganya, ia mengarang buku Empat Bulan di Amerika. Pada 1953, ia mengikuti Misi Kebudayaan RI ke Muangthai dipimpin Ki Mangunsarkoro. Pada 1954, ia berangkat ke Burma mewakili Departemen Agama dalam perayaan 2.000 tahun wafatnya Siddhartha Gautama.

Berstatus sebagai pegawai pemerintah, Hamka pada saat yang sama terjun dalam kancah politik. Ia bergabung dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menginginkan perjuangan Islam melalui mekanisme konstitusional. Namun, aktivitasnya di dunia politik belakangan menyebabkannya harus mengundurkan diri sebagai pegawai Departemen Agama. Soekarno meminta para pegawai untuk memilih tetap menjadi pegawai atau anggota partai.

Pada pemilihan umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante mewakili Jawa Tengah. Dalam sidang-sidang Konstituante, ia menyampaikan pidato tentang bahasa, hak-hak azasi manusia, dan dasar negara. Hamka tampil sebagai salah seorang penanggap pidato Presiden Soekarno berjudul "Republika" (yang mengajak kembali ke UUD 1945 dan ide "kabinet kaki empat"). Ia menolak gagasan Presiden Soekarno yang akan menerapkan Demokrasi Terpimpin. Ketika terjadi perdebatan mengenai dasar negara, Hamka bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari secara konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. Hamka mengemukakan kelebihan Islam dari Pancasila, malah dari dasar apapun di dunia. Ia meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila mencerminkan gaya hidup ataupun falsafah hidup orang Indonesia sekalipun ia menghargai usaha mereka yang hendak meyakinkan ini. Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat tentang "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Perdebatan itu berujung pada dikeluarkannya Dekrit Presiden.

Masjid Agung Al-Azhar

 
Masjid Agung Al-Azhar, namanya disematkan oleh Imam Besar Al-Azhar Syekh Mahmud Syaltut sebagai pengakuan atas peran dan ketokohan Hamka.

Pada tahun 1956, Hamka membangun sebuah rumah kediaman untuk anak dan istrinya di Jalan Raden Patah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di depan rumahnya direncanakan akan dibangun sebuah masjid yang digagas oleh tokoh-tokoh Masyumi, tetapi panitia pembangunan belum mendapatkan tokoh yang tepat untuk menjadi penanggung jawab dan imam masjid tersebut. Pada saat itulah Ghazali Syahlan dan Abdullah Salim yang diberi tugas mencari tokoh tersebut menghadap Hamka untuk meminta kesediaannya. Permohonan ini diterima oleh Hamka. Dalam suatu pertemuan, ia menyarankan agar masjid itu dibangun terlebih dahulu dan juga menyarankan agar bangunannya disertai dengan ruang kantor, ruang pertemuan, dan ruang perkuliahan yang dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan dakwah, pendidikan, dan kegiatan sosial lainnya.

Sebelum pembangunan masjid itu selesai, Hamka menghadiri undangan sebuah konferensi Islam dari Universitas Punjab di Lahore, Pakistan pada Januari 1958. Ia hadir sebagai delegasi Indonesia dalam simposium Islam di Lahore bersama Hasbi Ash-Shieddiqy dan KH Anwar Musaddad. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Kairo, Mesir sebagai tamu kenegaraan bersamaan dengan Soekarno, yang kebetulan ketika itu sedang berkunjung ke Mesir. Dalam kunjungannya ke Kairo, ia memenuhi undangan Forum Dunia Islam untuk memberikan ceramah di Universitas Al-Azhar pada Februari 1958. Di gedung Asy-Syubbanul Muslimun, Hamka menyampaikan pidato tentang pengaruh paham Muhammad Abduh di Indonesia dan Malaya. Hamka menguraikan tentang kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern di Indonesia seperti Thawalib, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Dalam ceramahnya ia mendapat sambutan luas dari kalangan akademik dan intelektual Mesir karena pemaparannya yang dinilai sangat baik tentang pengaruh paham Muhammad Abduh terhadap masyarakat Muslim di Asia Tenggara, yang di Mesir sendiri sangat terbatas sekali yang mengenalnya. Setelah memberikan ceramahnya, ia melanjutkan perjalanan ke Mekkah, Jeddah, dan Madinah. Ketika memenuhi undangan dari pihak istana Kerajaan Arab Saudi, ia menerima berita dari Mesir yang menyatakan bahwa Universitas Al-Azhar telah mengambil keputusan hendak memberinya gelar Ustadziyah Fakhriyyah, gelar ilmiah tertinggi dari universitas itu yang setara dengan Doktor Honoris Causa.

Pada Desember 1960, Syekh Mahmud Shaltut, Imam Besar Al-Azhar, beserta rombongan datang ke Indonesia sebagai tamu kenegaraan. Dalam lawatan ini, Mahmud Shaltut meninjau Masjid Agung Kebayoran Baru.

Tuduhan plagiat dan pemberontakan

 
Hamka (duduk) bersama Natsir (kiri) dan Isa Anshary (kanan). Mereka sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh rezim Soekarno akibat adanya kaitan petinggi partai Masyumi dengan pemberontakan PRRI.

Kedekatan Hamka terhadap partai Masyumi menyebabkan Hamka ikut menjadi bulan-bulanan dari pihak PKI. Organisasi sayap PKI, Lekra menuduhnya sebagai "plagiator " dan pemerintah waktu itu menuduhnya sebagai orang yang akan berusaha melakukan makar. Pada September 1962, Lekra menuduh novel Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalah jiplakan dari karya pengarang Prancis Alphonse Karr Sous les Tilleus. Novel Sous les Tilleus diterjemahkan oleh Mustafa Lutfi Al-Manfaluti ke bahasa Arab. Pada tahun 1963, novel edisi Arab ini diindonesiakan AS Alatas dengan judul Magdalena.

Keadaan memburuk bagi Hamka ketika Panji Masyarakat memuat artikel Muhammad Hatta berjudul "Demokrasi Kita". Setelah penerbitan Panji Masyarakat berhenti sejak 17 Agustus 1960, tulisannya satu setengah juz dimuatkannya dalam majalah Gema Islam sampai akhir Januari 1962, yaitu dari juz 18 sampai juz 19. Ceramah-ceramah Hamka tiap subuh selalu dimuat secara teratur dalam majalah hingga Januari 1964.

Pada 27 Januari 1964, setelah Masyumi dibubarkan paksa akibat adanya para anggota partai yang ditangkap di pemberontakan PRRI,[39] Hamka dan para anggota senior Masyumi turut dipenjara karena dianggap terlibat dalam pemberontakan.[40]

Karena jatuh sakit, Hamka dipindahkan dari tahanan ke RS Persahabatan. Selama perawatan di rumah sakit ini, Hamka meneruskan penulisan Tafsir Al-Azhar. Ia mengaku wajah-wajah jemaahnya yang terbayang ketika ia mulai mengoreskan pena untuk menulis tafsir. Hamka ditetapkan sebagai tahanan politik selama dua tahun sejak 28 Agustus 1964, diikuti tahanan rumah dua bulan dan tahanan kota dua bulan.

Orde Baru

Pada 30 November 1967, Pemerintah Indonesia menggagas diadakannya Musyawarah Antar Agama. Dalam musyawarah yang dihadiri pemuka agama yang diakui secara resmi di Indonesia, pemerintah mengusulkan pembentukan Badan Konsultasi Antar Agama dan pernyataan bersama dalam piagam yang isinya antara lain, ”Menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain.” Badan Konsultasi Antar Agama berhasil dibentuk, tetapi musyawarah gagal menyepakati penandatangangan piagam yang diusulkan pemerintah. Perwakilan Kristen merasa berkeberatan sebab piagam tersebut dianggap bertentangan dengan kebebasan penyebaran Injil. Dalam pidatonya, Albert Mangaratua Tambunan menyampaikan pendirian umat Kristiani bahwa menyebarkan Pekabaran Injil kepada orang yang belum Kristen adalah "Titah Ilahi yang wajib dijunjung tinggi". Meskipun Musyawarah Antar Agama dianggap gagal oleh banyak pihak, Hamka menganggap musyawarah itu berhasil karena telah mengungkap "apa-apa yang selama ini belum terungkapkan secara gamblang".

Setelah bebas dari penjara, Hamka menjadi perwakilan Indonesia dalam beberapa pertemuan internasional. Pada 1967, ia berkunjung ke Malaysia atas undangan Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman. Pada 1968, ia menghadiri Peringatan Masjid Annabah di Aljazair. Dari Aljazair, ia mengunjungi beberapa negara seperti Spanyol, Roma, Turki, London, Saudi Arabia, India, dan Tahiland. Pada 1969, bersama KH Muhammad Ilyas dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Anwar Tjokroaminoto, Hamka mewakili Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam membahas konflik Palestina-Israel di Rabat, Maroko.

Dalam musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30 September–4 Oktober 1970, Pusat Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan pemerintah, mengapungkan gagasan pembentukan Majelis Ulama. Meskipun mendapatkan dukungan Menteri Agama KH Muhammad Dahlan, sejumlah ulama dan tokoh Islam, seperti Mohammad Natsir dan Kasman Singodimedjo melihat bahwa lembaga itu hanya akan menguntungkan pemerintah ketimbang umat Islam. Namun, Hamka memandang penting pembentukan Majelis Ulama perlu sebagai jembatan pemerintah dan umat Islam. Menurutnya, Majelis Ulama dapat mengurangi rasa curiga antara pemerintah dan umat Islam. "Mereka berani mengkritik perbuatan pemerintah yang salah menurut keyakinannya, walaupun karena ketegasan pendiriannya itu, ia akan dibenci oleh penguasa. Sebaliknya ia pun berani membela satu langkah pemerintah yang dianggapnya menempuh jalan yang benar, walaupun karena itu ia pun akan dibenci oleh rakyat," tulis Hamka dalam Panji Masyarakat pada 1 Juli 1974.

Pada 1971, Hamka menghadiri Seminar Islam di Aljazair, dengan membawa paper tentang Muhammadiyah di Indonesia. Pada 8 Juni 1974, Hamka menerima gelar kehormatan Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Pada 1975, ia menghadiri Muktamar Masjid di Mekkah. Pada 1976, ia menghadiri Konferensi Islam di Kucing, Serawak, Malaysia Timur. Pada 1976, ia mengikuti Seminar Islam dan Kebudayaan Malaysia di Universitas Kebangsaan Malaysia dengan paper "Pengaruh Islam pada Kesusastraan Melayu". Pada 1977, ia menghadiri Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore dan Muktamar Ulama (Al-Buhust Islamiyah) di Kairo. Di Lahore, Hamka menyampaikan makalahnya tentang Muhammad Iqbal, menyoroti pengaruh Iqbal dalam membawa identitas Muslim pada Jinnah.[41]

Ketua MUI

Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbentuk pada 26 Juli 1975, Hamka dipilih secara aklamasi sebagai Ketua MUI.[42] Pada hari itu pula, Hamka berpidato pertama kali sebagai Ketua MUI. Ketika ia menyampaikan pidato saat pelantikan dirinya, Hamka menyatakan bahwa dirinya bukanlah sebaik-baiknya ulama. Ia menyadari bahwa dirinya memang populer, "tapi kepopuleran bukanlah menunjukkan bahwa saya yang lebih patut." Ia menjelaskan posisi MUI dengan pemerintah dan masyarakat terletak di tengah-tengah, "laksana kue bika" yang "dibakar api dari atas dan bawah". "Api dari atas ibarat harapan pemerintah, sedangkan api dari bawah wujud keluhan umat Islam. Berat ke atas, niscaya putus dari bawah. Putus dari bawah, niscaya berhenti jadi ulama yang didukung rakyat. Berat kepada rakyat, hilang hubungan dengan pemerintah."

Meski berbagai pihak waktu itu sempat ragu apakah Hamka mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang saat itu berlangsung dengan sangat gencar, ia berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Sebagai Ketua MUI, ia meminta agar ia tidak digaji. Ia memilih menjadikan Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI alih-alih berkantor di Masjid Istiqlal. Selain itu, ia meminta agar diperbolehkan mundur, apabila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Pemerintah bersedia mengakomodasi permintaan Hamka.

Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soeharto sejak mulai berdirinya Majelis Ulama Indonesia selalu menganjurkan agar di Indonesia terdapat Kerukunan Hidup Beragama. Hamka sebagai Ketua MUI pada 21 September 1975 menerangkan kepada 30 orang utusan ulama yang hadir bahwa Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas di dalam surat Al-Mumtahinah ayat 7 dan 8, bahwa tidak dilarang oleh Al-Quran orang Islam itu hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. "Orang Islam disuruh berlaku adil dan hidup rukun dengan mereka asal saja mereka itu tidak memerangi kita dan mendesak kita untuk keluar dari tanah air kita sendiri." MUI telah menerima anjuran pemerintah tentang kerukunan umat beragama.

Pada 1978, Hamka berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadhan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.

Fatwa MUI dan pengunduran diri

Pada 7 Maret 1981, MUI mengeluarkan fatwa tentang keharaman perayaan Natal bagi umat Islam. Fatwa itu keluar menyusul banyaknya instansi pemerintah menyatukan perayaan Natal dan Lebaran lantaran kedua perayaan itu berdekatan. Hamka membantah perayaan Natal dan Lebaran bersama sebagai bentuk toleransi. "Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Al-Quran atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu adalah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima." Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia mencatat, Hamka menyebut perayaan Natal dan Lebaran bersama bukan bentuk toleransi, tetapi memaksakan kedua penganut Islam dan Kristiani menjadi munafik. Dalam khutbahnya di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka menyampaikan, "haram hukumnya bahkan kafir bila ada orang Islam menghadiri upacara Natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti ia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik."

MUI memfatwakan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam hukumnya haram, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa karena Natal tidak dapat dipisahkan dari soal-soal keyakinan dan peribadatan. Namun, keluarnya fatwa MUI menulai kecaman dari pemerintah. Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara meminta fatwa MUI dicabut karena dianggap mengusik kerukunan antara umat Islam dan Kristen. Menurut Ketua Komisi Fatwa Syukri Ghozali, sebagaimana dikutip Tempo, fatwa itu sebenarnya dibuat agar Departemen Agama menentukan langkah dalam menyikapi Natalan-Lebaran yang kerap terjadi. Namun, fatwa itu menyebar ke masyarakat sebelum petunjuk pelaksanaan selesai dibuat Departemen Agama. Menyikapi hal itu, Hamka mengeluarkan surat keputusan (SK) mengenai penghentian edaran fatwa. Dalam surat pembaca yang ditulis dan dimuat oleh Kompas 9 Mei 1981, Hamka menjelaskan SK itu tak mempengaruhi kesahihan fatwa tentang perayaan Natal. "Fatwa itu dipandang perlu dikeluarkan sebagai tanggung jawab para ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara kemurnian aqidah Islamiyah."

Menanggapi tuntutan pemerintah untuk mencabut fatwa, Hamka memilih meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. Dalam buku Mengenang 100 Tahun Hamka, Shobahussurur mencatat perkataan Hamka. "Masak iya saya harus mencabut fatwa," kata Hamka sambil tersenyum sembari menyerahkan surat pengunduran dirinya sebagai ketua MUI kepada Departemen Agama. Mundurnya Hamka dari MUI mengundang simpati masyarakat Muslim pada umumnya. Kepada seorang sahabatnya, M. Yunan Nasution, Hamka mengungkapkan, "waktu saya diangkat dulu tidak ada ucapan selamat, tapi setelah saya berhenti, saya menerima ratusan telegram dan surat-surat yang isinya mengucapkan selamat."

Meninggal

Kesehatan Hamka menurun setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI. Mengikuti anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga Hamka, Hamka diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 18 Juli 1981, bertepatan dengan awal Ramadan. Pada hari keenam dirawat, Hamka sempat menunaikan salat Dhuha dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum. Siangnya, beberapa dokter datang memeriksa kondisinya, menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan koma. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru, dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan alat pacu jantung. Pada pukul sepuluh pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan tidak lama setelah itu Hamka menghembuskan napas terakhirnya.[43]

Hamka meninggal dunia pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10:37 WIB dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir yakni Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim, dan Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam salat jenazahnya. Jenazah Hamka dibawa ke Masjid Agung Al-Azhar dan dishalatkan lagi, sebelum dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara.[43]

Sepeninggal Hamka, pemerintah menyematkan Bintang Mahaputra Utama secara anumerta kepada Hamka. Sejak 2011, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan untuk perguruan tinggi Islam di Jakarta milik Muhammadiyah, yakni Universitas Muhammadiyah Hamka. Dari syair berbahasa Minang ciptaan Agus Taher, Zalmon dan Tiar Ramon menyanyikan lagu Selamat Jalan Buya untuk mengenang wafatnya Hamka.[43] Novelis Akmal Nasery Basral dan Haidar Musyafa masing-masing menulis novel dwilogi tentang kisah perjalanan Hamka. Pada 2016, Majelis Ulama Indonesia berencana mengangkat kisah Hamka ke dalam film berjudul Buya Hamka.

Pengakuan Umum

Hamka diakui secara luas sebagai seorang pemikir Islam Asia Tenggara. Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak, ketika menghadiri penganugerahan gelar kehormatan Honoris Causa oleh Universitas Kebangsaan Malaysia kepada Hamka, menyebut Hamka sebagai "kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara". John L. Espito mamasukkan Hamka bersama Sir Muhammad Iqbal, Syed Ahmed Khan, dan Muhammad Asad dalam Oxford History of Islam. Menurut peneliti sejarah Asia Tenggara modern James Robert Rush, Hamka hanyalah satu di antara banyak orang dalam generasinya yang dikenal sebagai politikus, ulama, dan pengarang. Namun, "Hamka tampak menonjol ketika di antara mereka ada yang lebih terpelajar, baik dalam pengetauan Barat maupun studi yang mendalam tentang Islam."

Presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid menulis, Hamka memiliki orientasi pemikiran yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat akan perubahan.[44] Tokoh Nahdatul Ulama A. Syaikhu menyebut, Hamka menempatkan dirinya tidak hanya sekadar pimpinan Masjid Agung Al-Azhar atau organisasi Muhammadiyah, tetapi sebagai pemimpin umat Islam secara keseluruhan, tanpa memandang golongan.[45] Nurcholish Madjid dalam buku Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka mencatat peranan dan ketokohan Hamka sebagai figur sentral yang telah berhasil ikut mendorong terjadinya mobilitas vertikal atau gerakan ke atas agama Islam di Indonesia. "Hamka berhasil mengubah postur kumal seorang kiyai atau ulama Islam menjadi postur yang patut menimbulkan rasa hormat dan respek."

Hamka berada di posisi terdepan dalam masyarakat Islam modern Indonesia yang sedang mengalami modernisasi. Ia menginisiasi berdirinya sekolah-sekolah Islam di Indonesia dengan mencetuskan ide konkret model lembaga pendidikan Islam modern. Ia berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Mantan Menteri Agama Mukti Ali mengatakan, berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Hamka termasuk pelopor jurnalisme Islam di Indonesia melalui kiprahnya di majalah Pedoman Masyarakat. Rosihan Anwar menyebut Hamka sebagai wartawan besar.[46] Melalui karya sastra, Hamka memberikan kontribusi dalam menyebarkan dan menanamkan wacana mengenai persatuan Indonesia. Ia memberikan kritik sekaligus alternatif terhadap adat yang dianggapnya usang. Selain itu, ia banyak berkiprah dan terlibat dalam lembaga dan kongres kebudayaan nasional.

Meminati dan melakukan kajian terhadap bidang sejarah, Hamka beberapa kali tampil dalam seminar terkait bidang sejarah, baik di tingkat daerah, nasional, maupun mancanegara. Pidato ilmiah yang disampaikannya sewaktu di Universitas Al-Azhar menampakkan kemampuannya dalam ilmu sejarah. Buku Sejarah Umat Islam yang ditulis Hamka banyak dijadikan rujukan, terutama karena keberhasilannya menentukan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah. Deliar Noer mengungkapkan, "salah satu kelebihan Hamka sebagai sejarawan dibandingkan dengan sejarawan lain yang keluaran akademis di Indonesia adalah bahwa ia banyak mempergunakan teks-teks klasik seperti hikayat, catatan-catatan kerajaan lama dan tulisan-tulisan ulama, selain mempergunakan tulisan-tulisan orang Belanda."

Karya dan penerimaan

 
Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka

Seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu, Hamka tercatat sebagai penulis Islam paling prolifik dalam sejarah modern Indonesia. Karya-karyanya mengalami cetak ulang berkali-kali dan banyak dikaji oleh peneliti Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Tulisannya telah menghiasi berbagai macam majalah dan surat kabar. Yunan Nasution mencatat, dalam jarak waktu kurang lebih 57 tahun, Hamka melahirkan 84 judul buku. Minatnya akan bahasa banyak tertuang dalam karya-karyanya. Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan Merantau ke Deli yang terbit di Medan melambungkan nama Hamka sebagai sastrawan. Ketiganya bermula dari cerita bersambung yang diterbitkan oleh majalah Pedoman Masyarakat. Selain itu, Hamka meninggalkan karya tulis yang menyangkut tentang sejarah, budaya, dan bidang-bidang kajian Islam.

Meskipun tidak menyelesaikan pendidikan formal, Hamka mempunyai banyak akses keilmuwan karena kemampuan membacanya yang luas. Filolog Prancis Gérard Moussay menulis, Hamka dengan hanya bermodalkan pendidikan paling dasar telah berhasil dengan caranya sendiri memperoleh pengetahuan yang maju dan unggul dalam bidang yang berbeda-beda, seperti jurnalistik, sejarah, antropologi, politik, dan Islamolog. Namun, Abdurrahman Wahid melihat Hamka tidak menguasai teori-teori dari satu atau lebih bidang keilmuan. "Ia cenderung mengambil kesimpulan yang sudah ada dari para pemikir besar dengan cara menyederhanakannya, dan kadang-kadang salah."[44]

Sastra

Karya-karya Hamka umumnya bertema gugatan terhadap adat Minangkabau, terutama kawin paksa dan hubungan kekerabatan yang menurut pandangannya tak bersesuaian dengan cita-cita masyarakat Indonesia modern. Melalui Di Bawah Lindungan Ka'bah, Hamka menggugat penggolongan orang berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan oleh masyarakat Minangkabau. Menurutnya, adat bertentangan dengan agama Islam yang memandang kedudukan manusia sama di hadapan Allah. Dalam Tuan Direktur, Hamka menyindir tokoh Jazuli sebagai kebanyakan orang Melayu yang kerap terburu nafsu sehingga mengabaikan nilai-nilai fundamental. Dalam Merantau ke Deli, Hamka menginginkan perubahan penilaian masyarakat Minangkabau tentang keberhasilan merantau dan mengkritik penilaian adat tentang pernikahan yang baik dari satu daerah saja. Pada kenyataannya, harta bukan jaminan kehidupan akan menjadi bahagia, begitupula asal daerah bukan jaminan pernikahan akan bertahan lama.

Pada akhir 1930-an, buku-buku Hamka telah dapat ditemukan di perpustakaan sekolah umum. Para pelajar sering dianjurkan untuk membacanya. Novel-novel Hamka menuai kesuksesan komersial dan berkali-kali cetak ulang. Di Bawah Lindungan Ka'bah diangkat ke layar lebar pada 1981 dan 2011. Pada 2013, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck untuk kali pertama difilmkan.

Ketika pertama kali menulis roman, Hamka sempat dikecam dan dianggap tidak pantas menulis kisah percintaan.[31] HB Jassin melihat kritikan terhadap Hamka, antara lain, disebabkan hukum yang menetapkan menulis karya sastra adalah satu dosa dan haram. Hamka dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat menegaskan menulis karya sastra bukan satu dosa, selain menjelaskan kegiatan menulis boleh menjadi satu dakwah. HB Jassin mengutip pernyataan Hamka. "Seni atau sastra Islam mestilah merangkumi keindahan dan kebenaran." Keindahan, kebenaran dan kebaikan itu, menurut Hamka, jelas kembali semula kepada Tuhan. Dari sudut pandang sastra, beberapa kritikus menganggap karya-karya Hamka tidak istimewa. Kritikus sastra Indonesia berpendidikan Belanda A. Teeuw menilai, Hamka tidak dapat dianggap sebagai pengarang besar karena karyanya mempunyai psikologi yang lemah dan terlalu moralistik.

Sejarah

Dalam Sejarah Umat Islam, Hamka menulis tentang sejarah Islam dengan sistematika periode berkuasa kerajaan. Ia menekankan peranan raja dan kerajaanya yang pernah menguasai Nusantara. Menurutnya, Islam di Indonesia berhubungan dengan Arab lebih dulu daripada India. Bukti sejarah yang paling nyata adalah ditemukannya perkampungan Arab pada 674 di pantai Barat Sumatra dan Kerajaan Kalingga pada masa Ratu Shima, yang keduanya bersumber dari berita Tiongkok. Sejarawan Gusti Asnan mencatat, Hamka telah menemukan sumber-sumber lama yang sebelumnya tidak pernah digunakan penulis pada zamannya. Ia memberikan informasi yang sangat bernilai mengenai sumber-sumber yang dipergunakannya seperti Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang, Hikayat Raja-Raja Pasai karya Nuruddin al-Raniri, Tuhfat Al-Nafis karya Ali Haji, Sejarah Cirebon dan Babad Giyanti.

Lewat Perbendaharaan Lama, Hamka meunjukkan penguasannya tentang warisan, atsar, jejak, dan petuah yang diwariskan tokoh-tokoh Nusantara. Ia menguraikan tentang sejarah kebangkitan Islam di Minangkabau secara khusus dalam Ayahku, biografi Abdul Karim Amrullah yang ditulisnya.

Hamka memiliki metode tersendiri dalam memaparkan penelitiannya di bidang sejarah. Ia mengedepankan sikap kritis dalam menelaah tulisan-tulisan sejarawan Belanda tentang Indonesia. Menurutnya, para sejarawan Belanda telah memberikan andil yang besar dalam banyak data, tetapi tetap perlu kritis menerimanya. Dengan daya kritis dan analisisnya, Hamka berani merekonstruksi sejarah dengan argumentasi dan dalil yang kuat. Ia tak sekadar mengulang-ulang catatan sejarah yang terpapar dalam literatur-literatur baku ketika berbicara maupun menulis tentang sejarah. Dalam memandang sosok Gajah Mada, Hamka melihat Gajah Mada tak ubahnya seperti "penjajah" yang "...menjarah, menjajah sampai ke mana-mana". Bersama daya bacanya yang kuat, Hamka berjuang keras mengkritisi dan berusaha menyingkirkan teks-teks beraroma dongeng yang kerap dijumpai dalam teks-teks klasik. Dalam karyanya berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao tentang riwayat hidup Tuanku Rao dan sejarah Perang Padri, Hamka memberi komentar tentang penulisan sejarah. Ia berpendapat perlu membedakan antara khayal dan fakta.

Tafsir Al-Azhar

Tafsir al-Azhar dianggap sebagai karya monumental Hamka, sebagaimana ditulis oleh Abdurrahman Wahid. Lewat Tafsir Al-Azhar, Hamka mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya di hampir semua disiplin yang tercakup oleh bidang ilmu-ilmu agama Islam serta pengetahuan non-keagamaan yang kaya dengan informasi.[44] Menurut peneliti Malaysia Norbani Ismail, Tafsir Al-Azhar adalah tafsir pertama yang ditulis secara komprehensif dalam bahasa Indonesia.

Usep Taufik Hidayat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menyebut keunikan Tafsir Al-Azhar adalah kemampuannya berelasi terhadap isu-isu kontemporer, terutama kepada budaya masyarakat khususnya budaya Melayu-Minangkabau. Hamka melakukan pendekatan yang sesuai dengan kondisi kontemporer yang dihubungkan dengan berbagai lapisan masyarakat modern. Hamka mengutip berpuluh-puluh kitab karangan sarjana-sarjana Barat dan akomodatif terhadap pendekatan berbagai ilmu yang ada korelasinya dengan penafsiran, terutama sains. Menurut Hamka, ilmu dan akal diperuntukkan manusia untuk mengenal Tuhannya "Penemuan-penemuan sains yang baru telah menolong kita untuk memahami kebenaran ayat Al-Quran dan melihat keagungan-Nya."

Kehidupan pribadi dan publik

Keluarga

Pada 5 April 1929, Hamka menikahi Sitti Raham. Ia menjadi ayah dari dua belas anak, dua di antara mereka meninggal saat masih balita.[47] Sampai Mei 2013, Hamka memiliki 31 cucu dan 44 cicit.[48] Ketika menikah dengan Sitti Raham, Hamka berusia 21 tahun, sementara Raham masih berusia 15 tahun. Raham adalah anak dari salah seorang saudara laki-laki ibunya. Setelah Raham meninggal pada 1 Januari 1972, Hamka menikahi Sitti Khadijah asal Cirebon pada Agustus 1973.

Dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka, Rusydi Hamka mengisahkan saat-saat keluarga mereka melewati masa-masa kemiskinan. "Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain," tulis Rusydi. Selain itu, sebagai seorang mamak dalam hubungan kekerabatan masyarakat Minang, Hamka pada saat bersamaan memiliki tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuannya. Anak pertama Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun.[27] Anak ketiga Hamka, Rusydi dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai berdagang, Hamka tidak mewarisi bakat berbisnis. Di tengah kondisi kekurangan, Hamka memilih bekerja di Medan untuk Pedoman Masyarakat pada 1936.

Citra

Hamka dikenal sebagai seorang humanis yang rendah hati, membawa khutbah dan pidato yang memikat. Ceramah-ceramahnya dengan pilihan kalimat-kalimat yang santun telah mengikat perhatian umat di berbagai pelosok dearah. Abdurrahman Wahid menulis, penyampaian Hamka dalam masalah keagamaan "sangat menawan" dan "menghanyutkan".[44] Penulis Malaysia Muhammad Uthman El Muhammady mencatat, Hamka merupakan pemikir yang berpegang teguh pada pendapat yang diyakininya, tetapi "mengutarakan argumennya dengan gaya yang elegan". Ia mengutamakan silaturahmi ketimbang meributkan perbedaan tak berprinsip. Shobahussurur dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengutip bagaimana penerimaan Hamka terhadap perbedaan paham dalam perkara cabang agama. Ketika Abdullah Syafii hendak menyampaikan khutbah di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka mempersilakan azan di masjid itu dilakukan dua kali sebagaimana tradisi di kalangan Nahdatul Ulama (NU). Dalam perjalanan di kapal bersama Idham Cholid yang Ketua PBNU, Hamka mengimami salat Subuh dengan membaca doa qunut karena jemaah di belakangnya adalah Idham Cholid. Pada Ramadhan pertama setelah Masjid Al-Azhar dibuka, Hamka terlebih dulu menanyakan pilihan jemaah untuk shalat Tarawih dan Witir apakah 11 atau 23 rakaat.

Menurut putra ke-5 Hamka, Irfan, Hamka berusaha menghindari konflik dengan siapapun.[49] Namun, dalam masalah aqidah, "Ayah memang tidak pernah bisa berkompromi. Tapi dalam masalah-masalah lain, Ayah sangat toleran."[50] Selain memilih mengundurkan diri sebagai Ketua MUI dibandingkan mencabut fatwa keharaman merayakan Natal bagi umat Islam sebagaimana tuntutan pemerintah, Hamka menolak menghadiri pertemuan ramah-tamah dengan Paus Paulus VI ketika berkunjung ke Indonesia pada 3–4 Desember 1970. "Bagaimana saya bisa bersilaturahmi..., sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?" [sic][49] Meskipun demikian, menurut Irfan pula, Hamka masih mengucapkan selamat Natal kepada dua tetangga Kristen-nya yang bernama Ong Liong Sikh dan Reneker saat tinggal di Kebayoran Baru.[51]

Menggunakan sudut pandang seorang anak dalam mengenang ayahnya, Irfan Hamka dalam buku Ayah... mengungkapkan bagaimana Hamka "memaafkan semua orang yang pernah berseteru dengannya." Karena pandangan politiknya, Hamka kerap menuai kecaman dan ancaman dari lawan politiknya. Dalam sidang Konstituante pada 1957, Hamka memberikan pernyataan tentang Pancasila sebagai dasar yang sesat sehingga membuat Muhammad Yamin marah dan membencinya. Namun, ketika Yamin sakit pada 1962, Yamin meminta Hamka "untuk dapat mendampinginya" dan "menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya".[52] Di bawah pemerintahan Soekarno, Hamka sempat mendekam di penjara atas tuduhan merencakan makar yang tidak pernah terbukti. Namun, Hamka memenuhi permintaan Soekarno yang lima hari sebelum meninggal meminta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalatnya. Irfan mengutip penyataan Hamka. "Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Quran 30 juz."[53]

Sebagai seorang yang anti-komunis, Irfan dalam Ayah... menyebut bagaimana pribadi dan karya Hamka diserang oleh surat kabar Bintang Timoer dalam rubrik "Lentera" yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer. Salah satu kritik tajam adalah tudingan bahwa Hamka melakukan plagiasi. Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck disebut sebagai jiplakan dari novel Magdalena karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi, seorang penulis Mesir. Namun, ketika Pramoedya mendapati putrinya, Astuti hendak menikahi seorang peranakan etnis Tionghoa berbeda agama, Pram meminta Astuti membawa calon suaminya itu untuk belajar Islam kepada Hamka. Dalam pertemuan dengan Astuti, Hamka sama sekali tidak menyinggung sikap Pramoedya belasan tahun sebelumnya. Melalui bimbingan Hamka, Daniel Setiawan, calon suami Astuti mengucapkan dua kalimat syahadat. Seorang dokter yang dekat dengan Pram, Hoedaifah menanyakan mengapa Pram justru mengutus calon menantu menemui figur yang selama ini ia serang melalui tulisan-tulisannya. "Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik."[54] Taufiq Ismail dalam pengantar di buku Ayah... menilai, secara tidak langsung tindakan Pram yang meminta calon menantunya belajar kepada Hamka sebagai bentuk ungkapan maaf.[55]

Catatan kaki

Keterangan
  1. ^ Ada dua jenis sekolah pemerintah bagi anak-anak Minangkabau, yakni Sekolah Gubernemen dengan jenjang tertinggi sampai kelas empat dan Sekolah Desa dengan jenjang terakhir sampai kelas tiga. Hajir Rasul berencana menyekolahkan Malik di Sekolah Gubernemen, tetapi karena terlambat mendaftar sehingga kelas yang dibuka terlanjur penuh, Malik didaftarkan di Sekolah Desa.
Rujukan
  1. ^ Prof. Dr. Hamka. 1982. Tafsir Al Azhar Juz XXX. Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas (hal 198)
  2. ^ Hamka 1974, hlm. 79, jilid II.
  3. ^ Hamka 1974, hlm. 113-116, jilid II.
  4. ^ Hamka 1974, hlm. 17, jilid II.
  5. ^ Hamka 1974, hlm. 52, jilid II.
  6. ^ Hamka 1974, hlm. 7, jilid II.
  7. ^ Hamka 1974, hlm. 15, jilid II.
  8. ^ Hamka 1974, hlm. 17-19, jilid II.
  9. ^ Hamka 1974, hlm. 16, jilid II.
  10. ^ Hamka 1974, hlm. 19-20, jilid II.
  11. ^ Hamka 1974, hlm. 20-21, jilid II.
  12. ^ Hamka 1974, hlm. 91, jilid II.
  13. ^ Hamka 1974, hlm. 94, jilid II.
  14. ^ Hamka 1974, hlm. 74-76, jilid II.
  15. ^ Hamka 1974, hlm. 22, jilid II.
  16. ^ Hamka 1974, hlm. 12, jilid II.
  17. ^ Hamka 1974, hlm. 21-22, jilid II.
  18. ^ https://books.google.co.id/books?id=dOfhDwAAQBAJ&pg=PA229&dq=hamka+majalah+%22menara%22&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjandbG7dvsAhXHeisKHdcxAYYQ6AEwAXoECAYQAg#v=onepage&q=hamka%20majalah%20%22menara%22&f=false
  19. ^ Hamka 1974, hlm. 22-23, jilid II.
  20. ^ Hamka 1974, hlm. 26, jilid II.
  21. ^ Hamka 1974, hlm. 28-31, jilid II.
  22. ^ Hamka 1974, hlm. 32-33, jilid II.
  23. ^ Hamka 1974, hlm. 34, jilid II.
  24. ^ Hamka 1974, hlm. 38-40, jilid II.
  25. ^ Hamka 1974, hlm. 35, jilid II.
  26. ^ Hamka 1974, hlm. 192, jilid II.
  27. ^ a b Hamka 1974, hlm. 43, jilid II.
  28. ^ Hamka 1974, hlm. 202, jilid II.
  29. ^ Hamka 1974, hlm. 195, jilid II.
  30. ^ Hamka 1974, hlm. 200, jilid II.
  31. ^ a b Hamka 1974, hlm. 88, jilid II.
  32. ^ Hamka 1974, hlm. 190, jilid II.
  33. ^ Hamka 1974, hlm. 12-13, jilid IV.
  34. ^ Hamka 1974, hlm. 99, jilid IV.
  35. ^ Hamka 1974, hlm. 96, jilid IV.
  36. ^ Hamka 1974, hlm. 100-101, jilid IV.
  37. ^ Hamka 1974, hlm. 114-120, jilid IV.
  38. ^ Irfan 2013, hlm. 33.
  39. ^ Ricklefs, M.C. (2008) [1981], A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (4th ed.), Palgrave MacMillan, ISBN 978-0-230-54686-8, p. 411.
  40. ^ Ward, Ken (1970). The Foundation of the Partai Muslimin Indonesia. Ithaca, New York: Modern Indonesia Project, Cornell University. pp. 12-14.
  41. ^ Irfan 2013, hlm. 250-253.
  42. ^ Ali 1996, hlm. 55-70.
  43. ^ a b c Irfan 2013, hlm. 273-287.
  44. ^ a b c d Wahid 1996, hlm. 19-51.
  45. ^ Syaikhu 1996, hlm. 225-232.
  46. ^ Zainal 1996, hlm. 181-190.
  47. ^ Hamka 1974, hlm. 297, jilid IV.
  48. ^ Irfan 2013, hlm. 2291.
  49. ^ a b Irfan 2013, hlm. 253.
  50. ^ Irfan 2013, hlm. 254.
  51. ^ Irfan Hamka: Buya Ucapkan Selamat Natal - Republika
  52. ^ Irfan 2013, hlm. 258-262.
  53. ^ Irfan 2013, hlm. 255-257.
  54. ^ Irfan 2013, hlm. 262-264.
  55. ^ Irfan 2013, hlm. xxvi.
Daftar pustaka
  • Wahid, Abdurrahman (1983). "Benarkah Buya Hamka Seorang Besar? Sebuah Pengantar". Dalam Tamara, Natsir. Hamka di Mata Hati Umat. Jakarta: Sinar Harapan. 
  • Mukti, Ali (1983). "Persepsi Buya Hamka: Ulama Sudah lama Terjual...!". Dalam Tamara, Natsir. Hamka di Mata Hati Umat. Jakarta: Sinar Harapan. 
  • Ahmad, Syaikhu (1996). "Hamka: Ulama, Pujangga, Politisi". Dalam Tamara, Natsir. Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Jakarta: Sinar Harapan. ISBN 978-1-234-56789-7. 
  • Ahmad, Zainal Abidin (1996). "Wartawan Itu Bernama Hamka". Dalam Tamara, Natsir. Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Jakarta: Sinar Harapan. hlm. 243–246. ISBN 978-1-234-56789-7. 
  • Hamka, Irfan (2013). Ayah... Kisah Buya Hamka. Penerbit Republika. ISBN 978-602-8997-71-3. 

Pranala luar

Jabatan organisasi Islam
Didahului oleh:
Tidak ada
Ketua MUI
27 Juli 1975—19 Mei 1981
Diteruskan oleh:
Syukri Ghozali