Kerajaan Wehali
Wehali (Wehale, Waihali, Veale) adalah sebuah kerajaan tradisional di pantai selatan Timor Tengah, sekarang menjadi wilayah Indonesia. Kerajaan ini sering disebutkan bersama dengan kerajaan tetangga, sebagai Wewiku-Wehali (Waiwiku-Wehale). Wehali memegang posisi senior di antara kerajaan-kerajaan kecil di Timor.
Sejarah
Menurut tradisi lisan, Wehali adalah tanah pertama yang muncul dari perairan yang pernah menutupi bumi, yang menjadi pusat atau asal-usul dunia dari perspektif orang Timor. Tradisi lain yang menyebutkan migrasi dari Sina Mutin Malaka (Cina Putih Malaka) pada zaman kuno.[1] Latar belakang sejarah ini tidak jelas, tetapi catatan Antonio Pigafetta dari Ekspedisi Magellan, yang mengunjungi Timor pada tahun 1522, menegaskan peran penting kerajaan Wewiku-Wehali di Pulau Timor. Pada abad ke-17, para penguasa dari Wehali digambarkan sebagai "seorang kaisar, dimana semua raja di pulau mematuhi dengan upeti, sebagai kedaulatan mereka".[2] Kerajaan ini memiliki hubungan baik dengan Kesultanan Makassar, tetapi kekuatan kerajaan ini diuji dengan invasi Portugis pada tahun 1642 dan 1665.[3] Wehali sekarang berada di dalam lingkup kekuasaan Portugis tetapi tampaknya memiliki kontak terbatas dengan kekuasaan kolonial.
Perusahaan Hindia Timur Belanda
Kekuasaan Portugis atas Timor Barat berkurang setelah 1749, dan Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC) memperluas lingkup kekuasaan atas sebagian besar pulau. Pada 1750-an, Wehali mendekati VOC, dan pada tahun 1756 Liurai Jacinto Correia menandatangani kontrak dengan diplomat Belanda Johannes Andreas Paravicini. Menurut kontrak ini, Liurai adalah tuan atas sejumlah besar kerajaan Timor, termasuk Dirma, Laclo, Luca, Viqueque, Corara dan Banibani.[4] Belanda berharap bahwa kontrak ini akan secara otomatis memperluas kekuasaan Belanda ke sebagian besar Timor Timur, tetapi hal ini tidak mencukupi. Pada dasarnya, Wehali terombang-ambing antara pihak Belanda dan Portugis hingga abad berikutnya.
Pemisahan dan kemudian pemerintahan kolonial
Batas kolonial di Timor akhirnya disepakati pada tahun 1859, membuat Wehali berada di pihak Belanda. Belanda mulai merestrukturisasi pembagian administratif di Belu dalam 1915-16, mencoba untuk menggunakan penguasa tradisional sebagai zelfbestuurders (raja di bawah pengawasan kolonial). Setelah tercapainya kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, bentuk-bentuk tradisional di tata kelola pemerintahan dihapus, tetapi kelompok bangsawan tradisional masih bertahan.[5]
Referensi
- ^ H.J. Grijzen (1904), 'Mededeelingen omtrent Beloe of Midden-Timor', Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap 54, pp. 18-25.
- ^ L. de Santa Catharina (1866), História de S. Domingos, Quatra parte.
- ^ James J. Fox (1982), 'The great lord rests at the centre: The paradox of powerlessness in European-Timorese relations, Canberra Anthropology 5:2, p. 22.
- ^ F.W. Stapel (1955), Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, Vol.
- ^ Gérard Francillon (1980), 'Incursions upon Wehali: A modern history of an ancient empire', in James J. Fox [ed.
Bacaan lebih lanjut
- H.G. Schulte Nordholt (1971), The Political System of the Atoni of Timor. The Hague: M. Nijhoff.
- Tom Therik (2004), Wehali, the Female Land. ANU: Pandanus.
- B.A.G. Vroklage (1953), Ethnographie der Belu in Zentral-Timor. Leiden: Brill.