Sisingamangaraja XII

pahlawan nasional Indonesia
Revisi sejak 4 Desember 2021 13.13 oleh 114.122.8.27 (bicara)

Sisingamangaraja XII dengan nama lengkap Patuan Bosar Ompu Pulo Batu Sinambela (18 Februari 1845 – 17 Juni 1907) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatra Utara, pejuang yang berperang melawan Belanda, kemudian diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya ia dimakamkan di Tarutung Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige pada tahun 1953.[1]

Sisingamangaraja XII
Maharaja Toba
Lukisan Sisingamangaraja XII berdasarkan lukisan yang dibuat oleh Augustin Sibarani, kemudian tercetak di uang Rp 1.000
Berkuasa1876–1907 M
PendahuluSisingamangaraja XI
Penerus-
Pemakaman
Soposurung, Balige
Pasangan1.Boru Simanjuntak
2.Boru Sagala
3.Nantika Boru Nadeak
4.Boru Situmorang
5 Boru Siregar
KeturunanPatuan Nagari Sinambela
Patuan Anggi Sinambela
Lopian br. Sinambela
Raja Karel Buntal Sinambela
Raja Sabidan Sinambela
Raja Barita Sinambela
Raja Sabidan Sinambela
Pangarandang Sinambela
Raja Pangkilim Sinambela
Rinsan br. Sinambela
Purnama Rea br. Sinambela
Sunting Mariam br. Sinambela
Saulina br. Sinambela
Tambok br. Sinambela
Mangindang br. Sinambela
Sahudat br. Sinambela
Nagok br. Sinambela
Nama lengkap
Patuan Bosar Ompu Pulo Batu
WangsaSisingamangaraja
WangsaSinambela
AyahRaja Sohahuhaon Sinambela (Sisingamangaraja XI)
IbuBoru Situmorang

Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar Sinambela, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik takhta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Raja Sohahuaon Sinambela, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatra terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.

Asal usul

Sisingamangaraja bermula dari seorang yang bernama Si Raja Batak yang memiliki keturunan bernama Raja Oloan. Raja Oloan memiliki enam orang putra yakni Raja Naibaho, Raja Sihotang, Toga Bakara, Toga Sinambela, Toga Sihite, dan Toga Simanullang. Putra keempatnya, Toga Sinambela memiliki tiga orang putra. Putra bungsu Toga Sinambela, yakni Raja Bona ni onan gelar Raja Mangkutal adalah ayah kandung dari Sisingamangaraja I, leluhur awal Dinasti Sisingamangaraja.[2]

Perang melawan Belanda

Berkas:Toba Expedition 1878.jpg
Peta Ekspedisi Toba 1878

Pada 1824 Perjanjian Belanda Inggris (Anglo-Dutch Treaty of 1824) memberikan seluruh wilayah Inggris di Sumatra kepada Belanda. Hal ini membuka peluang bagi Hindia Belanda untuk meng-aneksasi seluruh wilayah yang belum dikuasai di Sumatra.

Pada tahun 1873 Belanda melakukan invasi militer ke Aceh (Perang Aceh, dilanjutkan dengan invasi ke Tanah Batak pada 1878. Raja-raja huta Kristen Batak menerima masuknya Hindia Belanda ke Tanah Batak, sementara Raja Bakara, Si Singamangaraja yang memiliki hubungan dekat dengan Kerajaan Aceh menolak dan menyatakan perang.

Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan[butuh rujukan]. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.

Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari SibolgaPada tanggal 1 Mei 1878, Bakara pusat pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia Belanda.

Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, tetapi sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.

Di antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya[butuh rujukan]. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada tahun 1884.[3]

Kematian

Singamangaraja XII tewas pada 17 Juni 1907 saat disergap oleh sekelompok anggota Korps Marsose – sebuah pasukan khusus Belanda. Penyergapan tersebut dipimpin oleh Hans Christoffel di pinggir bukit Aek Sibulbulon, di suatu desa bernama Si-Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang.[1] Sisingamangaraja XII menghadapi pasukan Korps Marsose sambil memegang senjata Piso Gaja Dompak. Kopral Souhoka – penembak jitu pasukan Marsose – mendaratkan tembakan ke kepala Sisingamangaraja XII tepat di bawah telinganya.[4] Menjelang napas terakhir dia tetap berucap, Ahuu Sisingamangaraja. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba.[butuh rujukan] Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh Pemerintah, Masyarakat dan keluarga. Sisingamangaraja XII digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.

Warisan sejarah

 
Sebilah pedang dari etnik Batak yang diinformasikan diduga sebagai pedang yang digunakan oleh Sisingamangaraja. Foto diambil 1907.

Pasca-gugurnya Sisingamangaraja, pasukan Belanda menemukan sebilah pedang yang diduga digunakan oleh Sisingamangaraja. Kini, pedang tersebut telah menjadi koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen, Belanda.

Kegigihan perjuangan Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan masyarakat Indonesia, yang kemudian Sisingamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Selain itu untuk mengenang kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia.

Referensi

  1. ^ a b Sidjabat, Bonar W. Prof. Dr. (2007), Aku Sisingamangaraja, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, ISBN 979-416-896-7.
  2. ^ Sejarah Daerah Sumatera Utara, 1978
  3. ^ Ajisaka, Arya, (2010), Mengenal Pahlawan Indonesia, Jakarta: Kawan Pustaka, ISBN 978-979-757-278-5.
  4. ^ Okezone (2020-06-17). "Saat Peluru Marsose Menembus Sisingamangaraja XII yang Terkenal Kebal Senjata : Okezone Nasional". Okezone. Diakses tanggal 2021-03-19.