Bias konfirmasi
Bias konfirmasi adalah suatu kecenderungan bagi orang-orang untuk mencari bukti-bukti yang mendukung pendapat atau kepercayaannya serta mengabaikan bukti-bukti yang menyatakan sebaliknya.[1] Kesalahan pemikiran ini menyebabkan penarikan kesimpulan yang salah dan merintangi pembelajaran yang efektif.[2] Francis Bacon pernah menyinggung secara tidak langsung mengenai kesalahan pemikiran ini dalam esainya, Novum Organum, meskipun pada masa itu istilah bias konfirmasi belum diketahui.[3] Ia menceritakan mengenai seorang pengunjung di sebuah kuil Romawi yang sebelumnya juga pernah diceritakan oleh Cicero.[3] Orang Romawi bercerita mengenai kehebatan dewa-dewa mereka agar pengunjung tersebut terkesan dan kemudian memperlihatkan sebuah gambar beberapa pelaut yang selamat dari kecelakaan kapal karena rajin berdoa.[3] Menyikapi hal tersebut, sang pengunjung bertanya, "Di mana gambar mereka yang sudah berdoa tetapi tetap tenggelam?"[3]
Bias konfirmasi memiliki penerapan yang luas yang melingkupi banyak sekali konteks,[4] seperti pencarian informasi yang bias, interpretasi informasi yang bias, dan ingatan yang bias. Bias konfirmasi memiliki beberapa efek seperti : 1) Polarisasi sikap (ketika ketidaksepakatan berujung pada hal yang ekstrim walaupun pihak-pihak yang belawanan merujuk kepada bukti yang sama); 2) Keras kepala yang parah walau sudah dihadapkan dengan pelbagai bukti yang bertentangan 3) Efek primer irasional (kertergantungan pada informasi yang didapatkan lebih awal); dan 4) ilusi korelasi (ketika orang salah menginterpretasikan hubungan antara dua peristiwa atau situasi).[5]
Penyebab dari bias konfirmasi merupakan topik yang masih diteliti. Sebuah penelitian pada tahun 1960 menemukan bahwa orang menjadi bias untuk mengkonfirmasi apa yang mereka telah percayai.[6] Penelitian selanjutnya kemudian menafsirkan kembali hasil tersebut sebagai kecenderungan untuk menafsirkan suatu ide dari hanya satu sisi, yaitu hanya fokus pada satu kemungkinan dan mengabaikan penjelasan alternatif dari ide tersebut. Secara umum, berdasarkan yang diketahui saat ini, bias konfirmasi bisa jadi disebabkan oleh keterbatasan kapasitas otak manusia untuk memproses secara lengkap informasi yang tersedia, sehingga menyebabkan kegagalan untuk menafsirkan informasi dengan cara yang netral dan ilmiah.[7]
Keputusan salah yang berasal dari bias konfirmasi dapat ditemukan pada konteks politik, organisasi, keuangan, bahkan dalam sains.[8] Misalnya, seorang detektif polisi dapat mengidentifikasi tersangka di awal penyelidikan, tetapi kemudian hanya mencari bukti yang mengkonfirmasi penetapan awal daripada bukti-bukti lain yang bisa mendiskonfirmasinya. Demikian pula dengan seorang praktisi medis yang mungkin terlalu berfokus diagnosa awal terhadap suatu penyakit sehingga kemudian hanya mencari bukti yang menguatkan diagnosa awal tersebut. Bias konfirmasi dapat membuat seseorang memiliki kepercayaan diri yang berlebih sehingga membuatnya menjadi sangat keras kepala dalam mempertahankan pendapatnya walau dihadapkan bukti yang bertentangan. Di media sosial, bias konfirmasi diperparah dengan penggunaan gelembung filter, atau "pengeditan algoritmik", yang hanya menampilkan informasi yang cenderung disukai oleh seorang pengguna, sehingga mereduksi jumlah informasi berlawanan yang didapatkan oleh seorang pengguna.[9]
Definisi dan konteks
Bias konfirmasi adalah kecenderungan seseorang untuk hanya memilih informasi yang menegaskan atau memperkuat keyakinan atau nilai-nilai mereka, dan sulit untuk dihilangkan apabila mereka sudah meyakini hal tersebut. Bias konfirmasi pertama kali diungkapkan oleh psikolog Inggris Peter Wason.[10] Bias konfirmasi adalah contoh dari bias kognitif.[11] hal ini juga berkaitan dengan kecenderungan untuk secara keliru menganggap hubungan dan makna antara hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan (apophenia).
Bias konfirmasi terjadi ketika seseorang melakukan penarikan kesimpulan yang bersifat induktif, berdasarkan preferensi pribadi. Salah satu contoh bias konfirmasi dalam media adalah Ruang Gema dan Groupthink dalam psikologi.
Dalam sebuah percobaan yang dilakukan oleh Dan Ariely dan rekan-rekannya, memberitahu sekelompok orang bahwa segelas bir telah dicampur dengan cuka balsamik membuat sebagian besar dari mereka tidak menyukai bir tersebut. Sementara itu, ketika tidak diberitahu mengenai cuka mereka lebih menyukai bir tersebut. Dan menyimpulkan bahwa ekspektasi seseorang dapat mempengaruhi persepsinya.
Jenis-jenis bias konfirmasi
Pencarian informasi yang bias
Pelbagai penelitian telah berulang kali menemukan bahwa orang cenderung menguji hipotesis hanya dari satu sisi. Hal ini membuat orang cenderung hanya mencari bukti yang dapat mendukung hipotesis yang mereka buat.[12] Alih-alih mencoba mencari bukti secara utuh, banyak orang merangkai pertanyaan penelitian sedemikian rupa sehingga jawabannya dapat mendukung teori yang mereka buat.[13] Misalnya, seseorang yang menggunakan pertanyaan ya/tidak untuk menguji apakah suatu angka merupakan angka 3 akan bertanya "Apakah itu angka ganjil?" (uji positif) alih-alih "Apakah itu bilangan genap?" (uji negatif), walau keduanya akan akan menghasilkan informasi yang sama persis.[14] Hal ini membuat mereka cenderung mencari bukti yang dapat membuktikan kebenaran hipotesis mereka, alih-alih bukti yang dapat membuktikan jika mereka salah.[13] Namun, ini tidak berarti bahwa orang secara sengaja melakukan penelitian yang menjamin jawaban positif. Dalam studi di mana subjek dapat memilih uji semu atau uji diagnostik murni, banyak orang lebih menyukai tes diagnostik murni.[15]
Memilih uji positif sendiri bukanlah bias, karena uji positif dapat menghasilkan hasil yang sangat informatif. Namun, jika dikombinasikan dengan efek lain, strategi seperti ini bisa jadi hanya mengkonfirmasi hipotesis atau asumsi yang ada, terlepas dari apakah hipotesis atau asumsi itu benar.[16] Ini merupakan salah satu contoh dari bias konfirmasi. Dalam situasi dunia nyata, hasil penelitian seringkali kompleks dan beragam. Misalnya, berbagai argumen yang bertentangan tentang hasil penelitian bisa sama-sama benar ketika ditelaah dari sisi yang berbeda.[12] Salah satu ilustrasi dari kejadian ini adalah ketika perbedaan frasa suatu pertanyaan dapat secara drastis mengubah jawaban yang dihasilkan. Misalnya, jawaban seseorang akan cenderung lebih bahagia apabila ditanya "Apakah kamu bahagia dengan kehidupan sosialmu?" dibandingkan dengan "Apakah kamu tidak bahagia dengan kehidupan sosialmu?"[17]
Sedikit saja perbedaan pada kata-kata dalam suatu kalimat dapat mengubah cara orang menangkap informasi dari kalimat tersebut sehingga merubah juga kesimpulan yang mereka buat. Contoh dari kejadian seperti ini adalah tanggapan beberapa partisipan dalam sebuah riset terhadap kisah fiksi tentang hak asuh seorang anak.[18] Dikisahkan bahwa orang tua A memiliki kualitas yang biasa-biasa saja, sedangkan orang tua B sangat dekat dengan sang anak, tapi memiliki pekerjaan yang akan membuatnya sering pergi jauh dari anaknya. Ketika partisipan diberikan pertanyaan "Orang tua mana yang lebih pantas untuk mendapatkan hak asuh anaknya?", mayoritas partisipan menjawab orang tua B. Hasil ini menyiratkan bahwa berdasarkan pertanyaan tersebut, kebanyakan orang hanya akan melihat sikap positifnya. Namun, ketika ditanya "Orang tua mana yang seharusnya tidak diberikan hak asuh?", mereka menjawab orang tua B karena berdasarkan pertanyaan seperti itu, orang cenderung hanya melihat sisi negatifnya saja.[19]
Sifat seseorang juga dapat menjadi penyebab dari proses pencarian informasi yang bias.[20]
Referensi
- ^ (Inggris) The Political Brain, Scientific American.Diakses pada 1 Agustus 2011.
- ^ (Inggris) Klayman, Joshua; Ha, Young-Won (1987), "Confirmation, Disconfirmation and Information in Hypothesis Testing" (PDF), Psychological Review, American Psychological Association, 94 (2), ISSN 0033-295X, diakses tanggal 2011-08-01
- ^ a b c d Gilbert, Daniel (2007). Tersandung Kebahagiaan. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-2943-1. Halaman 121.
- ^ Nickerson, Raymond S. (1998-06). "Confirmation Bias: A Ubiquitous Phenomenon in Many Guises". Review of General Psychology (dalam bahasa Inggris). 2 (2): 185. doi:10.1037/1089-2680.2.2.175. ISSN 1089-2680.
A great deal of empirical evidence supports the idea ... that it appears in many guises..
- ^ Strickland, Jeffrey (2015-05-24). Quantum Hope (dalam bahasa Inggris). Morissville: Lulu Press. hlm. 89. ISBN 978-1-329-16078-1.
- ^ Farris, Hillary H.; Revlin, Russel (1989). "Sensible reasoning in two tasks: Rule discovery and hypothesis evaluation" (PDF). Memory & Cognition. 17 (2): 223.
students and scientists appear to seek confirmation of their hypotheses rather than a critical test of them
- ^ Nast, Condé (2017-02-20). "Why Facts Don't Change Our Minds". The New Yorker (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-01.
- ^ Bergen, C. W. Von; Bressler, Martin S. (2018-09-30). "Confirmation Bias in Entrepreneurship". Journal of Management Policy and Practice. 19 (3): 74. ISSN 1913-8067.
- ^ Schiffer, Zoe (2019-11-12). "'Filter Bubble' author Eli Pariser on why we need publicly owned social networks". The Verge (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-01.
- ^ Plous, Scott (1993), The psychology of judgment and decision making. New York: McGraw Hill, hlm. 233
- ^ Stucky, Gail. "LibGuides: Fake news or real? or how to become media savvy: Confirmation bias". bethelks.libguides.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-01.
- ^ a b Kunda, Ziva (1999). Cognition: Making Sense of People. Boston: MIT Press. hlm. 112–115. ISBN 9780262277761.
- ^ a b Baron, Jonathan (2000-12-28). Thinking and Deciding (dalam bahasa Inggris). London: Cambridge University Press. hlm. 162–164. ISBN 978-0-521-65972-7.
- ^ Kida, Thomas E. (Thomas Edward) (2006). Don't believe everything you think : the 6 basic mistakes we make in thinking. Internet Archive. Amherst: Prometheus Books. hlm. 162–165. ISBN 978-1-59102-408-8.
- ^ Trope, Yaacov; Bassok, Miriam (1982). "Confirmatory and diagnosing strategies in social information gathering". Journal of Personality and Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 43 (1): Abstrak. doi:10.1037/0022-3514.43.1.22. ISSN 0022-3514.
very little evidence for a confirmatory strategy ... was preferred
- ^ Oswald; Grosjean (2004). Cognitive illusions : a handbook on fallacies and biases in thinking, judgement and memory. Rüdiger Pohl. Hove: Psychology Press. hlm. 82–83. ISBN 1-84169-351-0. OCLC 55124398.
- ^ Fine, Cordelia (2008-06-17). A Mind of Its Own: How Your Brain Distorts and Deceives (dalam bahasa Inggris). New York: W. W. Norton & Company. hlm. 81–82. ISBN 978-0-393-34300-7.
- ^ Brest, Paul; Krieger, Linda Hamilton (2010-05-26). Problem Solving, Decision Making, and Professional Judgment: A Guide for Lawyers and Policymakers (dalam bahasa Inggris). London: Oxford University Press. hlm. 391. ISBN 978-0-19-999591-2.
- ^ Fine, Cordelia (2008-06-17). A Mind of Its Own: How Your Brain Distorts and Deceives (dalam bahasa Inggris). New York: W. W. Norton & Company. hlm. 83–85. ISBN 978-0-393-34300-7.
- ^ Albarracín, Dolores; Mitchell, Amy L. (2004-12-01). "The Role of Defensive Confidence in Preference for Proattitudinal Information: How Believing That One Is Strong Can Sometimes Be a Defensive Weakness". Personality and Social Psychology Bulletin (dalam bahasa Inggris). 30 (12): 1566. doi:10.1177/0146167204271180. ISSN 0146-1672. PMC 4803283 . PMID 15536240.
On one hand, people’s confidence in their ability to defend their attitudes from attack may stem from severalpersonality