Pragmatik

cabang linguistik tentang bagaimana konteks berkontribusi terhadap makna, mempelajari implikatur, tindak tutur, relevansi dan percakapan
Revisi sejak 11 Desember 2021 04.14 oleh Saiful Arvandy (bicara | kontrib) (menambahkan isi artikel)

Pragmatik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan antara konteks luar bahasa dan maksud tuturan. Konteks luar bahasa ialah unsur di luar tuturan yang mempengaruhi maksud tuturan. Maksud tidak bisa dilihat dari bentuk dan makna saja, tetapi juga dari tempat dan waktu berbicara, siapa saja yang terlibat, tujuan, bentuk ujaran, cara penyampaian, alat berbicara, norma-norma, dan genre. Yang dipelajari dalam pragmatik meliputi tindak tutur, implikatur tuturan, interaksi percakapan, dan faktor-faktor eksternal percakapan, misalnya deiksis.

Sejarah

Pandangan awal mengenai pragmatik dikembangkan oleh Charles W. Morris pada tahun 1938. Landasan pengembangan pragmatik yang digunakan oleh Morris adalah semiotika. Ilmu semiotika dibagi oleh Morris menjadi semantik, sintaksis dan pragmatik. Ilmu pragmatik kemudian berkembang di Eropa selama periode 1940-an. Pada tahun 1960, Michael Halliday mengembangan sebuah teori sosial yang menjadikan bahasa sebagai sebuah fenomena sosial. Selanjutnya, di Amerika Serikat pada tahun 1962 berkembang paham pragmatik yang berasal dari pemikiran filsafat J. L. Austin. Karya Austin yang mempengaruhi ilmu pragmatik di Amerika Serikat ialah sebuah buku berjudul How to Do Things with Words (1962). Pemikiran utama dari Austin ialah mengenai tuturan performatif dan konstatif serta gagasan tentang lokusi, ilokusi, perlokusi dan daya ilokusi dari tuturan. Ilmu pragmatik di Amerika Serikat juga dipengaruhi oleh murid Austin yang bernama John Searle. Ia mengembangkan pemikiran-pemikiran Austin dan menerbitkan karya-karyanya mengenai pragmatik pada tahun 1969 dan 1975. Konsep penting yang dikembangkan oleh Searle adalah tentang tindak tutur. Selain Austin dan Searle terdapat beberapa pemikir lainnya yaitu Paul Grice, John Rankine Goody, Stephen C. Levinson dan Mey. [1]

Sumber kajian pragmatik

Sebagai disiplin ilmu, pragmatika (pragmatik) juga bersumber pada beberapa ilmu yang lainnya, antara lain:[2]

  • Filsafat kebahasaan: mempelajari bahasa dari sudut pandang suatu ungkapan atau ujaran yang dituturkan
  • Sosiolinguistik: mempelajari bahasa dari sudut pandang, tujuan dan situasi pemakaiannya di dalam masyarakat
  • Antropologi: mempelajari bahasa dari sudut pandang asal-usul suatu bahasa yang digunakan
  • Etnografi bahasa: mempelajari bahasa dari sudut pandang kebudayaan penutur bahasa
  • Linguistik: mempelajari bahasa dari sudut pandang struktur bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi

Variasi bahasa

Dalam mempelajari ilmu pragmatika, berbagai bahasa mempunyai ragam bahasa/variasi bahasa yang selalu menyesuaikan dengan konteks dan keadaan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi variasi suatu bahasa, antara lain:[2]

  • Faktor geografis: mempelajari di daerah mana bahasa itu dipakai;
  • Faktor kemasyarakatan: mempelajari siapa yang memakai bahasa dan bagaimana latar belakang masyarakat yang memakai bahasa;
  • Faktor situasi berbahasa: mempelajari situasi pengguna bahasa, tempat penggunaan bahasa, dan tema yang diperbincangkan;
  • Faktor waktu: mempejari kurun waktu suatu bahasa yang dipergunakan.

Ragam dialek adalah ragam bahasa yang berhubungan dengan di daerah mana suatu bahasa dituturkan. Perbedaan dialek terdapat pada seluruh aspek bahasa dan lafal, morfologi, sintaksis, kosa kata dan peribahasa, dan juga dalam pragmatik.[2] Sebagai contoh, Bahasa Jawa yang berbeda dengan bahasa Indonesia dalam penuturannya walaupun sama-sama digunakan orang Indonesia.

Ragam sosiolek adalah ragam bahasa yang berkaitan dengan status sosial dan jabatan seseorang dalam golongan masyarakat.[2] Status seseorang dalam golongan masyarakat sangat mempengaruhi keberagaman dalam berkomunikasi. Sebagai contoh dalam bahasa Jawa terdapat Bahasa Bagongan, Bahasa krama, dan Bahasa ngoko yang akan dipergunakan sesorang dalam berkomikasi dengan melihat siapa lawan bicaranya.

Ragam fungsiolek adalah ragam bahasa yang berkaitan dengan situasi berbahasa, siapa pemakai bahasa, dan topik dari suatu bahasa.[2]

Ragam kronolek adalah ragam bahasa yang berhubungan dengan perubahan bahasa dalam suatu kurun waktu tertentu. Bahasa yang ada bersifat dinamis dan selalu berubah seiring berjalannya waktu, menurut fungsi dan kegunaannya.[2]

Macam tindak bahasa/pertuturan

Austin memisahkan 3 macam tindak bahasa yang terjadi, yaitu:[3]

  • Tindak lokusi yang mengaitkan suatu topik dengan suatu keterangan dalam ungkapan.
  • Tindak ilokusi yaitu pengucapan suatu pernyataan, pertanyaan, penawaran, janji, dsb.
  • Tindak perlokusi yaitu hasil atau efek yang dihasilkan oleh suatu ungkapan yang sesuai situasi dan suasana.

Berdasarkan tujuannya, pertuturan dapat dikelompokkan seperti berikut:[4]

  1. Asertif, yang melibatkan penutur kepada kebenaran atau kecocokan proposisi, misalnya menyatakan, menyarankan, dan melaporkan;
  2. Direktif, yang tujuannya adalah tanggapan berupa tindakan dari mitra tutur, misalnya menyuruh, memerintahkan, meminta, memohon, dan mengingatkan;
  3. Komisif, yang melibatkan penutur dengan tindakan atau akibat selanjutnya, misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam;
  4. Ekspresif, yang memperlihatkan sikap penutur pada keadaan tertentu, misalnya berterima kasih, mengucapkan selamat, memuji, menyalahkan, memaafkan, dan meminta maaf;
  5. Deklaratif, yang menunjukkan perubahan setelah diujarkan, misalnya membaptiskan, menceraikan (secara lisan), menikahkan, dan menyatakan.

Alasan pemunculan

Alasan pemunculan pragmatik dalam kurikulum 1984 bervariasi:

  • Praktik, kemampuan/keterampilan bahasa siswa masih kurang; bahasanya berbelit-belit dan banyak didominasi oleh bahasa daerah;
  • Karena penggunaan bahasa Indonesia siswa belum baik, maka siswa masih perlu banyak belajar menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar; (3) pencapaian hasil pelajaran bahasa Indonesia belum memuaskan;
  • Pragmatik melengkapi pelajaran bahasa Indonesia secara utuh;
  • Pragmatik menunjang pencapaian tujuan pelajaran bahasa Indonesia dan selalu ada dalam pergaulan hidup sehari-hari;
  • Pragmatik tidak terlalu kentara dalam pokok-pokok bahasan lain dalam pelajaran bahasa Indonesia;
  • Alasan perkembangan bahasa.[5]

Penerapan

Analisis humor

Analisis makna terhadap suatu humor dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu ilmu pragmatik yaitu bahasa samar. Makna dari suatu humor diketahui melalui pengungkapan makna atau ekspresi yang tidak dinyatakan secara jelas. Penggunaan bahasa samar dalam analisis makna di dalam humor disebabkan oleh sifat humor yang menyesuaikan dengan budaya dari penutur dan pendengar tuturannya. Persepsi budaya juga berlaku bagi humor yang disampaikan melalui tulisan oleh penulis untuk pembacanya. Pemahaman terhadap budaya dari penutur diperlukan untuk memahami kelucuan dari tuturannya.[6]

Referensi

  1. ^ Arfianti, Ika (2020). Pragmatik: Teori dan Analisis. Semarang: CV. Pilar Nusantara. hlm. 1. ISBN 978-623-7590-82-8. 
  2. ^ a b c d e f Prof. Dr. P. W. J. Nababan (1987). Ilmu Pragmatik(Teori dan Penerapannya). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 3.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "rujukan2" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  3. ^ J.L. Austin (1962). How to Do Things With Words. New York: Oxford University Press. 
  4. ^ 1948-, Gunawan, Fitri,; Untung,, Yuwono,; T.,, Lauder, Multamia R. M. Pesona bahasa : langkah awal memahami linguistik. Jakarta. ISBN 9789792216813. OCLC 156874430. 
  5. ^ PRAGMATIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
  6. ^ Jaufillaili (2021). Rerung, Rintho Rante, ed. Analisis Bahasa Samar dalam Humor Strip: Satu Kajian Pragmatik. Bandung: Penerbit Media Sains Indonesia. hlm. 4. ISBN 978-623-6068-55-7. 

Lihat Pula