Etu adalah pagelaran tinju seremonial adat untuk uji kejantanan antara pemuda di Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur.[1][2] Etu berarti tinju adat dalam bahasa Lokal.[2] Etu atau tinju adat ini berbeda dengan tinju konvesional.[2] Para petarung menggunakan kepo sebagai sarung tinjunya dan terbuat dari anyaman ijuk, petarung hanya boleh memukul lawannya dengan tangan yang memakai kepo tersebut sedangkan tangan satunya hanya digunakan untuk menangkis.[2]

Peta Lokasi Kabupaten Nagakeo tempat asal Etu

Waktu dan tempat

Seremonial adat ini biasa dilaksankan bulan Juni-Juli dan merupakan satu kesatuan dari serangkaian acara adat yang dilakukan warga sejak mulai dari menanam sampai panen hasil di kebun.[3] Menurut penuturan beberapa tokoh adat setempat, lazimnya setiap ritual adat termasuk Etu, wajib diselenggarakan di depan sa’o waja (rumah adat) sebagai pusat kebudayaan masyarakat setempat.[3] Selain itu di tengah kampung terdapat peo, yaitu kayu bercabang dua yang dipancang pada tugu bundar dari batu bersusun.[3] Peo melambangkan persekutuan dan persatuan masyarakat Boawae yang merupakan turunan dari kelima suku, yakni suku Deu, Tegu, Mudi, Kobajawa dan Kisa Ola.[3] Sehari sebelum pagelaran tinju adat itu diselenggerakan, masyarakat sudah memadati pusat perkampungan untuk merayakan malam dero yaitu malam pertunjukan seni musik dan seni tari.[3] Sejak malam, suasana sudah mulai ramai karena ada acara pertunjukkan seni musik dan seni tari dari berbagai kelompok sanggar yang ada wilayah ini maupun dari daerah lain yang diundang.[3] Salah satu jenis musik khas daerah Nagekeo adalah musik toda gu, yaitu musik yang alatnya terbuat dari bambu dan dimainkan secara bersamaan oleh beberapa orang.[3] Upacara tinju adat menjadi tontonan menarik karena masing-masing kubu yakni kubu So’a, kabupaten Ngada, dan kubu Boawae, kabupaten Nagekeo, mengutus para petinju terbaik mereka untuk berlaga di atas arena.[3] Kedua kubu selain menyaksikan aksi petinju mereka, juga memberikan semangat lewat iringan musik.[4]

Pelaksanaan

Kesamaannya dengan olahraga tinju konvensional, tinju tradisional ini juga berlangsung di arena di tengah kampung.[5] Petinjunyapun juga terdiri dari dua orang pria.[5] Keduanya saling meninju namun petinju etu tidak menggunakan sarung tangan.[5] Hanya salah satu tangan petarung dililit sabut kelapa yang disebut kepo atau wholet. Alat ini digunakan sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan.[5] Tidak ada ketentuan pasti dalam aturan ronde.[5] Etu langsung saja dihentikan bila salah satu petarung jatuh atau mengeluarkan darah.[5] Pada umumnya tinju adat ini berlangsung antara dua sampai lima menit, tergantung kekuatan masing-masing petarung.[5] Etu dipimpin wasit atau seka, dalam istilah setempat. Ada dua sampai tiga orang seka.[5] Selain wasit, ada petugas yang disebut sike yaitu yang bertugas untuk mengendalikan para petarung agar tidak membabibuta menyerang dan melukai lawan.[5] Sike bisa dengan mudah melaksanakan tugas karena memegang ujung bagian belakang sarung yang dikenakan petarung.[5] Apabila begitu petarungan sudah dianggap di luar batas, sike hanya menarik saja ujung kain menjauhkan petarung dari lawannya.[5]

Ada juga petugas lain yang disebut pai etu atau bobo etu.[5] Petugas tersebut terdiri dari dua sampai empat orang dan bertugas untuk mencari petarung berikutnya yang ada di sekitar arena pertarungan.[5] Atau siapa yang berniat bertinju, dia langsung lapor saja ke pai etu yang akan mengatur jadwal pertandingannya.[5] Petugas ini bisa terdiri dari dua orang atau lebih.[5] Ada juga yang dinamakan mandor adat, tugasnya adalah mengawasi penonton yang berada di luar arena agar tidak masuk ke dalam arena.[5]

Kaum perempuan termasuk para ibu-ibu, juga turut ambil bagian dalam Etu.[5] Tapi tidak sebagai petarung. Mereka terlibat pada acara yang dinamakan dio yakni nyanyian untuk memberikan semangat kepada para petarung.[5]

Di daerah Tutu Badha-Rendu di Kecamatan Aesesa Selatan, Etu diawali oleh pertarungan antara dua orang saudara kandung dari salah satu keluarga di kampung itu. Kemudian, disusul oleh pertarungan-pertarunga peserta-peserta lain.[5]

Namun pada umumnya, tinju adat pada hari pertama biasanya dinamakan etu coo atau mbela loe yakni tinju yang pesertanya terdiri dari anak-anak.[5] Sedangkan pada hari kedua dinamakan etu meze atau mbela mese yaitu diikuti oleh peserta orang dewasa dari berbagai daerah.[5]

Tinju pada hari kedua ini diidentikkan dengan Etu atau mbela yang sebenarnya.[5] Petarungnya pun merupakan utusan dari daerah-daerah tertentu.[5] Walaupun memiliki makna yang sama, ada beberapa istilah dan kemasan acara yang berbeda antara satu suku dengan suku lainnya di Nagekeo dalam menyelengarakan tinju adat atau etu ini.[5] Setiap kali usai pertarungan, para petarung saling berangkulan sebagai lambang persaudaraan dan sportifitas.[5] Mereka dilarang keras saling dendam dan bertarung di luar arena.[5] Jika hal itu terjadi, mereka akan mendapat musibah.[5] Masyarakat setempat percaya bahwa luka petarung dalam ritual adat Etu itu akan cepat sembuh.[5] Petarung yang luka biasanya langsung menghadap kepala adat. Dengan sekali usapan luka petarung bisa langsung sembuh.[5]

Rujukan

  1. ^ "Etu". Inilahflores. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-08. Diakses tanggal 3 Mei 2014. 
  2. ^ a b c d "Etu". Garuda Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-02. Diakses tanggal 3 Mei 2014. 
  3. ^ a b c d e f g h "Etu". Flores Bangkit. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-03. Diakses tanggal 3 Mei 2014. 
  4. ^ "Etu". Terapung. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-02. Diakses tanggal 3 Mei 2014. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac "Etu". Tribun News. Diakses tanggal 3 Mei 2014.