Kekeliruan relevansi

Kekeliruan relevansi dapat diartikan sebagai proses dari bentuk penalaran sebenarnya tidak logis yang disebabkan oleh prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya. Argumen ini pada hakikatnya keliru tetapi tetap diterima oleh khalayak umum karena begitu banyaknya yang menerima argumen tersebut dengan tidak merasa kalau mereka itu telah tertipu dari penalaran atau cara berpikir sudut pandang pihak lain. Kekeliruan ini biasa terjadi akibat argumen yang menunjukkan bahwa premis yang timbul secara tidak logis disebabkan ruang lingkup dengan kesimpulan belum memiliki relevansi. Logika yang terkesan dipaksakan kepada pihak lain dapat menimbulkan pembodohan kepada pihak tersebut.[1] Istilah penyebutan kekeliruan ini biasa disebut fallacy di mana suatu gejala berpikir yang disebabkan oleh pemaksaan pada berbagai prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan sudut pandang relevansinya.

Simpulan yang tidak relevan (latin: ignatio elenchi atau mengabaikan sanggah). Kekeliruan ini disajikan dalam bentuk argumentasi bagi sebagian orang akan tidak logis atau valid yang pada akhirnya gagal dalam pemecahan masalah tersebut. Maknanya begitu luas karena memiliki hubungan dengan kekeliruan relevansi pada pembahasan ini. Kekeliruan formal beserta premisnya tidak mengikuti dari sebuah argumen hingga pada tahap kesimpulan. Kekeliruan ini terjadi bila seseorang menarik kesimpulan tanpa adanya relevansi untuk menjadi dasar.[2]

Secara harfiah asal kata relevansi berasal dari kata relevan (arti: bersangkut paut) memiliki hubungan yang selaras. Sukadinata membagi relevansi menjadi dua bagian yaitu relevansi internal dan eksternal. Relevansi intenal ini terjadi karena adanya kesesuaian atau konsisten antara komponen-komponen yang terkait sedangkan eksternal adalah komponen-komponen yang terpadu. Teori relevansi didefinisikan sebagai bentuk upaya dalam menyelesaikan komunikasi secara rinci.[3] Teori relevansi ini diambil dari sejumlah visi komunikasi yang menjadi masalah mendasar (utama) pada titik konvergensi dua model. Dapat diasumsikan bahwa komunikasi itu baik verbal dan nonverbal membutuhkan kemampuan mental dalam memahami orang lain. Kajian pragmatik ini mengharuskan kesesuaian pertanyaan dan jawaban dari pertanyaan itu sendiri sehingga komunikasi tercipta secara baik dan efisien. Responden dan penanya haruslah memahami kemudian menginterpretasikan hasil komunikasi yang sama. Yang terpenting disini adalah adanya kontribusi setiap partisipan dalam berkomunikasi sehingga dapat memberikan efek konstekstual. Hasil dari interaksi antar sesama yang terjalin akan melahirkan konteks relevansi yang baik untuk menghindari kekeliruan relevansi yang terjadi.

Pernyataan paling utama dari teori relevansi terdapat pada implikaturnya secara gamblang Cruse mengemukakan bahwa pembenaran konsep dalam menginterpretasikan komunikasi verbal tidak diberikan sebelumnya, melainkan penyimak memilihnya. Penemuan kembali implikatur menggunakan inferensi non demonstratif yang bergantung pada proses pengetahuan. Menurut Sperber dan Wilson peran relevansi ini begitu penting bagi penuntut komunikasi. Kognisi pengetahuan selain mampu mengkonfirmasi komunikasi dapat pula sebagai sumber hipotesis dari suatu masalah. Mereka juga sepenuhnya mengkritik gagasan bahwa komunikasi membutuhkan model kode karena model ini hanya menjelaskan perlakuan bahasa dan masukannya.[4] Teori ini pada dasarnya mengkritik empat bagian prinsip kerjasama grice dimana kesatuannya mencakup kualitas, kuantitas, relevansi dan pelaksanaan. Kekeliruan bisa saja terjadi pada hubungan yang selaras diakibatkan oleh kesalahpahaman maupun daya tangkap indera seseorang dalam menarik simpulan dari perkataan si penyampai pesan.[4] Hal ini disebabkan oleh efek kontekstual yang ditimbulkan dalam usaha pemrosesan tidak terjadi dengan baik. Ukuran relevansinya pun di tentukan oleh efek tersebut.

Penyebab dari kekeliruan relevansi adalah akibat salah menalar sebelum mengambil keputusan. Dalam proses berpikir kegagalan tafsiran dan kesimpulan seseorang dapat terjadi kapan saja. hal ini terjadi karena dorongan emosional, gagasan yang salah, kecerobohan dan kurangnya rasa ingin tahu. Perlunya evaluasi dalam beragumentasi agar pembuktian sebuah kesimpulan berdasar alasan pembuktian tiap kesimpulan yang benar. Kerap kali logika dan penalaran itu selalu hadir pada saat debat dalam memberikan argumen. Baik itu argumen berbentuk lisan atau tulisan dibarengi dengan fakta maupun tidak bahkan berlanjut dan tak ada habisnya. Kesalahan logika dan penalaran seperti ini di istilahkan sesat berpikir sebuah bentuk penalaran yang sepintas. Ada dua hal yang dapat dikategorikan sebagai kesalahan berpikir yakni, sesat bahasa dan sesat relevansi di mana sesat bahasa itu terdapat sesat aksentuasi serta ekuivokasi. Kalau sesat relevansi biasa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari karena adanya sesuatu hal maka terjadi bentuk penyerangan baik itu bersifat lisan, tulisan dan tindakan.[5] Beragumentasi tentunya tidak mungkin terlepas dari sebuah hal yang dinamakan kekeliruan tapi bukan berarti salah dalam hal substansi melainkan dalam berlogika.[6]

Ikhtisar

Kekeliruan relevansi itu terletak pada sesat berpikir di mana sesat berpikir itu memiliki karakteristik tersendiri seperti ada kesalahan dalam berpikir karena rasa khawatir atau curiga yang begitu berat menyebabkan pemikiran jadi terganggu dan itu sangat mempengaruhi pengambilan kebijakan yang tepat. Argumen yang salah dari pihak lain dan adanya kesan menipu agar seseorang menjadi percaya dan tipuan itu berjalan dengan lancar. Sesat berpikir perlu di jauhi demi menghindari konflik di kemudian hari. Ketepatan relevansi begitu amat penting agar sesat berpikir ini dapat diatasi.[7]

Hal ikhwal dari prosesnya terletak pada penalaran dan argumentasi yang kesemuanya tidak logis kemudian menjurus kepada kesesatan dengan menimbulkan efek gejala berpikir akibat dari pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya. Kekeliruan atau sesat dalam berpikir itu sendiri terbagi menjadi beberapa bagian

Kekeliruan karena menyimpulkan dua premis negatif, pengambilan keputusan dengan menggunakan premis negatif akan menjurus kepada kesimpulan yang tidak relevan dari konklusi. Contohnya barang yang sudah dibeli tidak bisa lagi dikembalikan, jadi meskipun barang tersebut cacat tak dapat dikembalikan.

Kekeliruan dalam bentuk disjungtif, bentuk ini merupakan bentuk yang diambil dari disjungtif silogisme karena telah mengingkari alaternatif awal dan membenarkan alternatif lain. Sebenarnya alternatif awal telah ideal namun tidak digunakan. Contoh perjalanannya sangat panjang menuju Jakarta namun transit dahulu di Balikpapan namun dia bisa saja tidak pergi ke Jakarta melainkan singgah di Balikpapan atau kedua-duanya dia tidak pergi.  

Kekeliruan karena mendasarkan diri pada kekuasaan, adanya argumen bahwa seseorang yang telah berkuasa maka dengan kekuasaan yang ia miliki maka ia memaksakan pendapatnya untuk di dengar pihak lain. Dengan adanya kekuatan yang dimilikinya .

Kekeliruan karena alasan terlalu sederhana, dalam berpikir dan berargumentasi haruslah memiliki bukti yang cukup kuat agar relevansinya tetap terjaga. Contohnya kendaraan bermotor merek Y adalah yang terbaik karena buatan luar negeri.

Kekeliruan karena argumen tidak relevan, nah, kekeliruan ini begitu difokuskan pada artikel ini karena mengajukan argumen yang tidak ada hubungan dengan masalah atau menjauhi kata relevan.

Sementara Jalaludin Rakhmat memberikan pembagian kesesatan berpikir manusia kedalam tujuh macam yakni, Pengambilan satu atau dua kasus demi mendukung argumen sendiri, pola berpikir deterministik, memandang bahwa kejadian bersifat temporal, anggapan bahwa sesuatu yang terjasdi berasal dari rencana Tuhan, beragumen karena kekuasaan, mengejar peluang dari satu atau dua peluang, dan pemikiran yang berputar-putar.[8] Jika kita membicarakan tentang aspek logis maka muncul sebuah pernyataan maupun pendapat dalam hal berbicara tentang logika. Logika disini adalah bentuk utama dari penalaran dalam mencapai relevnasi dalam beragumen sebaliknya kekeliruan pun dapat terjadi karena kesalahan dalam berpikir dan menganalisis. Contoh adu gagasan antara para calon kandidat capres yang disebut dengan debat politik yang menarik untuk disimak. Akan tetapi, dalam debat juga biasa terjadi kesesatan logika demi mempertahankan kebenaran dari pihak masing-masing dan debat ini bukan diskusi.[9]

Jenis Kekeliruan Relevansi

Adapun jenis dari kekeliruan tersebut adalah :[1]

Argumentum ad Baculum, jenis kekeliruan relevansi ini terletak pada sebuah argumen yang dikeluarkan berdasar pada kekuasaan. Argumen ini terjadi karena adanya pengaruh kekuasaan yang menyertainya. Sifatnya pun memaksakan pembenaran kesimpulan. Pernyataan kekuasaan membuat segalanya benar bahkan pada sistem pemerintahan kerajaan yang bersifat absolut argumentum ini menjadi senjata mematikan melalui bentuk kebijakan politik raja pada masa itu. Penggunaan metode tangan besi tak terelakkan demi menekan lawan politik. Contohnya Raja mengeluarkan kebijakan untuk menarik pajak yang tinggi kepada rakyat dengan alasan yang tidak logis.

Argumentum ad Hominem I sebuah argument yang sengaja diarahkan untuk menyerang pribadi seseorang secara langsung dengan interpretasi yang dapat dipertahankan untuk memahami kekeliruan ini. Aplikasi argumen ini berupa gambaran tindakan pelecehan terhadap pribadi seseorang dan menyinggung karakteristik personal seseorang yang sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran. Contohnya, seseorang yang menduduki pada salah satu instansi pemerintah bukan karena ia tidak layak untuk jabatan tersebut, melainkan karena ia memiliki keyakinan iman yang berbeda dari mayoritas pegawai pada instansi itu.

Argumentum ad Hominem II menitikberatkan pada hubungan yang ada di antara keyakinan seseorang dan lingkungan hidupnya. Bila ada dua orang yang terlibat dalam sebuah konflik atau perdebatan, ada kemungkinan masing-masing pihak tidak dapat menemukan titik temu karena mereka tidak mengetahui apakah argumen masing-masing itu benar atau keliru. Hal ini dapat terjadi ketika masing-masing pihak berargumen atas dasar titik tolak dari ruang lingkup argumen yang berbeda satu sama lain. contoh, Konflik atau selisih pendapat antara BKKBN dan beberapa pemuka agama tentang penggunaan alat-alat kontasepsi dalam pelaksanaan program keluarga berencana.

Argumentum Ed Ignatoriam Adalah argumen yang bertolak dari anggapan yang tidak mudah dibuktikan kesalahannya atau bahkan tidak dapat dengan mudah dibuktikan kebenarannya. Hal ini dapat terjadi karena alasan fenomena psikis seseorang, telepati, pandangan paranormal, dsb. Contoh : Kita membiarkan tindak korupsi dalam skala kecil (membiarkan tukang parkir tidak menyobek karcis parkir

Argumentum ad Misericordiam berdasar pada pernyataan belas kasih digunakan untuk meminta keringanan hukuman seseorang. Kesesatan berpikir yang satu ini dalam ranah hukum digunakan karena faktor empati dan berbeda apabila digunakan dalam membuktikan kesalahan seseorang. Contohnya adalah pada saat hakim menindak terdakwa yang sudah berusia lanjut dan anak yatim piatu  ketika di tuduh melakukan tindakan kriminal.[10]

Rujukan

  1. ^ a b Yifani, Lady. "Kekeliruan Relevansi". www.coursehero.com. Diakses tanggal 9/12/2021. 
  2. ^ Rahmat, Muhammad (2013/Agustus). Pengantar Logika Dasar (PDF). Bandung: LoGoz Publishing. hlm. 77. ISBN 978-602-9272-09-3. 
  3. ^ Dayantri, Hesti (2019). "Relevansi Kurikulum dengan SKKN Studi Analisis Dunia Kerja" (PDF). Skripsi: 20. 
  4. ^ a b Widayantono, Didin (1 Januari 2012). "Teori Relevansi". www.didin.lecture.ub.ac.id. Diakses tanggal 10/12/2021. 
  5. ^ Hutriips (16/2/2021). "Sesat Pikir Antara Sesat Bahasa dan Relevansi". www.velopedia.com. Diakses tanggal 22/12/2021. 
  6. ^ Nurfajar, Anugerah (16 Februari). "Sesat Pikir: Antara Sesat Bahasa dan Sesat Relevansi". velopedia. Diakses tanggal 22/12/2021. 
  7. ^ Kresnohadi (3 Agustus 2021). "Sesat Pikir". www.ruangguru.com. Diakses tanggal 18/12/2021. 
  8. ^ Muqoddam, Faqihul (12 September 2018). "Beberapa Kesalahan Berpikir Kita". www.geotimes.id. Diakses tanggal 18/12/2021. 
  9. ^ Ahdiat, Adi (17 Januari 2019). "5 Kesesatan Logika Ini Bisa Muncul di Debat Capres". kbr.id. Diakses tanggal 22/12/2021. 
  10. ^ Precilia, Regina (30 Maret 2021). "Argumentum ad-misericordiam dalam kacamata hukum-pidana". opini sosial. Diakses tanggal 22/12/2021.