Pondok Pesantren Tebuireng

sekolah di Indonesia
Revisi sejak 24 Desember 2021 22.17 oleh Syifatbi (bicara | kontrib) (Biografi Gus Kikin)

Pesantren Tebuireng adalah salah satu pesantren terbesar di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh Hadhrotussyekh KH. Hasyim Asy'ari pada tahun 1899. Selain materi pelajaran mengenai pengetahuan agama Islam, ilmu syari’at, dan bahasa Arab, pelajaran umum juga dimasukkan ke dalam struktur kurikulum pengajarannya. Pesantren Tebuireng telah banyak memberikan konstribusi dan sumbangan kepada masyarakat luas baik, terutama dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia.

Pesantren Tebuireng
Pesantren Tebuireng
Alamat
Desa Cukir, Kecamatan Diwek

,
Indonesia
Situs webtebuireng.online
Informasi
JenisPondok pesantren
AfiliasiIslam
Didirikan1899
PendiriHadhrotussyekh KH. Hasyim Asy'ari
PengasuhKH Abdul Hakim Mahfudz
Lain-lain
Moto
Pesantren Tebuireng

Sejarah

Pondok Pesantren Tebuireng didirikan oleh K.H. Hasyim Asy'ari pada tahun 1899 M. Pesantren ini didirikan setelah ia pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan terkemuka dan di tanah Mekkah, untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya.

Tebuireng dahulunya merupakan nama dari sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Letaknya delapan kilometer di selatan kota Jombang, tepat berada di tepi jalan raya Jombang – Kediri. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Tebuireng berasal dari “kebo ireng” (kerbau hitam).[1] Versi lain menuturkan bahwa nama Tebuireng diambil dari nama punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut.

Dusun Tebuireng sempat dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pencurian, pelacuran dan perilaku negatif lainnya. Namun sejak kedatangan K.H. Hasyim Asy’ari dan santri-santrinya, secara bertahap pola kehidupan masyarakat dusun tersebut berubah semakin baik dan perilaku negatif masyarakat di Tebuireng pun terkikis habis. Awal mula kegiatan dakwah K.H. Hasyim Asy’ari dipusatkan di sebuah bangunan yang terdiri dari dua buah ruangan kecil dari anyam-anyaman bambu (Jawa: gedek), bekas sebuah warung yang luasnya kurang lebih 6 x 8 meter, yang dibelinya dari seorang dalang. Satu ruang digunakan untuk kegiatan pengajian, sementara yang lain sebagai tempat tinggal bersama istrinya, Nyai Khodijah.

Organisasi NU tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dengan lebih dari 400 cabang, tetapi pengurus-pengurus wilayah NU yang kegiatan usahanya cukup nyata antara lain adalah yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatra Utara, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.[2] Saat ini, keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng telah berkembang dengan baik dan semakin mendapat perhatian dari masyarakat luas.

Sistem pendidikan

Seiring dengan perjalanan waktu, santri yang berdatangan menimba ilmu semakin banyak dan beragam. Kenyataan tersebut telah mendorong Pondok Pesantren Tebuireng beberapa kali telah melakukan perubahan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan. Sebagaimana pesantren-pesantren pada zaman pendiriannya, sistem pengajaran awal yang digunakan adalah metode sorogan (santri membaca sendiri materi pelajaran kitab kuning di hadapan guru), serta metode weton atau bandongan atau halqah (kyai membaca kitab dan santri memberi makna). Semua bentuk pengajaran tersebut tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan tingkat pendidikan dinyatakan dengan bergantinya kitab yang khatam (selesai) dikaji dan diikuti santri. Materi pelajarannya pun khusus berkisar tentang pengetahuan agama Islam, ilmu syari’at dan bahasa Arab.

Perubahan sistem pendidikan di pesantren ini pertama kali diadakan Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1919, yaitu dengan penerapan sistem madrasi (klasikal) dengan mendirikan Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Sistem pengajaran disajikan secara berjenjang dalam dua tingkat, yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani.

Tahun 1929, kembali dilakukan pembaharuan, yaitu dengan dimasukkannya pelajaran umum ke dalam struktur kurikulum pengajaran. Hal tersebut adalah suatu tindakan yang belum pernah ditempuh oleh pesantren lain pada waktu itu. Sempat muncul reaksi dari para wali santri, bahkan para ulama dari pesantren lain. Hal demikian dapat dimaklumi mengingat pelajaran umum saat itu dianggap sebagai kemunkaran, budaya Belanda dan semacamnya. Hingga terdapat wali santri yang sampai memindahkan putranya ke pondok lain. Namun, madrasah ini berjalan terus karena Pondok Pesantren Tebuireng beranggapan bahwa ilmu umum akan sangat diperlukan bagi para lulusan pesantren.

Pengasuh Pesantren Tebuireng

Dalam perjalanan sejarahnya, hingga kini Pesantren Tebuireng telah mengalami 7 kali periode kepemimpinan. Secara singkat, periodisasi kepemimpinan Tebuireng sebagai berikut:

  1. KH. Muhammad Hasyim Asy’ari: 1899 – 1947
  2. KH. Abdul Wahid Hasyim: 1947 – 1950
  3. KH. Abdul Karim Hasyim: 1950 – 1951
  4. KH. Achmad Baidhawi: 1951 – 1952
  5. KH. Abdul Kholik Hasyim: 1953 – 1965
  6. KH. Muhammad Yusuf Hasyim: 1965 – 2006
  7. KH. Salahuddin Wahid: 2006 – 2020
  8. KH Abdul Hakim Mahfudz: 2020 – sekarang

Referensi

  1. ^ Selayang Pandang Pesantren Tebuireng Diarsipkan 2010-06-15 di Wayback Machine., Situs Pondok Pesantren Tebuireng. Diakses 9 Juni 2010.
  2. ^ Damayanti, Doty, Kultur Pesantren, Kekuatan NU, KOMPAS.com, Jumat, 19 Maret 2010. Diakses 9 Juni 2010.

3. https://www.tebuireng.co/kisah-ijazah-istighotsah-kh-hasyim-asyari-yang-sempat-hilang/

Lihat juga

Pranala luar