Francis Bacon

Revisi sejak 25 Desember 2021 01.05 oleh ZaldiGSL (bicara | kontrib) (menambahkan konten dan referensi)

Francis Bacon (1561–1626) adalah salah seorang seorang tokoh empirisme yang menetapkan dasar-dasar empirisme melalui penggunaan metode induktif dalam penemuan-penemuan. Ia melakukan pengembangan ilmu dengan mengandalkan pengamatan dan percobaan serta menetapkan hasil percobaan hanya dari susunan fakta-fakta.[1] Bacon meyakini bahwa kebenaran hanya dapat diperoleh dengan cara berpikir induktif.[2] Selain itu, ia meyakini bahwa segala jenis pengetahuan dan ilmu bersumber dari filsafat.[3]

Francis Bacon
Gambar diri Francis Bacon, oleh John Vanderbank (ca. 1731).
Lahir(1561-01-22)22 Januari 1561
Strand, London, Inggris
Meninggal9 April 1626(1626-04-09) (umur 65)
Highgate, London, Inggris
AlmamaterUniversitas Cambridge
KawasanFilosofi Barat
AliranFilosofi Renaisans, Empirisme
Tanda tangan

Bacon menempuh pendidikan tinggi di Universitas Cambridge. Karier pekerjaannya dimulai sebagai diplomat dan kemudian menjadi anggota parlemen. Selain itu, ia pernah bekerja sebagai pengajar tentang Aristoteles di Universitas Paris. Sebelum usianya mencapai 40 tahun, ia mulai menulis tentang filsafat.[4]

Perjalanan hidup

 
Bacon, Sylva sylvarum

Bacon lahir di London pada tahun 1561 sebagai putra pegawai eselon tinggi masa pemerintahan Ratu Elizabeth. Tatkala menginjak usia dua belas tahun ia belajar di Trinity College di Cambridge. Tetapi baru tiga tahun keluar begitu saja tanpa menggondol gelar apa pun. Mulai umur enam belas dia kerja sebentar di staf Kedubes Inggris di Paris. Tetapi begitu umurnya masuk delapan belas sang ayah mendadak meninggal dengan hanya mewariskannya uang sedikit. Mungkin lantaran itu, dia belajar hukum dan di umur dua puluh satu dia jadi pengacara.

Pada paruh kedua abad ke-20, Monako menarik orang kaya dan terkenal yang ingin merasakan kembali kehidupan setelah kehilangan dan kesedihan dalam Perang Dunia II. Kehidupan yang meriah dan iklim yang menyenangkan telah mengubah Kerajaan menjadi surga bagi masyarakat elit.

Pada tahun 1946, Francis Bacon, salah satu seniman Inggris terkemuka abad ke-20, menetap di Monako. Dia tidak bisa menahan pesona tempat ini. Baginya Principality adalah tempat yang ideal untuk menjalani gaya hidup berkualitas tinggi. Pertama, iklim Mediterania memungkinkannya meredakan gejala asmanya. Kedua, di sini Bacon benar-benar bisa menyerah pada godaan untuk bermain roulette di salah satu kasino Monegasque. Francis, ahli lukisan figuratif, tinggal di sini selama empat tahun, mengunjungi Monako sepanjang hidupnya.

Lahir di Dublin dari orang tua Inggris, Bacon tidak menerima pendidikan seni. Ayahnya memelihara kuda dan ibunya berasal dari keluarga raja baja dari Sheffield. Keluarga Bacons sering bepergian, yang mengarah pada fakta bahwa bocah itu baru belajar di sekolah selama dua tahun.

Seorang mantan tentara, ayah Bacon membesarkan putranya dengan kejam. Dia mengusir anak laki-laki berusia 15 tahun itu dari rumah ketika dia melihat Francis mengenakan gaun ibunya. Francis pergi ke London, di mana dia melakukan pekerjaan serabutan untuk mencari nafkah.

Bacon mulai menjelajahi dunia seni setahun kemudian, saat dia pergi ke Berlin dan kemudian ke Prancis bersama teman orang tuanya. Pameran Picasso, yang diadakan di galeri seni Paris, telah mendorongnya untuk mulai melukis. Dalam bukunya «Triptych: Tiga Studi Setelah Francis Bacon» Jonathan Littell mencatat bahwa Bacon benar-benar mulai melukis pada usia empat puluhan dan menghasilkan karya terbesarnya ketika dia berusia di bawah enam puluh tahun.

Pemikiran filsafat

Pengetahuan

Bacon berpendapat bahwa peningkatan taraf hidup manusia memerlukan pengetahuan dan ilmu yang baru. Ia meyakini bahwa pengetahuan adalah kekuatan. Melalui pengetahuan, manusia masih dapat memiliki kekuasaan atas manusia lainnya serta atas Bumi.[5] Dalam pandangannya, semua pengetahua merupakan bagian dari filsafat,[6] sehingga filsafat dapat menjelaskan semua jenis pengetahuan.[7]

Metode induktif

Dalam mengetahui tentang sesuatu, Bacon menggunakan metode induktif. Dalam keyakinannya, kesimpulan umum dapat diperoleh oleh peneliti melalui pengumpulan fakta dengan cara melakukan pengamatan secara langsung. Bacon berpendapat bahwa alam semesta dapat diketahui kebenarannya melalui pengamatan langsung yang bebas dari prasangka apapun. Metode induktif digunakan untuk mengubah fakta-fakta atau bukti empiris yang bersifat khusus menjadi sebuah fakta atau kesimpulan yang sifatnya umum.[8]

Karya tulis ilmiah

Novum Organum

Bacon berpendapat bahwa kebenaran tertutupi oleh berbagai jenis kekeliruan.[9] Novum Organum merupakan salah satu karya tulis ilmiah dari Bacon yang membahas mengenai jenis-jenis kekeliruan. Bacon membagi kekeliruan menjadi kekeliruan akibat pemikiran yang sempit, kesukuan, keterbatasan penguasaan bahasa, dan norma sosial. Kekeliruan akibat pemikiran sempit dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan terhadap hubungan sebab-akibat dari penemuan fakta-fakta. Kekeliruan akibat kesukuan disebabkan oleh adanya pemikiran individu mengenai status diirinya sebagai anggota dari suatu suku, bangsa, dan ras tertentu, yang akhirnya mengurangi kepekaannya terhadap perbedaan budaya. Kekeliruan akibat keterbatasan penguasaan bahasa merupakan kekeliruan yang disebabkan individu tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam mengungkapkan suatu kebenaran melalui pemilihan kosakata. Sementara kekeliruan akibat norma sosial disebabkan adanya keadaan individu yang terlalu menganggap dirinya sebagai bagian dari suatu adat atau kebiasaan tertentu.[10] Novum Organum diterbtikan pada tahun 1620 di London.[11]

Referensi

  1. ^ Aprita, S., dan Adhitya, R. (2020). Nurachma, Shara, ed. Filsafat Hukum (PDF). Depok: Rajawali Pers. hlm. 168. ISBN 978-623-231-448-1. 
  2. ^ Sujalu, A. P., dkk. (2021). Ilmu Alamiah Dasar (PDF). Sleman: Zahir Publishing. hlm. 72. ISBN 978-623-6995-56-3. 
  3. ^ Kristiawan, Muhammad (2016). Hendri, L., dan Juharmen, ed. Filsafat Pendidikan: The Choice Is Yours (PDF). Yogyakarta: Penerbit Valia Pustaka Jogjakarta. hlm. 2. ISBN 978-602-71540-8-7. 
  4. ^ Ibrahim, Duski (2017). Filsafat Ilmu: Dari Penumpang Asing untuk Para Tamu (PDF). Palembang: NoerFikri. hlm. 116. ISBN 978-602-6318-97-8. 
  5. ^ Sudiantara, Yosephus (2020). Filsafat Ilmu Pengetahuan: Bagian pertama, Inti Filsafat Ilmu Pengetahuan (PDF). Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata. hlm. 127–128. ISBN 978-623-7635-46-8. 
  6. ^ Sesady, Muliati (2019). Wahid, Abdul, ed. Pengantar Filsafat (PDF). Bantul: TrustMedia Publishing. hlm. 16. 
  7. ^ Nawawi, Nurnaningsih (2017). Tokoh Filsuf dan Era Keemasan Filsafat Edisi Revisi (PDF). Makassar: Pusaka Almaida. hlm. 6. ISBN 978-602-6253-53-8. 
  8. ^ Soelaiman, Darwis A. (2019). Putra, Rahmad Syah, ed. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Perspektif Barat dan Islam (PDF). Banda Aceh: Penerbit Bandar Publishing. hlm. 67–68. ISBN 978-623-7499-37-4. 
  9. ^ Wattimena, Reza A.A (2015). Koratno, Y. Dwi, ed. Bahagia, Kenapa Tidak? (PDF). Ypgyakarta: Maharsa. hlm. 157. ISBN 978-602-08931-1-2. 
  10. ^ Suaedi (2016). Januarini, Nia, ed. Pengantar Filsafat Ilmu (PDF). Bogor: PT Penerbit IPB Press. hlm. 109. ISBN 978-979-493-888-1. 
  11. ^ Rohman, A., dan Rukiyati (2014). Lamsuri, Mohamad, ed. Epistemologi dan Logika: Filsafat untuk Pengembangan Pendidikan (PDF). Sleman: Aswaja Pressindo. hlm. 43. ISBN 978-602-18653-6-1. 

Pranala luar