Orang Samaria

denominasi Yahudi
Revisi sejak 29 Desember 2021 19.47 oleh Eriza Wening (bicara | kontrib) (top: Perbaikan tata bahasa)

Yahudi Samaria atau Orang Samaria adalah penduduk wilayah Palestina bagian utara, yang dulunya menjadi wilayah Kerajaan Israel.[1] Sejak abad ke-6 SM, ada pertentangan antara orang-orang Samaria dengan orang-orang Yahudi Haredi, yang berlangsung hingga masa Perjanjian Baru.[1] Pertentangan tersebut terutama disebabkan alasan etnisitas, yang mana orang-orang Yahudi Haredi menganggap orang-orang Samaria tidak berdarah Israel murni karena merupakan hasil pernikahan campur orang Yahudi dengan non-Yahudi.[1]

Orang Samaria

Selain itu, dalam hal keagamaan juga ada perbedaan di antara keduanya sehingga Yahudi Haredi menganggap ibadah Samaria tidaklah benar.[1] Disisi lain, Samaria juga melihat Yahudi Haredi secara negatif. Orang-orang Samaria menganggap diri mereka sebagai bangsa Yahudi asli, dan memisahkan diri dari kalangan bangsa Israel yang telah dicemarkan oleh imam Eli pada zaman Samuel.[2]

Letak Geografis

Daerah tempat tinggal orang Samaria terletak di tengah-tengah Yudea di Selatan dan Galilea di Utara, yang mana keduanya merupakan tempat tinggal bagi mayoritas orang-orang Yahudi.[3] Karena itu, orang-orang Yahudi yang terletak di Galilea sering terancam diserang oleh perampok-perampok Samaria bila hendak menuju ke Yudea, atau sebaliknya.[1] Alternatif lain bagi orang Yahudi di Galilea untuk ke Yudea adalah melewati jalan di sebelah Timur Sungai Yordan yang lebih panjang.[1]

Latar Belakang

Akar dari orang-orang Samaria adalah penduduk Israel Utara, yang pada tahun 722 SM ditaklukan oleh bangsa Asyur.[1] Kebijakan Asyur saat itu adalah membuang sebagian penduduk Israel Utara ke tempat lain, dan memasukkan penduduk bangsa-bangsa lain ke daerah Israel Utara.[1] Hal itu dilakukan untuk mencegah pemberontakan.[1] Orang-orang Samaria kemudian dianggap sebagai hasil asimilasi antara orang-orang Israel dengan penduduk bangsa lain yang ditaruh di sana.[1]

Pada saat orang-orang Yahudi yang berasal dari Kerajaan Yehuda kembali dari Pembuangan, mereka mulai merumuskan kembali identitas Yahudi dan disertai pelbagai peraturan keagamaan.[4] Mereka menekankan kemurnian darah Yahudi, sehingga memandang negatif orang-orang Samaria.[4] Hubungan keduanya semakin diperburuk ketika pada tahun 128 M, Yohanes Hirkanus, yang menjadi pemimpin orang Yahudi waktu itu, menghancurkan bait suci orang Samaria di bukit Gerizim dalam rangka memperluas daerah Yudea.[4] Karena itu, hubungan antara orang Yahudi dan orang Samaria yang penuh ketegangan terus berlanjut.[4]

Keagamaan

Pola keagamaan orang Samaria mirip dengan umat Yahudi dalam hal menyembah satu Tuhan Yang Maha Esa (Yahweh), perayaan hari Sabat, perayaan Paskah, dan sebagainya.[3] Akan tetapi, ada beberapa hal lain yang membedakan pola keagamaan orang Samaria dengan orang Yahudi.[3]

 
Pusat Ibadah orang-orang Samaria di Gunung Gerizim

Pusat Ibadah di Gunung Gerizim

Orang-orang Samaria tidak mengakui Yerusalem sebagai tempat ibadah utama, melainkan mendirikan bait suci yang menjadi pusat peribadahan mereka di dekat Gunung Gerizim.[1] Gunung Gerizim mereka anggap sebagai tempat suci pilihan Allah dan di situlah mereka menyelenggarakan ibadah mereka sendiri.[3] Tidak diketahui dengan pasti kapan bait tersebut dibangun, namun pastinya telah berdiri sebelum tahun 128 SM ketika dihancurkan oleh Yohanes Hirkanus dari wangsa Hasmoni.[4]

 
Orang Samaria dan Taurat Samaria.

Taurat Musa

Sebagai kitab suci, mereka hanya mengakui Taurat Musa yang disadur sedikit sesuai keyakinan mereka, yang disebut sebagai "Taurat Samaria".[3] Kitab-kitab para nabi dan kitab-kitab lain di dalam Kitab Suci Ibrani tidak mereka akui sebagai bagian kitab suci.[1] Kitab Taurat tersebut disusun kurang lebih abad ke-1 atau ke-2 SM, dan berisi legitimasi atas pentingnya Gunung Gerizim atau Sikhem sebagai tempat ibadah.[5] Sebaliknya, mereka menolak Yerusalem dan Bait Suci di sana sebagai tempat beribadah yang benar.[5]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l S. Wismoady Wahono.1986. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 338-339
  2. ^ (Inggris)Etienne Nobet. 1997. A Search for the Origins of Judaism: From Joshua to Mishnah. Sheffield: Sheffield Academic Press. P. 123.
  3. ^ a b c d e C. Groenen. 1984.Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 39-40
  4. ^ a b c d e (Indonesia)John Stambaugh, David Balch. 1997. Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 111-114.
  5. ^ a b (Inggris)Bernard M. Levinson. 2008. Legal Revision and Religious Renewal in Ancient Israel. Cambridge: Cambridge University Press. P. 127-128.

Pranala luar