Etika politik adalah praktik pemberian nilai terhadap tindakan politik dengan berlandaskan kepada etika.[1] Etika sendiri sering disamakan dengan moral. Sebenarnya etika merupakan cabang dari filsafat yang di dalamnya mencakup filsafat moral atau pembenaran-pembenaran filosofis. Etika dan moral memiliki perbedaan dari segi perspektif dan esensi pengertiannya. Moral merupakan ajaran tentang perilaku baik dan buruk yang berperan sebagai panduan bertindak manusia. Sementara etika adalah cabang filsafat yang menyoroti, menganalisis dan mengevaluasi ajaran-ajaran tersebut, tanpa perlu mengajukan sendiri tentang ajaran yang baik dan buruk.[2]

Kajian etika politik melingkupi filsafat dan etika.[3] Tindakan politik di dalam etika politik dinilai menggunakan filsafat politik dengan berdasarkan pada kebaikan dan keburukan yang ditimbulkannya.[4] Etika politik merupakan salah satu jenis dari etika sosial.[5] Fungsi dari etika politik adalah sebagai salah satu pengatur keseimbangan di dalam pemisahaan kekuasaan antara lembaga legislatif dan eksekutif.[6] Etika politik dikatakan mengambil peran dalam budaya politik jika memiliki kemampuan untuk mengendalikan lembaga-lembaga dan mekanisme politik.[7] Manfaat dari etika politik adalah terjaganya pergaulan politik yang bersifat harmonis.[8]

Tujuan

Etika politik bertujuan untuk mempertahankan prinsip-prinsip moral yang digunakan untuk mengatur politik di dalam masyarakat. Tujuan etika politik berkaitan dengan cara pertanggungjawaban politikus terhadap tindakan politiknya dan legitimasi moral. Etika politik juga bertujuan memberikan aturan-aturan dalam pemberian pengakuan wewenang agar tetap sesuai dengan kehidupan masyarakat.[9]

Urgensi etika politik

Etika adalah nilai-nilai moral yang menjadi pedoman bagi manusia dalam menentukan mana yang baik dan buruk. Dalam konteks perpolitikan masa kini, etika merupakan pedoman bagi para politikus dan penyelenggara negara untuk melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi yang buruk. Etika politik juga dapat dijadikan sarana untuk merefleksikan kualitas moral para politikus dan penyelenggara negara. Dengan demikian, pemerintah dan politikus dapat menciptakan program kebijakan yang berpihak pada rakyat demi mencapai kesejahteraan bersama. Selain itu, etika politik perlu dimiliki oleh pemerintah dan politikus agar terhindar dari sikap mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.[10][11]

Etika politik adalah hal yang paling penting dan dibutuhkan dalam setiap kondisi, baik itu dalam kondisi normal, tertib, tenang maupun kacau. Dalam kondisi kacau, etika politik akan menumbuhkan mekanisme berbicara dengan otoritas, atau dengan kata lain, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu politik, setiap tindakannya tetap membutuhkan legitimasi.[12]

Dimensi etika politik

Dalam sudut pandang etika politik, dimensi politis manusia dapat dilihat berdasarkan tiga hal, yaitu manusia sebagai makhluk sosial, dimensi kesosialan dan dimensi politis kehidupan manusia.[12]

Manusia sebagai makhluk sosial diejawantahkan dalam bentuk kesepadanan dalam kebebasan bertindak menurut keinginannya sendiri. Namun, tindakan ini akan lebih berarti ketika dilakukan di tengah-tengah manusia lain karena eksistensi dan perkembangan seorang manusia bergantung pada eksistensi manusia lainnya.[12]

Dimensi kesosialan dapat berarti bahwa seseorang menemukan jati dirinya ketika bersama orang lain. Sementara dimensi politis kehidupan manusia adalah fungsi pengatur kerangka kehidupan masyarakat, baik secara normatif maupun efektif.[12]

Ruang lingkup

Di dalam suatu bangsa, etika politik merupakan salah satu etika yang membentuk kehidupan berbangsa.[13] Etika politik mengkaji tentang tanggung jawab manusia sebagai warga negara sekaligus sebagai manusia. Ruang lingkup etika politik terbatas pada teori-teori yang membahas tentang cara yang bertanggung jawab dalam kegiatan legitimasi politik. Etika politik tidak dibangun melalui prasangka dan emosi yang bersifat apriori. Prinsip pembentukan etika politik ialah argumentasi yang rasional dengan sudut pandang yang objektif. Etika politik juga tidak turut serta dalam kajian politik praktis, tetapi hanya memberikan penilaian objektif terhadap permasalahan ideologi politik.[14]

Ukuran

Tujuan akhir dari setiap tindakan manusia berkaitan dengan etika politik dan moral.[15] Ukuran yang digunakan dalam etika politik adalah moral. Peran moral adalah menentukan nilai dari suatu tindakan politik termasuk etis atau tidak etis. Suatu tindakan politik dikatakan etis ketika terdapat sikap toleransi, menghargai perbedaan pendapat, dan mengutamakan kepentingan umum dibandingkan dengan kepentingan golongan atau egoisme.[16]

Prinsip

Subsidiaritas

Prinsip subsidiaritas merupakan salah satu prinsip etika politik yang mengharuskan segala urusan politik untuk dikelola oleh kekuasaan politik yang lebih rendah. Kekuatan politik atau pemerintah dengan kekuasaan yang lebih tinggi tidak harus ikut serta dalam menangani urusan politik. Prinsip ini umumnya diwujudkan dalam delegasi kekuasaan politik melalui desentralisasi. Tujuan dari prinsip subsidiaritas adalah pembagian kekuasaan politik. Pembagian kekuasaan ini akan mempermudah pemerintah dalam memenuhi kepentingan masyarakat khususnya pada pelayanan publik. [17]

Pluralisme

Prinsip pluralisme menandakan adanya kesediaan untuk menerima pluralitas (keberagaman), yang artinya hidup secara toleran bersama masyarakat yang berbeda suku, golongan, agama, adat dan pandangan hidup.[18]

Pluralisme sebagai salah satu prinsip dasar dari etika politik merupakan hakikat tertinggi dalam praktik demokrasi, di mana negara tidak akan bersikap totaliter. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti negara memberikan ruang untuk menyalurkan kekuasaannya, baik melalui partai politik maupun non partai politik. Dalam pluralisme politik, nilai demokrasi disandarkan pada keragaman kepentingan dan penyebaran kekuasaan atau biasa dikenal sebagai distribution of power.[19]

Hak asasi manusia (HAM)

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak dan kebebasan dasar bagi semua orang, tanpa memandang kebangsaan, jenis kelamin, etnis, ras, agama, bahasa atau status lainnya. HAM mencakup hak sipil dan politik (hak hidup, kebebasan berekspresi), hak sosial, budaya dan ekonomi (hak untuk berpartisipasi dalam kebudayaan, hak atas pangan, hak atas pendidikan dan pekerjaan yang layak).[20]

Prinsip HAM dalam etika politik juga berkaitan erat dengan partisipasi politik atau hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik yang memiliki empat dimensi, yaitu partisipasi dalam pemilu, partisipasi dalam konteks nonpemilu, hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik di tingkat internasional, teknologi informasi dan komunikasi untuk memperkuat partisipasi yang setara dan bermakna.[21]

Demokrasi

Sesuai definisinya, prinsip demokrasi memungkinkan seluruh rakyat di suatu negara ikut berpartisipasi dalam memerintah tetapi melalui lembaga atau perantaraan wakilnya. Prinsip demokrasi juga berarti mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.[22]

Keadilan sosial

Negara yang mampu menumbuhkan kepercayaan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan menumbuhkan etika sosial politik yang kuat pula. Tanpa adanya keadilan sosial, negara akan mengalami krisis kepercayaan publik dan bisa berkembang menjadi krisis lainnya.[23]

Berbicara tentang keadilan sosial tentu tidak lepas dari adanya kesetaraan, terutama kesetaraan yang menyangkut hak-hak rakyat sebagai warga negara, seperti kesetaraan dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan, kesempatan untuk menduduki jabatan di suatu otoritas dan sebagainya.[24]

Peran

Legitimasi kekuasaan politik

Kekuasaan politik dapat memperoleh legitimasi politik dengan mematuhi etika politik. Dalam membentuk kekuasaan politik, etika poltik mempunyai dua peran yaitu sebagai filsafat moral dan sebagai tata krama. Sebagai filsafat moral, etika politik mengatur bagaimana aspek politik yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Sementara sebagai tata krama, etika politik menjadi acuan moral dalam sifat segala tindakan politik yang dilakukan oleh manusia.[25]

Pencegahan konflik

Etika politik dapat menjadi alat pencegahan konflik di dalam masyarakat jika dibangun atas dasar nilai kebangsaan.[26] Peran nilai kebangsaan adalah sebagai alat pengendali terhadap individu di dalam masyarakat dan individu yang diberikan hak kepemimpinan. Pengendalian dari nilai kebangsaan berbentuk pengendalian atas tanggung jawab pemimpin dan masyarakat sebagai warga negara.[27]

Pluralisme

Pluralisme di dalam suatu negara digunakan untuk menyatukan berbagai kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan dalam bidang teologi, historiologi maupun sosiologi. Etika politik dapat membentuk pluralisme jika disertai dengan etika sosial. Sebaliknya, krisis ekonomi yang tidak disertai dengan etika politik akan menghasilkan pemberontakan dan perlawanan dari warga negara terhadap negaranya.[28]

Etika politik Pancasila

Sebagai sistem etika, Pancasila seyogianya mampu menjadi norma umum nasional dan prinsip utama, baik bagi penyelenggara negara, partai politik, elite politik dan masyarakat sebagai subjek politik. Sistem ini seharusnya menjadi rambu-rambu bagi perilaku para politisi dan masyarakat secara umum karena masing-masing memiliki kewajiban moral dan kontribusi yang sama demi terciptanya kualitas demokrasi yang bermartabat, demokratis dan manusiawi.[29]

Pancasila juga tidak dapat dipisahkan dari politik karena ia merupakan panduan bagi para elite dan masyarakat dalam berpolitik secara santun, baik, berakhlak mulia dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Sebagai panduan dalam berpolitik, para insan Indonesia harus mampu mengejawantahkan etika-etika politik yang terkandung di dalam Pancasila.[30]

Etika politik Pancasila sendiri sebenarnya merupakan percabangan dari filsafat politik Pancasila sehingga baik buruknya suatu perbuatan maupun perilaku politik akan dipandang menggunakan dasar filsafat politik Pancasila.[31]

Masalah etika, khususnya etika politik Pancasila, sangat berhubungan dengan sila kedua dan dijiwai oleh keempat sila Pancasila lainnya. Oleh karena itu, etika politik Pancasila dapat diartikan sebagai perbuatan atau perilaku politik yang selaras dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab dan dijiwai oleh sila ketiga, keempat, kelima dan pertama. Hubungan antara kelima sila Pancasila mengenai dimensi politik Indonesia dapat dikemukakan dalam rintisan etika politik Pancasila sebagai berikut.[31]

  • Dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, Indonesia mengakui bahwa nilai-nilai agama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di ranah publik, termasuk politik. Namun, tidak eksklusif hanya diambil dari nilai-nilai satu agama.[32]
  • Berdasarkan sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, politik di Indonesia harus dijalankan dengan semangat keadaban dalam kerangka masyarakat madani yang berlandaskan pada kebebasan dan supremasi hukum.[32]
  • Sila ketiga, Persatuan Indonesia, harus menjadi prinsip dari praktik politik Indonesia yang senantiasa menjaga dan merawat kebhinekaan dalam kerangka NKRI.[32]
  • Sila keempat Pancasila mengandung nilai bahwa segala praktik penyelenggaraan negara harus dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku (legitimasi hukum), mewakili kepentingan rakyat (legitimasi rakyat) dan mematuhi prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral).[32]
  • Terakhir, sila kelima, mengisyaratkan bahwa segala penyelenggaraan negara harus diarahkan pada upaya-upaya untuk menyejahterakan rakyat. Hal ini berarti setiap kebijakan yang bertujuan untuk pemerataan kesejahteraan harus dirumuskan secara matang dan dilakukan dengan tepat sasaran.[32]

Permasalahan terkait etika politik

Kecenderungan orang dalam berbuat sesuatu lebih dipengaruhi oleh kepatuhan terhadap hukum, bukan atas dasar etika atau moralitas. Hal ini dapat menimbulkan masalah apabila seseorang hanya menjadikan hukum sebagai alat untuk memenuhi hak dan kepentingannya sebagai warga negara tetapi lalai dari kewajiban melaksanakan kepatuhan terhadap hukum. Meskipun tidak tertulis, etika memiliki substansi dan fondasi yang jelas guna mengatur tata kelola masyarakat sehingga ia lebih mengarah pada kesadaran individu dengan hati nurani.[33]

Etika politik harus dipahami dalam konteks "etika dan moral secara umum" yang di dalamnya mencakup tiga hal. Pertama, etika dan moral individu yang menyangkut kwajiban dan sikap manusia terhadap dirinya. Kedua, etika moral sosial yang mengacu pada hak dan kewajiban serta sikap dan pola perilaku manusia dalam interaksinya dengan sesama. Ketiga, etika lingkungan hidup yang berhubungan dengan interaksi antara manusia sebagai individu dan makhluk sosial dengan alam yang lebih luas.[34]

Dalam kancah perpolitikan, etika politik tidak hanya berkaitan dengan kekuasaan dan sistemnya tetapi juga kehidupan manusia. Etika politik menjadi tantangan bagi para politikus dan pejabat negara karena etika politik berfungsi sebagai kontrol agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.[35]

Etika politik berkaitan erat dengan sikap, nilai dan moral yang sejatinya hanya dimiliki oleh manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Sebuah penyimpangan etika politik dapat dijumpai dalam kehidupan berbagsa dan bernegara, khususnya dalam praktik politik praktis. Hal tersebut dapat dilihat dari realitas politik saat ini di mana politik menjadi lahan perebutan kekuasaan dan kepentingan sehingga banyak orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya masing-masing. Banyak elite politik yang tidak menyadari bahwa sikap atau tindakannya bertentangan dengan norma dan etika politik, baik secara normatif maupun secara regulasi. Pejabat negara atau politikus yang seharusnya bisa menjadi teladan bagi masyarakat justru terjebak pada pragmatisme yang merusak etika politik mereka, seperti transaksi politik atau politik uang yang dilakukan saat pemilu, suap dan korupsi.[35][36]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Handoyo, E., Susanti, M. H., dan Munandar, M. A. (2016). Etika Politik (PDF) (edisi ke-2). Semarang: Widya Karya. hlm. 271. ISBN 978-602-8517-37-9. 
  2. ^ Prasojo, Aditya Bismantaka (30 Mei 2021). "Pentingnya Etika dalam Sebuah Pemerintahan | DETaK Unsyiah". DETaK unsyiah.com. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  3. ^ Magnis-Suseno, Franz (2016). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 1. ISBN 978-602-03-3470-7. 
  4. ^ Darmadi, Hamid (2020). Putra, R. Masri Sareb, ed. Apa Mengapa Bagaimana Pembelajaran Pendidikan Moral Pancasila dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn): Konsep Dasar Strategi Memahami Ideologi Pancasila dan Karakter Bangsa. Jakarta: An1mage. hlm. 275. ISBN 978-602-6510-91-4. 
  5. ^ Pratama, Fidya Arie (2018). Nurdiawan, Odi, ed. Etika Profesi Sistem Informasi Akuntansi. Bantul: Penerbit K-Media. hlm. 5. 
  6. ^ Pimpinan dan Anggota DPRD Kalteng (2004). 45 Tahun Kiprah dan Pengabdian DPRD Kalimantan Tengah. Jakarta Timur: Penerbit Indomedia. hlm. 297. ISBN 979-97336-6-9. 
  7. ^ Lembaga Pemiihan Umum (1987). Buku Pelengkap X Pemiliihan Umum 1987: Yang Berhubungan dengan Kehumasan Pemilihan Umum Tahun 1987. Jakarta: Lembaga Pemilihan Umum. hlm. 767. 
  8. ^ Kurniawan, Robi Cahyadi (2021). Etika Politik dan Pemerintahan (PDF). Bandar Lampung: Pusaka Media. hlm. 45. 
  9. ^ Dwihantoro, Prihatin (2013). "Etika dan Kejujuran dalam Berpolitik". Politika. 4 (2): 13. 
  10. ^ Mantero, Rikardus (21 Desember 2020). "Urgensi Etika dalam Politik Masa Kini". The Columnist. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  11. ^ Gusti (16 Mei 2013). "Penyelenggara Negara Cenderung Abaikan Moral dan Etika politik". ugm.ac.id. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  12. ^ a b c d Febriany, Farah Sabilla; Dewi, Dinie Anggraeni (2021). "Nilai-Nilai Pancasila dan Dinamika Etika Politik Indonesia". Jurnal Pendidikan Indonesia (dalam bahasa Inggris). 2 (4): 690–695. doi:10.36418/japendi.v2i4.139. ISSN 2746-1920. 
  13. ^ Indrawan, Y., Suherman, A., dan Andana, T., ed. (2006). Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sejarah, Realita, dan Dinamika. Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. hlm. 78. 
  14. ^ Rohani, Edi (2019). Wardani, Ida Kusuma, ed. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan: Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila dan Kewarganegaraan dalam Perspektif Santri. Wonosobo: Gema Media. hlm. 152–153. ISBN 978-602-6957-87-0. 
  15. ^ Sandur, Simplesius (2019). Filsafat Politik dan Hukum Thomas Aquinas. Sleman: Penerbit PT Kanisius. hlm. 202. ISBN 978-979-21-5856-4. 
  16. ^ Kusuma, Mahendra (2020). Pergulatan Intelektual untuk Politik dan Demokrasi. Palembang: Bening Media Publishing. hlm. 114. ISBN 978-623-95571-6-4. 
  17. ^ Keraf, A. Sonny (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 226. ISBN 978-979-709-526-0. 
  18. ^ Sinaga, Deddy (23 Februari 2018). "Pluralisme adalah Aset Bangsa Indonesia". CNN Indonesia. Diakses tanggal 3 Januari 2022. 
  19. ^ Hairunnas (28 Mei 2019). "Pluralisme Politik : Dilematis dan Tantangannya". METROJAMBI.COM. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  20. ^ Admin (17 September 2020). "Hak asasi manusia (HAM) adalah hak dan kebebasan fundamenta". FAKULTAS HUKUM | Inovatif, Berkepribadian dan Mandiri (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 3 Januari 2022. 
  21. ^ Latuharhary, Kabar (9 Februari 2021). "Komnas HAM Soroti Ketimpangan Partisipasi Politik". Komisi Nasional Hak Asasi Manusia - KOMNAS HAM. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  22. ^ Aditya, Rifan (7 Oktober 2021). "Pengertian Demokrasi Menurut Para Ahli: Abraham Lincoln hingga Montesqieu". suara.com. Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  23. ^ Makhya, Syarief, ed. (18 Oktober 2017). "Etika Sosial Politik dan Keadilan". lampost.co. Diakses tanggal 3 Januari 2022. 
  24. ^ Prahassacitta, Vidya (Oktober 2018). "MAKNA KEADILAN DALAM PANDANGAN JOHN RAWLS". Business Law. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  25. ^ Sulaiman (2016). Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi (PDF). Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh. hlm. 31. ISBN 978-602-1620-46-5. 
  26. ^ Butarbutar, Martua P. (2015). Waluyo, Dwitri, ed. Hedonisme Arus Balik Demokrasi. Jakarta: Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. hlm. 28. ISBN 978-602-9888-04-1. 
  27. ^ Butarbutar, Martua P. (2021). Gerak UOUS: Idealisme, Komitmen, Intuisi, Cita. Martua P. Butarbutar. hlm. 133. 
  28. ^ Sahrasad, H., dan Mulky, M. A. (2020). Salahuddin, Zulfikar, ed. Agama, Politik dan Perubahan Sosial. Freedom Foundation dan Universitas Malikussaleh Press. hlm. 88. ISBN 978-1-71658-617-0. 
  29. ^ Soeharso, Silverius Y (3 Februari 2018). "Politik dan Etika Pancasila". mediaindonesia.com. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  30. ^ Unisma, Humas (27 Oktober 2019). "Pancasila Sebagai Etika Politik | TIMES Indonesia". www.timesindonesia.co.id. Diakses tanggal 31 Desember 2021. 
  31. ^ a b Tim Redaksi (22 April 2021). "Etika Politik Pancasila: Nilai-nilai dan Contoh Penerapannya". VOI - Waktunya Merevolusi Pemberitaan. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  32. ^ a b c d e Aditya, Ivan (4 Oktober 2017). "Menggagas Etika Politik Pancasila". KRJogja. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  33. ^ Wulandari, Inayah Putri (17 Juli 2019). "Tantangan Etika dalam Praktik Demokrasi". detiknews. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  34. ^ Lubis, Sofyan (1 November 2021). "Etika dan Moral Politik vs Penegakan Hukum – Komisi Kejaksaan Republik Indonesia". komisi-kejaksaan.go.id. Diakses tanggal 31 Desember 2021. 
  35. ^ a b Nabila, Nanda (5 Oktober 2021). "Kemanakah Etika Berpolitik Sekarang?". bantenesia | Wadah Menulis Masyarakat Banten. Diakses tanggal 29 Desember 2021. 
  36. ^ Haka, Rian (20 Oktober 2020). "Etika Politik yang Tidak Mencerminkan Realitas Budaya Politik". Hulondalo.id. Diakses tanggal 29 Desember 2021.