Baju rantai
Baju rantai (juga dikenal sebagai badjoe-rante, baju besi, baju rante, wadjoe-rante, and waju rante) adalah salah satu jenis zirah (baju pelindung) dari kepulauan Nusantara (Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Filipina).
Etimologi
Namanya berakar dari kata Jawa kuno, baju berasal dari kata waju yang berarti baju atau pakaian, sementara rantai berasal dari kata rante atau ranti.[1]
Deskripsi
Baju rantai adalah zirah rantai yang dikerjakan menjadi bentuk baju. Ia terdiri dari cincin besi kecil, tidak memiliki kerah dan lengan yang mencapai siku. Ujung bawah kira-kira setinggi paha. Zirah jenis ini digunakan oleh berbagai kelompok etnis di Indonesia.[2]
Sejarah
Salah satu yang paling awal menyebutkan baju rantai adalah dalam Kidung Ranggalawe, sebuah naskah kidung Jawa yang menceritakan tentang pemberontakan Ranggalawe terhadap Majapahit pada 1295 masehi. Namanya di naskah itu adalah waju rante, yang berarti baju yang terdiri atas rantai-rantai besi. Zoetmulder mencatat penggunaan pakaian khusus untuk prajurit: Dalam penelitiannya tentang orang Jawa kuno ia menemukan pasukan yang dipanggil bala winaju gangsa ranti,[3] yang berarti tentara berbaju gangsa ranti. Gangsa (dari kata sanskerta: kangśa) merujuk pada semacam logam campuran tembaga dan timah,[3] sedangkan ranti berarti rantai.[3]
Hikayat Banjar mencatat perlengkapan Bhayangkara di istana Majapahit, diantaranya:
... dengan perhiasannya orang berbaju rantai empat puluh serta pedangnya berkopiah taranggos sachlat merah, orang membawa astengger [senapan sundut] empat puluh, orang membawa perisai serta pedangnya empat puluh, orang membawa dadap [perisai rotan] serta sodoknya [senjata mirip tombak dengan mata lebar] sepuluh, orang membawa panah serta anaknya sepuluh, yang membawa tombak rampukan bersulam emas empat puluh, yang membawa tameng Bali bertulis air empat puluh.
— Hikayat Banjar. 6.3
Dua komunitas etnis terkait di Sulawesi Selatan, suku Bugis dan Makassar, juga mengadopsi baju besi rantai yang mereka sebut sebagai waju rante atau waju ronte. Zirah ini dibuat oleh untaian cincin besi yang diikatkan satu sama lain, yang membuatnya mirip dengan rajutan.[4] Selama bertahun-tahun peperangan, tentara Bugis dan Makassar, mengenakan zirah rantai dan membawa senapan lontak yang mereka buat sendiri, mendapatkan reputasi yang hebat untuk keganasan dan keberanian mereka.[5]
Lihat pula
Referensi
- ^ Zoetmulder, P. J. (1982). Old Javanese-English dictionary. The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 9024761786.
- ^ Albert G. van Zonneveld: Traditional weapons of the Indonesian archipelago. C. Zwartenkot Art Books, Leiden 2001, ISBN 90-5450-004-2, S. 28.
- ^ a b c Zoetmulder, P. J. (1995). Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
- ^ Hamid, Pananrangi (1990). Senjata Tradisional Daerah Sulawesi Selatan. Direktorat Jenderal Kebudayaan.
- ^ Marsden, William (1966). A History of Sumatra. Kuala Lumpur.
Bacaan lanjut
- William G. Shellabear: An English–Malay Dictionary. Methodist Publishing House, Singapore 1916, (Digitalisat).