Gajah-gajahan
Gajah-gajahan adalah salah satu bentuk pertunjukan rakyat Ponorogo selain Reog. Jenis kesenian ini diirngi dengan Kompang, hadroh atau samproh klasik, terutama alat-alat musiknya. Perbedaannya adalah bahwa kesenian ini tidak memiliki pakem yang tetap mulai alat-alat musik, gerak tari, lagu, dan bentuk musiknya berubah seiring perkembangan zaman. Perbedaan paling utama adalah hadirnya patung gajah yang terbuat dari kertas karton yang dilekatkan pada kerangka bambu. Dari segi simbol binatang yaitu gajah yang dijadikan salah satu alatnya, menunjukkan bahwa gajah adalah binatang yang mudah ditundukkan, santun serta banyak membantu pekerjaan manusia.
Sejarah
Awal Mula
Seni Gajah - Gajahan bermula pada awal abad ke 15 yang merupakan ambisi raja Majapahit Wikramawardhana yang memberikan hadiah berupa hewan gajah Jawa ke berbagai kerajaan kerabat yang berada di kalimantan, Idochina hingga Jepang.[1]
Gajah yang diberikan ialah hewan gajah dari wilayah wengker yang dibawah naungan demang ri wengker. Gajah wengker memiliki tubuh gemuk tapi tidak terlalu tinggi, berwarna kehitaman dengan telinga yang besar dan berekor panjang yang kini dikenal dengan Gajah Jawa.
karena jasa wengker yang menyediakan gajah - gajah tersebut, di bangunlah arca gajah di wengker yang kini berada di kota Magetan.
Namun ternyata sudah tidak ada gajah sama sekali di wengker, sehingga orang - orang wengker yang awalnya menggunakan gajah saat melakukan berbagai perayaan tidak ada gajah lagi. maka dari itu, dibuatlah replika gajah seperti halnya gajah yang pernah hidup di wengker sebagai objek sarana ritual maupun perayaan.
Masa Kemerdekaan
Kemudian kesenian ini tersebar di lingkungan komunitas santri atau daerah seputaran mushola/masjid terutama di daerah-daerah Jenangan, Siman, Mlarak, dan Jetis. Beberapa pimpinan komunitas gajah-gajahan mengatakan Gajah-gajahan di kalangan santri memang diciptakan bukan sebagai kesenian ritual, tetapi adalah hanya sebagai kesenian untuk menghibur masyarakat. Selain itu juga memiliki fungsi merekatkan persaudaraan antar kalangan masyarakat santri.
Kesenian Gajah-gajahan yang dikembangkan kalangan santri saat itu di Ponorogo memang awal mulanya dilatarbelakangi sebuah perebutan kuasa politik, lewat instrumen kebudayaaan. Reog yang saat itu telah mendarah daging bagi masyarakat Ponorogo memang menjadi sarana komunikasi yang efektif bagi rakyat. Maka tak mengherankan jika berbagai kekuatan politik pada tahun 1950-an sampai dengan 1960-an melirik Reyog sebagai instrumen untuk merebut massa. Berbagai organisasi kebudayaan dari partai-partai politik pun segera dikerahkan untuk berpacu memenangkan kuasa. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) milik PKI, Lembaga Kesenian Nasional (LKN) milik PNI, Lembaga Seni – Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) milik NU, dan Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI) milik Masyumi adalah lembaga-lembaga kebudayaan dari partai politik waktu itu yang berlomba merebut dominasi, khususnya dalam memenangkan kuasa dalam reyog.
Seiring dengan hal itu, suasana kehidupan di Ponorogo diwarnai dengan berbagai ketidaktertiban sosial dan munculnya gangguan keamanan. Belum lagi ditambah berbagai intrik politik yang sangat dominan sebagai determinasi pertarungan politik nasional. Akhirnya pada tahun 1958 Bupati Dasuki, memerintahkan Embah Wo bersama dengan Embah Lurah Welud, dan Embah Rukiman untuk membantu pemerintah menertibkan keadaaan di wilayah ini.
Akhirnya, Embah Wo, Embah Welud, dan Embah Rukiman mengumpulkan segenap orang orang yang menonjol dalam olah kanuragan (Istilahnya Bolo Ireng) untuk mendapatkan pengarahan dari bupati untuk mendapatkan wewenang guna mengatasi gangguan keamanan di Ponorogo. Setidaknya terdapat 126 bolo ireng yang mendapatkan kepercayaan dari bupati untuk menjadi “polisi daerah”. Sebagai potensi sosial yang strategis, maka bolo ireng pun menjadi incaran dari berbagai kekuatan politik lokal, terutama PKI untuk dijadikan sayap politiknya. Namun, Embah Wo yang saat itu sebagai ketuanya bolo ireng menolak kalau barisannya diajak masuk partai politik. Walau pada akhirnya Embah Wo dan bolo ireng menjadi sayap politik Golkar.
Di lain pihak, persaingan memperebutkan Reyog pun segera dimulai, ketika para warok mendirikan Barisan Reyog Ponorogo (BRP) pada tahun 1957. BRP awal mulanya didirikan sebagai sarana perkumpulan Reyog dan tak ada sangkut pautnya dengan dinamika politik setempat. Perebutan pucuk pimpinan BRP pun berlangsung ketat tatkala banyak aktivis Lekra, Lesbumi, LKN, dan HSBI memasuki keanggotaan BRP. Tokoh tokoh semacam Paimin (tokoh Lekra dan juga mantan purnawirawan TNI AD yang juga menjadi Lurah Purbosuman) bersaing dengan Marto Jleng (LKN) dan KH Mujab Thohir dari Lesbumi dalam menduduki kursi ketua BRP. Akhirnya kontestasi itu dimenangkan oleh Paimin dari Lekra. Komposisi kepengurusan BRP yang seharusnya disangga bersama dari Lekra, LKN, dan Lesbumi ternyata didominasi oleh kalangan Lekra, sebab Paimin secara otoritatif memasukkan orang orangnya dalam kepengurusan Lekra.
Perpecahan pun membayangi tokoh tokoh kebudayaan yang secara ideologis berbeda haluan politik itu. Dominasi Lekra dalam BRP membuat Marto Jleng dan KH Mujab Thohir tidak lagi mengakui keberadaan BRP sebagai wadah reyog bersama. Puncak dari ketegangan dari “triumvirat” itu adalah saat Marto Jleng dan Mujab Thohir mendirikan bendera reyog tersendiri sebagai usaha untuk mendelegitimasi BRP sebagai perkumpulan reyog bersama. Marto Jleng akhirnya mendirikan Barisan Reyog Nasional (BREN) dan KH Mujab Thohir mendidikan Kesenian Reyog Islam (KRIS) lantas mendirikan lagi Cabang Kesenian Reyog Agama (CAKRA).
Keberadaan BREN, KRIS, maupun CAKRA masih belum bisa menyaingi dominasi BRP dalam memperebutkan massa. Walau banyak anggota anggota BPR yang tidak mengerti tentang komunisme, tetapi mereka sangat kuat dipengaruhi oleh elit elit BRP. Kemampuan BRP menggalang massa bahkan hingga setiap desa di seluruh Ponorogo. Jadi dapat dipastikan bahwa setiap desa memiliki grup Reyog yang berafiliasi dengan BRP. Akibat dominasi inilah sebagian kalangan non komunis, terutama kalangan santri menuduh bahwa Reyog itu haram karena Reyog itu identik dengan komunis, terutama selepas peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965. Karena tidak mampu mengungguli kekuatan BRP itu, akhirnya kalangan santri dari Jetis membuat kesenian alternatif, yakni Gajah-gajahan, terutama selepas peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965.
Jetis, Mlarak dan Siman pada masa tahun 1950-an sampai 1960-an merupakan basis dari Masyumi dan sebagian lagi NU. Di daerah ini pula Pondok Modern Gontor yang memiliki pengaruh kuat di sekitar wilayahnya menyebarkan syi’ar Islam. Praktis, kemunculan Gajah-gajahan yang merupakan kesenian beridentitas Islami benar benar mendapatkan tempat di daerah ini. Kesenian ini muncul sesudah tahun 1965. Kesenian yang khusus keberadaannya dari Ponorogo semata ini tampil dengan mengandalkan alat musik dari jedor, kendhang dan kompang. Pada akhir tahun 1960-an antara seniman Reyog dengan gajah gajahan tak bisa akur. tidak diketahui mengapa ada perseteruan antara seniman gajah gajahan dengan reyog saat itu.
Pementasan Gajah-gajahan
Pada saat pertunjukan dimulai, patung gajah diangkat oleh dua orang yang masuk ke dalamnya dan dinaiki oleh seorang bocah kecil, yang umumnya perempuan atau laki laki yang didandani seperti perempuan, sambil diiringi oleh pemusik dibelakangnya. Pemusik membawa alat-alat musik berupa Jedor, gendang, kentongan, atau alat-alat musik lainnya.
Gajah-gajahan bukan sekadar kesenian panggung, tetapi juga sebagai sarana sosialisasi suatu kabar tertentu (misal; pengajian) dari si penghajat kepada masyarakat luas. Saat memerankan fungsi sosialisasi ini, gajah-gajahan diarak keliling desa atau beberapa desa di sekitarnya. Cara mengarak gajah gajahan dengan berkeliling desa itu, diharapkan akan mengundang perhatian warga untuk mendengarkan pesan pesan yang akan disampaikannya. Pada hajatan khitanan misalnya yang naik gajah-gajahan adalah anak kecil yang dikhitan. Kini seiring perkembangan zaman fungsi ini di geser seperti fungsi jathil pada kesenian Reyog (yang pada mulanya laki-laki berubah menjadi perempuan), yang mungkin agar memiliki unsur artistik.
Perbedaan Gajah-gajahan dan Reyog
Gajah-gajahan memiliki perbedaan mendasar dengan Reyog, selain perbedaan bentuk fisik keseniannya. Antara lain ;
- Pada awalnya Reyog, masih memiliki dimensi ritual, seperti adanya daya magis dalam kesenian Reyog, sementara gajah-gajahan adalah kesenian yang diciptakan untuk hiburan, media penyebaran informasi dan tentu sebagai tempat berkumpul bersama.
- Membeli peralatan kesenian paling banyak hanya separohnya dibandingkan membeli peralatan Reyog.
- Gajah-gajahan untuk pentas merupakan pilihan murah dan meriah dibandingkan dengan Reyog.
- Mencermati perkembangan zaman, gajah-gajahan masih punya masa depan. Ini bisa di lihat dari fleksibilitas kesenian ini.
Masalah-masalah yang dihadapi kesenian gajah-gajahan
- Belum adanya pementasan rutin dan bersifat massal.
- Pandangan negatif masyarakat, tentang tuduhan kesenian dekat dengan minuman keras.
Lihat pula
Pranala luar
- (Indonesia) Gajah-gajahan vs Reyog Ponorogo, Diakses pada 2 Agustus 2011.
- ^ kitab paraton