Tjingal

kerajaan di Asia Tenggara

Kepangeranan Tjingal (Cengal) (d/h Kerajaan Pamukan), setelah bergabung dengan Hindia Belanda disebut Landschap Tjingal (Cengal) adalah sebuah Landschap atau suatu wilayah pemerintahan swaparaja yang dikepalai seorang bumiputera bagian dari Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di bawah kekuasaan Asisten Residen GH Dahmen yang berkedudukan di Samarinda.[1] Pemerintah swapraja daerah tersebut dikuasakan kepada seorang kepala bumiputera adalah Pangeran Muda Muhammad Arifillah. Wilayahnya meliputi Daerah Aliran Sungai Cengal, Pamukan Utara, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Sekarang wilayah ini menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Kotabaru yaitu kecamatan Pamukan Utara. Di Desa Bepara, Bakau, Pamukan Utara terdapat Makam Ratu Intan puteri Sultan Banjar yang menderita lumpuh merupakan pendiri kerajaan di daerah ini pada periode sebelumnya. Kedatangan Ratu Intan ke daerah ini diutus oleh Sultan Banjar untuk memenuhi permintaan suku Dayak setempat yang meminta untuk ditempatkan seorang penguasa agar daerah tersebut untuk menghindari menjadi sarang perompak dan aman dari gangguan bajak laut yang datang dari daerah lain.

Peta Zuid en Ooster Afdeeling van Borneo, Lansdchap Cengal dan Manunggul berbatasan di utara dengan Kesultanan Paser dan di selatan dengan Landschap Sampanahan

Penduduk Cengal terdiri: 154 (Melayu), 327 (Bugis) dan 292 (Dayak) total 773 jiwa.

Raja Tanah Bumbu[2][3][4]

 
Wilayah Kerajaan Tanah Bumbu
  • Pangeran Dipati Tuha (Pangeran Dipati Mangkubumi) bin Sultan Saidullah (1660-1700).[5] Ia diutus Sultan Banjar mengamankan wilayah tenggara Kalimantan dari para pendatang atas permintaan penduduk lokal yaitu orang Dayak Samihim (Dusun Tumbang) yang tinggal dahulu tinggal di Tanjung Kersik hitam di muara sungai Cengal yang telah dihancurkan oleh para penyerang dari laut. Kemudian kedatangan rombongan Pangeran Dipati Tuha melalui jalan darat yang berasal dari Kelua (utara Kalsel) dan menetap di Sampanahan pada sebuah sungai kecil bernama sungai Bumbu (anak sungai Sampanahan) sehingga wilayah ini kemudian dinamakan Kerajaan Tanah Bumbu berdasarkan nama sungai Bumbu tersebut dengan wilayah kekuasaan membentang dari Tanjung Aru hingga Tanjung Silat. Pangeran Dipati Tuha (Pangeran Dipati Mangkubumi) memiliki dua putera yaitu Pangeran Mangu (Mangun Kesuma) dan Pangeran Citra (Citra Yuda). Setelah berhasil mengamankan Tanah Bumbu dari pendatang, Pangeran Citra kembali ke tanah pelungguh milik ayahnya Pangeran Dipati Tuha yaitu negeri Kalua dan menjadi sultan negorij Kloeak. Sedangkan Pangeran Mangu dipersiapkan sebagai Raja Tanah Bumbu berikutnya.[6]

Menurut Lontara Bilang Kerajaan Gowa, pada 28 Juli 1699 atau 1 Safar 1111 Hijriyah, Pangeran-Aria (Pangeran Pamukan di pantai Timur Kalimantan) menikahi Daëng-Nisajoe (janda Aroe Teko ?), putri Karaëng Mandallé. Pada 18 Juli 1707/16 Rabiul akhir 1119 Pangeran Arija pergi bersama istrinya (Daëng-Nisajoe, putri Karaeng-Mandallé) ke negaranya (Pamoekan). Pada 1 Januari 1707 Karaeng-Balassari (Zainab Saëná, putri Aru Teko oleh Daeng-Nisayu) menikahi raja (masa depan) (Siradjoe-d-din). Pada 30 Desember /6 Shawal 1119 Karaeng-Balassari (saudara perempuan Aroe-Kadjoe dan istri calon raja Tello dan Gowa Siradju-d-din) melahirkan seorang putri bernama Karaeng-Tana-Sanga Mahbulaah Mamunja-ragi. Pada 9 Juli 1715/ 7 Rajab 1127. Daëng - Mamunooli Aroe-Kadjoe kembali dari Lau-poelo (pulau di selatan Kalimantan, biasa disebut Poelolaut).

  • Pangeran Mangu (Pangeran Mangun Kesuma) bin Pangeran Dipati Tuha (1700-1740); memiliki anak bernama Ratu Mas. Ratu Mas bersaudara dengan Ratu Sepuh.[6]
  • Ratu Mas binti Pangeran Mangu (1740-1780); Ratu Mas menikah dengan seorang pedagang dari Gowa bernama Daeng Malewa yang bergelar Pangeran Dipati; pasangan ini memperoleh anak bernama Ratu Intan I. Dari dua istri orang bawahan, Daeng Malewa memiliki putra yaitu Pangeran Prabu dan Pangeran Layah. Ratu Intan I menikahi Aji Dipati yang bergelar Sultan Dipati Anom Alamsyah (Sultan Pasir III tahun 1768-1799).[7] Pernikahan Ratu Intan I dengan Sultan Anom tidak memiliki keturunan, tetapi dari istri selir Sultan Anom memiliki anak bernama: Pangeran Muhammad, Andin Kedot, Andin Girok, dan Andin Proah. Pangeran Layah memiliki anak bernama: Gusti Cita (putri) dan Gusti Tahora (putra). Sepeninggal Ratu Mas, maka sejak 1780, kerajaan Tanah Bumbu dibagi menjadi beberapa divisi (negeri bahagian). Ratu Intan I memperoleh negeri Cantung dan Batulicin.[6] Ratu Intan I masih dikenang dalam ingatan suku Dayak Meratus.[8] Pangeran Layah memperoleh negeri Buntar Laut. Sedangkan Pangeran Prabu bergelar Sultan Sepuh sebagai Raja Sampanahan, Bangkalaan, Manunggul dan Cengal.[6]

Kepala Pemerintahan Tjingal

  1. Pangeran Prabu (Sultan Sepuh, 1780-1800) sebagai Raja Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul dan Cengal. Ia memiliki anak: Pangeran Nata (Ratu Agung), Pangeran Seria, Pangeran Muda (Gusti Kemir), Gusti Mas Alim, Gusti Besar, Gusti Lanjong, Gusti Alif, Gusti Redja dan Gusti Ali (Pangeran Mangku Bumi/Gusti Bajau).
  2. Pangeran Nata (Ratu Agung) bin Pangeran Prabu (1800-1820), sebagai Raja Bangkalaan, Sampanahan dan Manunggul. Pada saat itu Cengal diserahkan kepada Pangeran Seria.
  3. Pangeran Seria bin Pangeran Prabu (1800-?), sebagai Raja Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul dan Cengal.
  4. Gusti Besar binti Pangeran Prabu (1820-1830) atau (18xx-1825) sebagai Raja Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul, Cengal, Cantung, Batulicin. Gusti Besar berkedudukan di Cengal. Cantung dan Batulicin diserahkan sepeninggal Ratu Intan. Gusti Besar menikahi Aji Raden yang bergelar Sultan Anom dari Kesultanan Pasir. Sultan Sulaiman dari Pasir menyerbu dan mengambil Cengal, Manunggul, Bangkalaan, dan Cantung, tetapi kemudian dapat direbut kembali.
  5. Kepala Cengal, Manunggul, Sampanahan yang diangkat Sultan Pasir.
  6. Aji Jawi (1840) (putera Gusti Besar)(1825-1840): Pangeran Aji Jawi/Aji Djawa (1840-1841) sebagai Raja Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul, Cengal, Cantung dan Batulicin. Pada mulanya Cengal adalah daerah pertama yang berhasil direbut kembali, kemudian Manunggul dan Sampanahan. Cantung diperolehnya ketika ia menikahi Gusti Katapi puteri Gusti Muso, penguasa Cantung sebelumnya yang ditunjuk ibunya. Bangkalaan diperolehnya ketika ia menikahi Gusti Kamil puteri dari Pangeran Muda (Gusti Kamir) penguasa Bangkalaan sebelumnya yang ditunjuk ibunya. Belakangan Sampanahan diserahkan kepada pamannya Pangeran Mangku (Gusti Ali) yang memiliki pewaris laki-laki bernama Gusti Hina.
  7. Aji Tukul (Ratu Intan II/Ratu Agung) bin Aji Jawi(1845). Sekitar tahun 1846 sebagai Raja Bangkalaan, Manunggul dan Cengal. Aji Jawi dan Gusti Kamil Bt Gusti Kamir memiliki anak bernama Aji Tukul dan Aji Landasan. Sedangkan Aji Jawi dan Gusti Katapi Bt Gusti Muso memiliki anak bernama Aji Madura, yang menjadi Raja Cantung. Ratu Intan II menikahi Aji Pati bergelar Pangeran Agung berasal dari Pasir, yang mendampinginya memegang tampuk pemerintahan sampai meninggalnya tahun 1846. Ratu Intan II kemudian menikahi Abdul Kadir yang menjadi Raja Kusan, Batulicin dan Pulau Laut.
  8. Aji Pati (Pangeran Agung) bin Sultan Sulaiman dari Pasir(1845-1846) sebagai Raja Bangkalaan, Manunggul dan Cengal.
  9. Aji Samarang (Pangeran Muda Muhammad Arifbillah) bin Aji Pati (1846) Pangeran Muda atau lengkapnya Pangeran Muda Mohammad Arifillah Aji Samarang sebagai Raja Bangkalaan, Manunggul, Cengal.
  10. Pangeran Syarif Hasyim al-Qudsi, (Besluit dd. 24 Maret 1864 no. 15 en als no.104.[9]
  11. Aji Mas Rawan (Raja Arga Kasuma) bin Aji Samarang(1884-1905) sebagai Raja Bangkalaan, Manunggul, dan Cengal.


KESULTANAN BANJAR
(Kerajaan Pamukan)
(Cengal)


KEPANGERANAN TANAH BUMBU
(Sampanahan, Bangkalaan, Cengal, Manunggul, Buntar Laut, Cantung, Batulicin)
  • Raja Tanah Bumbu I: ♂ Pangeran Dipati Tuha 2 (ipar Sultan Saidullah - raja Banjar)
  • Raja Tanah Bumbu II: ♂ Pangeran Mangu (anak Pangeran Dipati Tuha)
  • Raja Tanah Bumbu III: ♀ Ratu Mas (anak Pangeran Mangu)
KEPANGERANAN CENGAL
  • Raja Sampanahan, Bangkalaan, Cengal I, Manunggul: Pangeran Prabu (anak tiri Ratu Mas)
  • Raja Cengal II: Pangeran Seria (anak Pangeran Prabu)
  • Raja Cantung II/Batulicin II/Bangkalaan IV/Cengal III/Manunggul: ♀ Raja Gusti Besar (keponakan Ratu Intan I)
  • Raja Cantung IV/Bangkalaan VII/Cengal IV/Manunggul/Sampanahan: (1825-1841) ♂ Pangeran Adji Djawa (anak Gusti Besar)
  • Raja Bangkalaan, Cengal, dan Manunggul: Aji Tukul (Ratu Intan II/Ratu Agung)
  • Raja Bangkalaan, Cengal, dan Manunggul: Aji Pati (Pangeran Agung) bin Sultan Sulaiman dari Pasir(1845-1846)
  • Raja Bangkalaan, Cengal, dan Manunggul: Aji Samarang (Pangeran Muda Muhammad Arifbillah) bin Aji Pati (1846)
  • Raja Bangkalaan, Cengal, dan Manunggul: Pangeran Syarif Hasyim al-Qudsi
  • Raja Bangkalaan, Cengal, dan Manunggul: Aji Mas Rawan (Raja Arga Kasuma) bin Aji Samarang(1884-1905)

Kampung-kampung

Chengal memiliki luas 69 persegi. geogr. untuk mil dan berbatasan dengan utara ke Pasir, barat ke Banjarmasin, selatan ke Menoenggoel dan Teluk Pamukan, timur ke Selat Makassar. Kekaisaran berada di bawah administrasi yang sama dengan Bangkalaan yaitu Adji Pati. Tanahnya subur, tetapi sedikit ditanami, dan keuntungan terbesar yang diambil Adji Pati dari tanah itu berasal dari perdagangan yang dilakukan oleh para pemukim Bugis yang didirikan di sana. Tol dan pajak diatur di sini, seperti di Tjantung. Kampung-kampung:

  1. Cengal
  2. Lawau

Semua orang Bugis adalah pedagang. Orang-orang Melayu sebagian besar dari Pasir.

Kecuali Dayak, penduduk negara-negara yang disebutkan di atas adalah orang asing, terutama orang Bugis dan Melayu, atau keturunan mereka. Mereka mendiami pantai atau tepi sungai, sejauh mereka dapat dilayari. Penduduk asli telah mengungsi dan diserahkan ke pemukim asing selama bertahun-tahun. Beberapa yang tersisa tinggal tersebar, atau di kampung-kampung kecil, di pegunungan. Mereka lembut dalam karakter, pemalu dan takut dan bahkan karena penindasan besar mereka sering bertahan tidak memprovokasi perlawanan atau ketidaksukaan luar. Mereka hidup tenang di antara mereka sendiri, terpisah dari semua orang asing, yang pendekatan mereka dengan cepat meninggalkan gunung, meninggalkan barang-barang dan harta benda mereka di belakang. Mereka ramping dan bertubuh lemah, warnanya lebih rata daripada orang Melayu, dan sering kali dipenuhi dengan warna pucat yang sakit-sakitan. Mereka sangat menderita karena penyakit kulit yang menjijikkan, mungkin sebagai akibat dari banyak hal tidak wajar yang mereka gunakan untuk makanan, karena mereka memakan segala sesuatu yang disediakan oleh tumbuhan dan hewan dan tidak secara langsung berbahaya. Pakaian mereka sangat sederhana dan biasanya hanya terdiri dari potongan kulit yang terbuat dari kain, yang dililitkan di sekitar pinggang dan di antara kaki dan melalui (well what), selain jilbab. Hanya pada acara-acara khusus mereka mengenakan celana pendek Bugis dan tabung kapas. Tato tidak digunakan di sini. Para wanita mengenakan sarung dan kabajen/kebaya pendek, tetapi sering memiliki tubuh telanjang. Senjata mereka terdiri dari tombak, perisai, kemudi untuk racun punya panah dan klewang. Mereka juga membuat semacam penguatan untuk melindungi diri dari serangan Dayak Pari liar dan biadab. Bahasa orang-orang ini memiliki sedikit kesamaan dengan bahasa Melayu. Adapun agama mereka, mereka menyembah prinsip yang baik dan jahat. Yang pertama, disebut Batara, adalah yang paling indah, dikaruniai semua sifat ilahi, sempurna, baik, dan adil Itu menghakimi jiwa orang mati menurut perbuatan mereka dalam hidup mereka. Kediaman Batara adalah puncak Gunung Halau-halau di Pegunungan Meratus, di mana mereka juga menempatkan surga Roh jahat, yang disebut Putut, yang mereka panggil dan kepada siapa mereka mempersembahkan korban, adalah agen dari semua kemalangan yang menimpa mereka. Orang mati diselimuti kain putih dan dikubur di ruang bawah tanah alami yang cukup besar untuk menampung beberapa keluarga dalam satu keluarga. Mereka memberikan koin tembaga mereka (pitis) di sepanjang dan menutupi mata, hidung, telinga dan mulut dengan lempengan-lempengan emas. Hanya para pria yang disunat. Ini mengolah tanah, mengumpulkan damar, lilin, madu, rotan, sarang burung, lilin, emas, dan membuat busur kecil, sementara para wanita mengerjakan pekerjaan rumah, membuat pakaian, tikar lakukan kepang dan lakukan pekerjaan serupa. Mereka memiliki banyak tradisi luar biasa dan mereka suka pesta, permainan, tarian perang, dll.

Bagian dari populasi yang diturunkan dari orang asing meniru kebiasaan dan kebiasaan Bugis dalam pakaian, permainan, pesta, kewajiban kelahiran, perkawinan dan kematian, taruhan dan umumnya dalam seluruh jalan hidup. Karena percampuran orang Bugis dengan Melayu, dan sebelumnya juga dengan Dayak, dialek telah dibuat yang sesuai dengan bahasa tiga bangsa, dan khas di pantai timur Kalimantan. Dapat dimengerti hanya bagi mereka yang telah menghabiskan waktu lama di sana. Orang asing berbicara sebagian besar bahasa Bugis atau Melayu, meskipun banyak, bahkan orang-orang yang paling penting, tidak mengerti yang terakhir. Orang Bugis, yang sementara menetap di negara-negara ini, adalah pedagang utama. Mereka mengimpor hampir semua barang dan penjualan dan barang-barang ke pangeran, atau bagi para pedagang pedalaman, yang kebanyakan adalah keturunan orang Bugis bercampur dengan orang Melayu. Karakter dari ras campuran itu melestarikannya di tengah-tengah antara orang Bugis dan orang Dayak; mereka tidak memiliki keberanian dan semangat untuk berbisnis dengan yang pertama, maupun memiliki sifat baik dan kesabaran yang baik; mereka tidak beradab, pengecut, berhati keras dan kasar terhadap bawahan mereka, merayap dan rendah di depan atasan mereka. Bersatu dalam kelompok, mereka melakukan perampokan untuk menyerang kapal-kapal dagang kecil yang tak berdaya, seringkali membunuh mereka yang ada di kapal atau membawanya sebagai budak. Mereka sangat tidak bermoral dan menggunakannya secara tidak tepat candu memiliki di antara mereka semua konsekuensi destruktif yang terkait dengannya. Secara umum, Tanah Bumbu kaya akan produk dari berbagai bidang alam dan dapat diasumsikan dengan kepastian bahwa dapat dibuat sesuai, di bawah budaya biasa, untuk menghasilkan semua produk yang diproduksi di Jawa dan lainnya. pulau yang dibangun dengan baik ditemukan [10]

Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe

Tjingal merupakan salah satu daerah landschap dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178.

Rujukan

  • (Belanda) Utrechtsche bijdragen tot de geschiedenis, het staatsrecht en de economie van Nederlandsch-Indië, Volume 14

Catatan kaki

  1. ^ Native states (zelfbesturen) in Dutch Borneo, 1900[pranala nonaktif permanen]
  2. ^ Truhart P., Regents of Nations. Systematic Chronology of States and Their Political Representatives in Past and Present. A Biographical Reference Book, Part 3: Asia & Pacific Oceania, München 2003, s. 1245-1257, ISBN 3-598-21545-2.
  3. ^ "Administrative sub-divisions in Dutch Borneo, ca 1879". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-24. Diakses tanggal 2011-07-24. 
  4. ^ "Native states (zelfbesturen) in Dutch Borneo, 1900". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-12-11. Diakses tanggal 2012-07-25. 
  5. ^ (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia (1857). "Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde". 6. Lange & Co.: 245. 
  6. ^ a b c d Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia, Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde, Jilid 1, Lange & Co., 1853
  7. ^ http://www.guide2womenleaders.com/indonesia_substates.htm#T
  8. ^ (Indonesia) Anna Lowenhaupt Tsing, Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat, Yayasan Obor Indonesia ISBN 979-461-306-1, 9789794613061
  9. ^ (Belanda) Lembaga Kebudajaan Indonesia, Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde, Volume 15, Lange & Co., 1866
  10. ^ C.A.L.M. Schwaner (1851). Historische, geografische en statistieke aanteekeningen betreffende Tanah Boemboe: aangetroffen onder de bij het Gouvernement van Nederlandsch-Indië berustende papieren van C.A.L.M. Schwaner. 1. hlm. 6. 

Pranala luar