Suku Ogan
Suku Ogan atau Melayu Ogan[2] (Bahasa Ogan : Hang Ugan, Jeme Ugan / Surat Ulu (Aksara Ogan) : ꤺꤸ ꥆꥈ ꤱꥐ) adalah salah satu suku bangsa yang mayoritas bermukim di Provinsi Sumatra Selatan dan Provinsi Lampung. Masyarakat suku Ogan tersebar di Kabupaten Ogan Komering Ulu (Baturaja, Ulu Ogan, Semidang Aji, Lubuk Batang, Peninjauan, Pengandonan), Kabupaten Ogan Komering Ilir (Muara Baru, Anyar dan Banding Anyar), Kabupaten Ogan Ilir (Kecamatan Muara Kuang) di sepanjang aliran Sungai Ogan (Ayakh Ugan) dan juga terdapat kantong populasi kecil di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (Tugu Harum Belitang, Mendah dan Martapura). Selain di Sumatra Selatan, Suku Ogan dapat dijumpai dalam jumlah yang sangat besar di Lampung meliputi Kabupaten Way Kanan (Way Tuba, Banjit dan Kasui), Lampung Utara (Kotabumi, Bukit Kemuning dan Ogan Lima), Pesawaran (Tegineneng), Lampung Barat (Sukau), Lampung Selatan, Kota Metro dan Lampung Timur. Jumlah populasi suku Ogan pada sensus terakhir (tahun 2010) diperkirakan sebanyak 720.000 orang. Suku Ogan menggunakan Bahasa Melayu Ogan sebagai bahasa sehari-hari, yang memiliki kemiripan[menurut siapa?] dengan bahasa Melayu Deli[butuh klarifikasi] dan Melayu Riau.[butuh klarifikasi][butuh rujukan]
| |||||||||||||||||
Daerah dengan populasi signifikan | |||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Indonesia (Sensus 2010) | 720.000[1] | ||||||||||||||||
• Sumatra Selatan (perkiraan) | 500.000 | ||||||||||||||||
Bahasa | |||||||||||||||||
Ogan (utama), Indonesia dan Melayu Palembang | |||||||||||||||||
Agama | |||||||||||||||||
Islam Sunni (mayoritas), Kristen Katolik (minoritas) | |||||||||||||||||
Kelompok etnik terkait | |||||||||||||||||
Lampung, Besemah, Melayu Palembang |
Asal-usul
Nenek moyang dari masyarakat suku Ogan diperkirakan berasal dari masyarakat yang menghuni Gunung Dempo, yang terletak di dataran tinggi Basemah. Berdasarkan peneemuan arkeologis, telah ada masyarakat yang hidup di sekitar dataran tinggi Basemah, yang diperkirakan telah ada sejak 4.500 tahun yang lalu (2.500 SM). Mereka yang berasal dari dataran tinggi Basemah akhirnya mulai turun ke bawah untuk kemudian menyelusuri Sungai Ogan, dengan tujuan mencari lahan pemukiman yang baru. Keberadaan mereka di pinggiran Sungai Ogan, pada akhirnya berinteraksi dengan masyarakat yang telah ada sebelumnya, untuk kemudian membentuk satu kebudayaan tersendiri. Pemukiman masyarakat di sekitar sepanjang Sungai Ogan sendiri sebenarnya sudah ada sebelum kedatangan nenek moyang dari suku Ogan. Temuan arkeologis di Gua Harimau, salah satu peninggalan zaman purba di wilayah Sumatra Selatan, menunjukkan bahwa peradaban disekitar Sungai Ogan sudah berumur puluhan ribu tahun, bahkan diperkirakan telah ada sejak masa zaman es. Penghuni gua-gua purba ini, awalnya merupakan komunitas Ras Australomelanesid. Lalu setelah kedatangan Ras Mongoloid, kedua ras ini menyatu dalam satu kelompok masyarakat yang baru.[3]
Sumber lain mengatakan bahwa nenek moyang dari suku Ogan diduga ada yang berasal dari dataran tinggi di Tengkuk gunung pesagi Lampung jika di perhatikan dari sejarah kerajaan sekala brak keturunan sekala brak adalah penggagas berdirinya Sriwijaya dan kerajaan sekala brak tidak pernah dikalahkan oleh sriwijaya karena sriwijaya asal mula dari sriwijaya hal tersebuat ada benarnya, Palembang dan Demak dan Jipang Jawa, diantaranya yang tercatat adalah:
- Keluarga Sanghyang Sakti Nyata; Berdasarkan catatan dari masyarakat Lampung Pesisir Way Lima, diceritakan beliau memiliki 7 orang anak, yang kemudian menjadi leluhur bagi Suku Ogan, Rejang, Semende, Pasemah, Komering dan Lampung.
- Pengikut Penguasa Palembang yang pernah hijrah ke Ogan Ilir, antara lain:
- Pangeran Sido ing Rajek di Desa Saka Tiga (Inderalaya) tahun 1659
- Sultan Mahmud Badaruddin (II) Pangeran Ratu di Desa Tanjung Lubuk tahun 1821
- Sultan Ahmad Najamuddin (IV) Prabu Anom di Hulu Sungai Ogan tahun 1824-1825.
- Kudeta Pajang atas Demak Jipang pada th 1554 M yang menewaskan Sultan Demak terakhir Arya Penangsang telah membuat Keluarga Bangsawan yang selamat eksodus ke Palembang dibawah pimpinan Pangeran Arya Mataram/ Arya Belanga, selanjutnya mereka bermukim di daerah pinggiran sungai Ogan bernama Lubuk rukam yang sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Peninjauan.
Pembagian
Berdasarkan hunian masyarakat sepanjang sungai Ogan, suku Ogan dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu suku Ogan Iliran dan Ogan Uluan.
Suku Ogan Iliran
Suku Ogan ini menghuni wilayah sepanjang aliran sungai Ogan bagian hilir. Terdapat dua sub-suku dalam suku Ogan Iliran yaitu:
- Suku Pegagan: Masyarakat suku ini banyak mendiami daerah Marga Pegagan Ilir Suku I, Marga Pegagan Ilir Suku II, dan Marga Pegagan Ilir Suku III. Suku Pegagan juga terbagi menjadi dua sub-suku lagi yaitu Pegagan Ulu dan Pegagan Ilir.
- Suku Penesak: Masyarakat suku ini tersebar di Kecamatan Tanjung Batu dan Padaraman serta sebagian Kecamatan Lubuk Keliat.
Suku Ogan Uluan
Suku Ogan ini menghuni wilayah sepanjang aliran sungai Ogan bagian hulu hingga aliran tengah. Terdapat dua sub-suku dalam suku Ogan Uluan yaitu:
- Suku Rambang Senulingku: Suku ini banyak berdiam di Marga Muara Kuang, Marga Lubuk Keliat, Marga Rantau Alai, Marga Rambang Suku IV, Marga Tembangan Kelekar, Marga Lubai Suku I, Marga Parit, Marga Lembak, Marga Gelumbang,dan Marga Ketamulia.
- Suku Ogan Hulu: Suku ini mendiami daerah Kecamatan Ulu Ogan, Pengandonan, Baturaja, Lubuk Batang dan Kedaton (Kabupaten Ogan Komering Ulu) serta Muara Kuang (Kabupaten Ogan Ilir).
Selain suku-suku di atas, masih banyak lagi suku-suku yang merupakan keturunan dari suku Ogan yang ada hingga saat ini. Sebagian besar mata pencaharian mereka adalah bertani, karenanya hasil pertanian adalah makanan pokok utama bagi mereka.[4]
Budaya
Mayoritas masyarakat suku Ogan adalah pemeluk agama Islam, meskipun terdapat juga sebagian kecil penduduk yang memeluk agama Kristen Katolik.Masyarakat suku Ogan yang Muslim adalah pemeluk Islam yang taat. Sehingga hampir seluruh budaya dan adat-istiadat mereka dipengaruhi oleh budaya Islam dan Melayu. Hal ini terlihat dari beberapa tradisi yang telah mereka miliki sejak lama.
Pernikahan
Pada dasarnya terdapat 3 ketentuan adat mengenai Pernikahan dalam masyarakat Suku Ogan yaitu Belaki Bebini, Kambik Anak, dan Senak Anak[5]. Belaki atau Bebini merupakan konsep patrilineal Suku Ogan ketika sang istri setelah pernikahan (payuan) akan tinggal bersama dengan keluarga suami, biasanya sang suami harus menyediakan daigadaian/uang jujur. Kambik Anak adalah konsep matrilineal Suku Ogan ketika sang suami setelah menikah akan tinggal bersama keluarga istri, biasanya Kambik Anak disebabkan karena sang suami tidak berkecukupan atau bisa karena sang istri merupakan tulang punggung penting dan lebih berpengaruh. Dan Senak Anak merupakan konsep bilateral antar dua keluarga suami dan istri di mana mereka membina rumah tangga sendiri dan meneruskan keturunan kepada anaknya yang akan mewarisi darah kedua jurai.
Tercatat ada beberapa tradisi unik dari setiap masyarakat suku Ogan di wilayah manapun mengenai pernikahan. Beberapa diantaranya seperti Hajat Batin, Ngukus, Pengadangan, Ningkuk, dan lain-lain.
Hajat Batin dan Ngukus merupakan perayaan yang dilakukan oleh masyarakat jelang pernikahan. Hajat Batin adalah acara bagi laki-laki dalam suatu kampung yang utamanya bapak-bapak untuk melakukan kegiatan penunjang jelang upacara pernikahan. kegiatan yang dilakukan adalah bahu membahu mendirikan tenda dilokasi acara. Ada dua jenis tenda yang mereka dirikan. Tenda pertama adalah tenda utama untuk gelaran resepsi atau sedekah. Tenda kedua adalah tenda yang kelak akan dipakai oleh para rebai (hebai/ibu ibu) dalam aktivitas Ngukus. Ngukus sendiri adalah acara bagi perempuan, utamanya bagi ibu-ibu, untuk menyiapkan bahan makanan untuk keluarga besan dan para tetamu yang kelak hadir dalam acara sedekah atau resepsi. Hingga saat ini tradisi ini masih sering ditemukan di beberapa wilayah kediaman suku Ogan, yang tujuannya adalah menjalin erat silaturrahmi sesama warga masyarakat.
Pengadangan adalah perayaan unik menjelang akad nikah dilangsungkan, yang cara melakukannya adalah dengan berusaha menghalang-halangi pengantin pria dengan menggunakan sebuah selendang panjang. Agar bisa melewati selendang tersebut, mempelai pria beserta rombongannya harus memenuhi apa saja permintaan dari mempelai wanita. Selain sebagi bentuk penghormatan, pengadangan juga dilaksanakan untuk mempererat silaturahmi antar dua keluarga yang akan disatukan dalam suatu pernikahan. Dalam prosesi pengadangan, pihak mempelai pria akan diiringi dengan tetabuhan rebana, dan tidak lupa membawa berbagai barang seserahan yang diinginkan oleh mempelai wanita. Pada saat pengadangan dibutuhkan seorang juru bicara yang berasal dari pemangku adat yang bertugas untuk meyakinkan pihak mempelai wanita. Setelah persetujuan disepakati kedua belah pihak, kemudian dilanjutkan dengan prosesi akad nikah. Setelah akad nikah diucapkan, dan kedua mempelai telah sah secara adat dan hukum negara, pesta pernikahan kemudian dimeriahkan dengan tarian penghibur pengantin.[6][7]
Sementara Ningkuk adalah perayaan menjelang akad pernikahan lainnya, yang merupakan salah satu kebudayaan yang masih ada khususnya di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu. Berbeda dengan Pengadangan, yang mengikuti dan melaksanakan acara Ningkuk adalah pemuda dan pemudi yang merupakan sahabat atau kerabat dari kedua mempelai pengantin. Perbedaan lainnya adalah saat datang ke acara Ningkuk, pemuda harus menjemput dan meminta izin pada orang tua pemudi yang diajaknya ke acara Ningkuk. Setelah acara selesai, pemuda itu harus mengantarkan pulang kembali pemudi yang diajaknya ke acara Ningkuk tadi. Pelaksanaan tradisi Ningkuk biasanya dimulai setelah acara resepsi pernikahan dilaksanakan. Tradisi ini awalnya dilakukan dengan dikumpulkannya pemuda dan pemudi yang memiliki hubungan dekat (dalam hal ini teman atau sahabat, bisa juga kerabat) dengan kedua mempelai. Setelah itu mereka dibagi menjadi dua kelompok yang terdiri atas kelompok pemuda dan kelompok pemudi. Dalam pelaksanaannya, tradisi ini melibatkan kedua mempelai yang berperan sebagai raja dan ratu serta seorang moderator yang menjadi pemandu acara yang menjelaskan aturan Ningkuk tersebut sebelum dimulai. Dalam pelaksanaannya, tiap kelompok pemuda dan pemudi akan diberikan sarung, yang nantinya akan diberikan secara bergantian antar kelompok. Pada saat prosesi tukar menukar sarung, sebagai penentu atau acuan waktu akan diputar sejumlah lagu, yang jumlahnya bisa satu atau lebih. Ketika kemudian lagu dimatikan, maka pemuda dan pemudi yang memperoleh sarung paling akhir akan diberikan hukuman oleh kedua mempelai. Hukuman tersebut dapat berupa menyanyi, berjoget, pantun, puisi, dan sebagainya. Pada saat acara akan memasuki bagian akhir, pemuda diperbolehkan untuk menyatakan perasaannya pada pemudi idamannya yang hadir pada ritual tersebut. Jika tidak dapat menyampaikannya secara langsung, pemuda tersebut dapat juga melakukannya dengan memberikan surat yang nantinya akan disampaikan oleh moderator.[8]
Sastra Lisan
Masyarakat Ogan memiliki sastra tutur lisan yang sangat kaya, terdapat 3 (tiga) sastra utama asli Suku Ogan antara lain Jelihiman, Rendai dan Jang-Panjang[9]. Jelihiman merupakan sastra tutur lisan berupa syair yang menceritakan epos-epos, legenda dan kisah-kisah orang-orang hebat di masa lampau, kesenian ini sudah punah di Ogan walau begitu sudah tercatat untuk keperluan penelitian linguistik. Rendai merupakan sastra lisan menyerupai pantun bernada, ciri khas dari Rendai dapat ditemukan pada kalimat pembuka yang berbunyi "Endeng Endeng". Kesenian Rendai kini lebih umum ditemukan pada acara pernikahan Suku Ogan yang berada di wilayah Semidang Aji, Baturaja sampai ke Lubuk Batang di Ogan Komering Ulu. Jang-Panjang merupakan sastra tutur berupa syair yang dilantunkan panjang-panjang, biasanya Jang-Panjang dilakukan ketika sedang berkebun untuk melepaskan rasa bosan dan jenuh.
Selain tiga sastra lisan di atas, terdapat juga Ungguk-Ungguk atau pantun 4 baris dan Andai-Andai yang berupa dongeng dan kisah legenda yang memiliki makna sejarah dan moral yang dalam.
Ngibing
Dalam budaya Suku Ogan, terdapat sebuah tradisi tua yang sangat unik dan melekat pada identitas Suku Ogan, yaitu Ngibing[10]. Ngibing atau Nyambai/ Timpungan/Tari Undan adalah kesenian tari kelompok yang bertujuan untuk menyambut tamu kehormatan dan pelengkap acara pernikahan (payuan) serta Ningkukan. Jumlah para penari Ngibing tidak terbatas dan dapat diikuti oleh semua orang. Pada tari Ngibing para perempuan baik gadis maupun khebai menari dengan gerakan yang gemulai dan konstan sementara para laki-laki baik bujang maupun batin ikut menari dengan mengibaskan selendang atau undan. Durasi tarian tidak memiliki ketentuan dan disesuaikan dengan kondisi acara, tarian ini ditutup dengan pengalungan selendang atau undan dari pihak laki-laki ke perempuan atau kepada tokoh penting ketika acara penyambutan.
Pada pelaksanaan Ngibing, biasanya tari ini diiringi dengan lagu atau tembang Sarawak yang mengandung rasa suka cita, nasihat dan juga petatah petitih. Perlengkapan instrumen musik yang digunakan antara lain burdah raksasa (gendang khas Suku Ogan), terbangan (rebana), piane (akordion), bendi (gong besar) dan tawak-tawak (gong kecil). Pakaian yang dipakai para penari Ngibing tidak terlalu kaku, sekurangnya para perempuan memakai songket atau sampang, memakai kuku tanggai dan sunting khas Ogan, sementara para laki-laki memakai kepiah (songkok) atau tanjak dan tidak lupa memakai undan.
Kesenian Ngibing ini sangat umum ditemukan dalam semua acara adat Suku Ogan walaupun kini mulai terbatas dan lebih dipentaskan pada acara penyambutan dan pernikahan di Kecamatan Ulu Ogan, Pengandonan dan Muara Jaya di Ogan Komering Ulu.
Lain-lain
Selain pernikahan, aspek lain dari budaya suku Ogan adalah sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, sistem peralatan dan perlengkapan, sistem kemasyarakatan, sistem ekonomi, bahasa, dan kesenian. Dari bidang seni, terdapat beberapa seni tari asli yang berasal suku Ogan, yaitu Tari Ngibing atau Tari Undan dan Rudat Ogan[11].
Lihat pula
Referensi
- ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175.
- ^ "Ogan (suku)". kbbi.kemdikbud.go.id. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 17 Juni 2021.
Ogan merupakan suku bangsa yang mendiami daerah Sumatra Selatan
- ^ Suara Wajar FM: Suku Ogan. 2 Februari 2016. Diakses 6 Maret 2019.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaEtnikom
- ^ "POLA PERKAWINAN ADAT PADA MASYARAKAT OGAN DI DESA SINGAPURA KECAMATAN SEMIDANG AJI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN". 123dok.com. Diakses tanggal 2022-02-14.
- ^ Indonesia Kaya: Pengadangan, Tradisi Pernikahan Adat Suku Ogan. Diakses 3 Maret 2019.
- ^ Majalah Teras: Tradisi Pernikahan Adat Suku Ogan. 14 September 2017. Diakses 4 Maret 2019.
- ^ Budaya Indonesia: Tradisi Ningkuk. 5 Agustus 2018. Diakses 4 Maret 2019.
- ^ Izzah (Rabu, 10 Juni 2009). "IZZAH UNSRI: SASTRA TUTUR SUMATERA SELATAN: MEDIA INOVATIF PEMBELAJARAN MULTIBAHASA". IZZAH UNSRI. Diakses tanggal 2022-02-14.
- ^ "Tari Ngibing Asal OKU Ditampilkan Pada Acara Taman Mini Menari". Lahat Online. Diakses tanggal 2022-02-20.
- ^ "Planet Agape: Orang Ogan Katolik di Batu Putih Sumatra Selatan". Planet Agape. Diakses tanggal 2022-02-14.