Margonda
Margonda (lahir di Desa Sukamaju, Jawa Barat, 11 Febuari 1916, meninggal dalam pertempuran ketika pasukannya menyerang tentara Inggris di Kali Bata pada 16 November 1945) adalah salah seorang pejuang kemerdekaan. Namanya diabadikan sebagai nama jalan utama di Kota Depok.[1]
Margonda | |
---|---|
Lahir | Sukamaju, Kec. Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat,11 Febuari 1916 |
Meninggal | 16 November 1945 Kota Depok |
Dikenal atas | Pejuang Kemerdekaan Indonesia |
Suami/istri | Maemunah |
Anak | Jopiatini |
Riwayat hidup
Margonda lahir dan besar di Bogor, pada usia 2 tahun ia dan keluarganya pindah dari Jonggol, dan tinggal di Jalan Ardio Bogor (Sekarang Bogor Tengah). Waktu masih sekolah, Margonda terkenal sebagai atlet berprestasi. Nama aslinya adalah Margana. Dia menikah dengan Maemunah, keponakan M. S. Mintaredja yang pernah menjadi menteri Sosial dalam kabinet Presiden Suharto sekaligus ketua umum Partai Persatuan Pembangunan.
Margonda adalah nama seorang pemuda yang belajar sebagai analis kimia dari Balai Penyelidikan Kimia Bogor. Lembaga ini dulunya bernama Analysten Cursus (Sekarang SMK - SMAK Bogor). Didirikan sejak permulaan perang dunia pertama oleh Indonesiche Chemische Vereniging, milik Belanda.
Memasuki paruh pertama tahun 1940-an, Margonda mengikuti pelatihan penerbang cadangan di Luchtvaart Afdeeling, atau Departemen Penerbangan Belanda. Namun tidak berlangsung lama, karena 5 Maret 1942 Belanda menyerah kalah, dan bumi Nusantara beralih kekuasaannya ke Jepang.[2]
Gedoran Depok
Peristiwa terjadinya Gedoran Depok tak lepas dari sejarah awal berdirinya Depok oleh Cornelis Chastelein saudagar VOC generasi awal yang memerdekakan orang Depok. Sejak itulah Cornelis Chastelein menjadi tuan tanah, yang kemudian menjadikan Depok memiliki pemerintahan sendiri, lepas dari pengaruh dan campur tangan dari luar.[3]
Cornelis Chastelein mewariskan seluruh tanahnya kepada 12 marga budaknya yang berasal dari berbagai suku Indonesia dan memerdekakan mereka dalam wasiat yang dibuatnya sebelum meninggal. Meski bermuka pribumi dan berkulit coklat, 12 marga dan keturunan mereka bergaya hidup seperti orang Eropa, buah didikan sang tuan. Mereka inilah yang disebut sebagai 'Belanda Depok'. Sehari-hari mereka menggunakan Bahasa Belanda.
Sejarah juga menyebut, Depok sudah lebih dulu merdeka sejak 28 Juni 1714. Mereka punya tatanan pemerintahan sendiri yakni Gemeente Bestuur Depok yang bercorak republik.
Pimpinannya seorang presiden yang dipilih tiga tahun sekali melalui Pemilu. Pemerintah Belanda di Batavia menyetujui Pemerintahan Chastelin ini dan menjadikannya sebagai Kepala Negara Depok yang pertama.
Tak ayal jika mereka enggan bergabung dengan republik baru bernama Indonesia. Mengingat mereka sudah merdeka dan sudah punya presiden sebelum proklamasi 17 Agustus 1945 yang dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta.[4]
Karena Depok tidak mengakui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, akibatnya wilayah yang berjarak hanya beberapa kilometer dari Jakarta diserbu para pejuang kemerdekaan. Depok dikepung dari seluruh penjuru mata angin. Depok dijarah takluk di bawah todongan senjata, orang Depok dipaksa mengibarkan Bendera Merah Putih dan teriak Merdeka!! Siapapun yang membangkang kena hantam, tak sedikit korban berjatuhan.[5]
Huru-hara yang meletus pada tanggal 11 Oktober 1945 itu dikenal dengan Peristiwa Gedoran Depok untuk merebut Depok dari penjajah oleh para pejuang kemerdekaan. Namun tak berlangsung lama, NICA kembali menguasai Depok. Pasukan NICA yang datang membonceng sekutu menyerbu Depok untuk ‘membebaskan’ orang Depok yang ditawan TKR. Pejuang berhasil dipukul mundur. Tawanan wanita dan anak-anak Depok dibebaskan, dibawa ke kampung pengungsian di Kedunghalang, Bogor.[6]
Semenjak itu, kantor Gemeente Bestuur yang tadinya dijadikan markas TKR berubah menjadi markas NICA. Memasuki bulan November, para pejuang yang tercerai-berai kembali menjalin koordinasi dan menyusun kekuatan. Mereka berencana merebut kembali Depok dari tangan NICA. Para pejuang bersepakat menyerbu Depok tanggal 16 November 1945. Sandi perangnya saat itu serangan kilat.[7]
Pada saat itulah Margonda berencana kembali merebut Depok bersama para pejuang lain. Diantara ratusan pejuang yang gugur hari itu, terdapat Margonda, pimpinan AMRI. Margonda gugur 16 November 1945 di Kali Bata Depok. Daerah bersungai di kawasan Pancoran Mas dan bermuara di Kali Ciliwung itu menjadi saksi gugurnya Margonda.
Peristiwa Gedoran Depok ini sering disebut sebagai revolusi sosial di pinggiran Jakarta. Melalui peristiwa inilah lahir tokoh-tokoh, seperti Margonda, Tole Iskandar dan Mochtar. Nama pejuang itu kini diabadikan sebagai nama jalan utama di Kota Depok.[8]
Lihat pula
Referensi
- ^ Margonda Pahlawan Kota Depok Diarsipkan 2014-05-20 di Wayback Machine. depokgo.com,18 Desember 2013
- ^ Kisah Margonda dan Tole Iskandar republika.co.id,Diakses 15 April 2013
- ^ Hari Ini 67 Tahun Lalu: Gedoran Depok Diarsipkan 2014-05-21 di Wayback Machine. beritagar.com, Diakses 11 oktober 2012
- ^ Tentang.Revolusi.Sosial Gedoran Depokl megapolitan.kompas.com, Diakses 8 Nopember 2011
- ^ Peristiwa Gedoran Depok Diarsipkan 2014-05-20 di Wayback Machine. sikumbangtenabang.com,Diakses 25 Februari 2014
- ^ Gedoran Depok: Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955 Diarsipkan 2014-05-20 di Wayback Machine. inibuku.com
- ^ Cerita Sebuah Gerbang Kota Bernama Margonda Diarsipkan 2014-04-27 di Wayback Machine. tokoh-lingkarberita.com
- ^ Sejarah Jalan Margonda Diarsipkan 2014-05-21 di Wayback Machine. roniwijaya.com,Diakses 31 Maret 2012