Budaya olahraga merupakan nilai-nilai positif yang tecermin dari seseorang sebagai individu, anggota kelompok sosial, maupun anggota masyarakat secara umum dalam konteks olahraga. Elemen-elemen kebudayaan seperti ide, simbol, serta norma merupakan landasan yang mesti diterapkan dalam ranah olahraga yang pada akhirnya akan membentuk karakter dan sikap.[1]

Pembentukan karakter

Ada banyak nilai-nilai positif yang didapatkan dari olahraga seperti kerja keras, sanggup bersaing, haus akan prestasi, dan hal ini diharapkan akan terbawa dalam kehidupan nyata untuk membentuk karakter. Namun demikian, tetap harus hati-hati agar nilai positif tersebut tidak berubah menjadi negatif. Misalnya, keinginan kuat untuk bersaing menyebabkan seseorang menjadi menghalalkan segala cara.[2]

Berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional bahwa upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui kegiatan olahraga adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia, baik secara jasmaniah; rohaniah; serta sosial untuk menciptakan masyarakat yang maju; adil; makmur; sejahtera; serta demokratis sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan olahraga dapat dicapai dengan menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh agar produktivitas sumberdaya manusia  meningkat. Selain itu, ada banyak nilai-nilai positif yang didapatkan dari kegiatan olahraga dalam rangka membangun jatidiri serta memperkuat karakter bangsa Indonesia seperti sikap sportif; dinamis; disiplin; serta sanggup untuk kerja keras. Prestasi olahraga yang diraih di tingkat internasional dapat mengangkat harkat, martabat, serta derajat bangsa Indonesia di mata dunia; serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.[3]

Homo Ludens

Pengembangan moral serta keterampilan sosial pada masa kecil merupakan titik sentral yang sangat mempengaruhi karakter di masa dewasa, dan itu bisa dilakukan salah satunya melalui kegiatan bermain yang melibatkan aktivitas fisik. Melalui kegiatan tersebut, anak-anak belajar untuk berinteraksi secara sosial tanpa membeda-bedakan temannya. Selain itu, keterlibatan anak-anak dalam kegiatan olahraga membantu meningkatkan rasa percaya diri, di mana bakat dan potensi anak-anak tidak bisa diabaikan begitu saja. Di sisi lain, ketika mereka kurang berprestasi dalam olahraga, orangtua beserta pelatih olahraga mesti memberi saran yang baik, bukan kritik yang menjatuhkan serta harus selalu ditanamkan bahwa kekalahan bukan berarti kegagalan.[4]

Untuk mencoba memahami bahwa olahraga merupakan salah satu bentuk permainan, beberapa filsuf membaca buku yang berjudul Homo Ludens (manusia adalah makhluk yang senang bermain) karya Johan Huizinga yang diterbitkan pada tahun 1944. Huizinga mengemukakan pendapatnya bahwa bermain merupakan kegiatan yang bersifat sukarela serta terbatas pada ruang dan waktu tertentu; tidak berpatokan pada aturan baku namun tetap mengikat; bertujuan untuk memacu semangat dengan merasa senang serta berdebar-debar pada saat bermain, serta menyadari bahwa itu semua berbeda dengan kehidupan nyata.[5]

Perbedaan antara kegiatan bermain dan kehidupan nyata mencerminkan apa yang diamati seperti yang diungkapkan oleh Plato dan Aristoteles yang menganggap bahwa melakukan sesuatu untuk kepuasan pribadi jauh lebih penting daripada untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan dari dunia secara luas. Ide ini bukanlah hal yang baru karena nenek moyang orang Yunani yang bernama Prometheus menyatakan bahwa kegiatan bermain merupakan salah satu pembeda antara manusia dengan hewan yang mana hewan hanya sekadar hidup, sementara manusia menciptakan hal-hal yang indah seperti puisi, musik, tarian, dan juga kegiatan bermain tersebut.[6]

Perkembangan budaya olahraga

Kita tidak hidup dalam dunia yang pasif dan statis, melainkan kita berada pada dunia yang mengalami perubahan, bahkan perubahan tersebut semakin hari semakin dinamis.[7]

Olahraga semakin berkembang, dari fitrahnya manusia sebagai makhluk yang suka bermain (Homo Ludens), kemudian berkembang seiring dengan perkembangan aspek kehidupan lainnya. Sekarang olahraga menjadi suatu peradaban yang menjadi bagian dari peradaban dunia.[8]

Olahraga di masa kini tentu berbeda dengan olahraga di masa lalu yang hanya dianggap sebagai kegiatan hiburan yang dianggap sebagai sebuah tradisi.[9]

Karakteristik dari permainan tradisional adalah : aturan main cukup sederhana serta peraturannya bersifat tidak tertulis, disahkan oleh tradisi; pola permainan cenderung berubah dari waktu ke waktu; tidak ada batasan lama permainan serta jumlah orang yang bermain. Sementara itu, karakteristik dari olahraga modern adalah : peraturan olahraga bersifat formal serta tertulis, disahkan melalui birokratisasi; peraturan dapat saja berubah asalkan melalui prosedur birokrasi yang berlaku; adanya standardisasi baik secara nasional maupun internasional mengenai peraturan, ukuran bola, dan sebagainya; bertanding sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, dan jumlah pemain tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang berdasarkan aturan yang berlaku; menjunjung tinggi nilai kesetaraan serta bermain adil.[10]

Perkembangan awal dari olahraga modern ditandai dengan dua hal. Pertama, pada abad kedelapan belas di Eropa yang dikuasai oleh kaum bangsawan. Kedua, pada abad kesembilanbelas yang dikuasai oleh kaum borjuis serta tuan tanah. Di abad kedelapan belas dan abad kesembilan belas, masyarakat Eropa menganggap bahwa kegiatan olahraga memang melibatkan aktivitas fisik, namun tidak boleh sampai mencederai lawan apalagi sampai terjadi pertumpahan darah. Di negara Spanyol, perlombaan matador sudah tidak dianggap sebagai kegiatan olahraga.[11]

Karakteristik festival olahraga Yunani—seperti halnya kejuaraan Olimpiade—berbeda dengan tujuh sifat utama dari olahraga modern seperti sekularisme, kesetaraan, spesialisasi, birokratisasi, penjumlahan, serta perekaman acara olahraga.[12]

Di sisi lain, ada pula persamaan antara olahraga era Yunani dengan olahraga modern yaitu kegiatan olahraga bukan sebatas dilakukan, namun juga dipikirkan sebagai suatu ide yang akan didiskusikan lebih lanjut. Olahraga menjunjung tinggi nilai-nilai yang tidak dapat direduksi. Persamaan antara olahraga era Yunani dengan olahraga modern terbukti dengan diadakannya acara Olimpiade yang masih terus diselenggarakan hingga saat ini. Sejak jaman dahulu kala, orang-orang Yunani senang dengan kegiatan yang berbasis pemikiran serta pengembangan budaya; lalu di abad kedelapan belas hingga abad kesembilan belas, orang-orang Eropa banyak dipengaruhi oleh romantisisme dan mengagumi tokok-tokoh intelektual seperti Johann Wolfgang von Goethe, Friedrich Schlegel, dan Friedrich Nietzsche.[13]

Referensi

  1. ^ Barinov, S. Yu. "Sport Education and Sport Culture" (PDF). Sport Science and Physical Education. III: 5. 
  2. ^ Caplan, Karin Volkwein (2004). Culture Sport and Physical Activity. Meyer & Meyer Sport. hlm. 36. ISBN 978-1-84126-147-8. 
  3. ^ Nugroho, Sigit (2019). Industri Olahraga. Yogyakarta: UNY Press. hlm. 21. ISBN 978-602-498-056-6. 
  4. ^ Caplan, Karin Volkwein (2004). Culture, Sport, and Physical Activity. Meyer and Meyer Sport. hlm. 96–97. ISBN 978-1-84126-147-8. 
  5. ^ L Reid, Heather (2012). Introduction to the Philosophy of Sport. Rowman & Littlefield Publishers, Inc. hlm. 33. ISBN 978-0-7425-7062-7. 
  6. ^ L Reid, Heather (2012). Introduction to the Philosophy of Sport. Rowman & Littlefield Publishers, Inc. hlm. 37. ISBN 978-0-7425-7060-3. 
  7. ^ Yanuar Kiram, Phil H (2019). Menelusuri Dan Menguak Nilai nilai Luhur Olahraga. Jakarta: Kencana. hlm. 1. ISBN 978-602-422-874-3. 
  8. ^ Yanuar Kiram, Phil H (2019). Menelusuri Dan Menguak Nilai nilai Luhur Olahraga. Jakarta: Kencana. hlm. 3. ISBN 978-602-422-874-3. 
  9. ^ Horne, John (2013). Understanding Sport (PDF). New York: Routledge Taylor & Francis Group. hlm. 1. ISBN 978-0-203-80713-2. 
  10. ^ Horne, John (2013). Understanding Sport (PDF). New York: Routledge Taylor and Francis Group. hlm. 6–7. ISBN 978-0-203-80713-2. 
  11. ^ Dunning, Eric (1999). Sport Matters (PDF). London: Routledge Taylor and Francis Group. hlm. 53. ISBN 0-203-02529-6. 
  12. ^ Schirato, Tony (2007). Understanding Sports Culture. SAGE Publications. hlm. 24. ISBN 978-1-4129-0738-5. 
  13. ^ Schirato, Tony (2007). Understanding Sports Culture. SAGE Publications. hlm. 27–28. ISBN 978-1-4129-0738-5.