Najis

istilah najis dalam Islam
Revisi sejak 2 Maret 2022 01.33 oleh Yahra Trisma (bicara | kontrib) (menambahkan isi teks dan menyertakan referensi)

Najis adalah kotor yang menjadi sebab terhalangnya seseorang untuk beribadah kepada Allah. Najis juga dapat berarti jijik atau kotoran.[1]

Najis dalam Islam

Pengertian najis menurut bahasa Arab, najis bermakna al qadzarah ( القذارة ) yang artinya adalah kotoran. Sedangkan definisi menurut istilah agama (syar'i), diantaranya:

  • Ulama Syafi'iyah mendefinisikan najis:

Secara literal bermakna segala sesuatu yang kotor.

Sedangkan najis menurut ulama ahli fiqih adalah sesuatu yang kotor yang dapat mecegah keabsahan sholat. (Riyadhul Badi’ah, hal : 26 cetakan : dar ihyail kutub al’arabiyah).[2]

“Sifat hukum suatu benda yang mengharuskan seseorang tercegah dari kebolehan melakukan salat bila terkena atau berada di dalamnya.”

Macam-macam

Najis mukhaffafah

Najis mukhaffafah adalah jenis najis yang tingkat kekotorannya paling ringan. Bentuknya ialah air kencing dari anak laki-laki atau anak perempuan yang masih menyusui kepada ibunya dan belum berusia dua tahun. Naji mukhaffafah dari anak laki-laki dibersihkan menggunan percikan air mutlak pada bagian tubuh yang terkena najis. Sedangkan najis mukhaffafah yang berasal dari anak perempuan harus dicuci dengan air mutlak.[3]

Najis mutawassitah

Najis mutawassitah adalah jenis najis yang tingkat kekotorannya tergolong sedang. Beberapa bentuk najis mutawassitah ialah tinja dari manusia dan hewan. Jenis lainnya ialah nanah, darah dan bangkai.[3] Cara membersihkannya dengan mengguyurnya dengan air sampai bersih, menggosoknya dengan tanah atau benda lain, atau dengan cara yang lainnya. Contohnya, segala sesuatu yang keluar dari lubang depan dan lubang belakang manusia/hewan (kecuali air mani manusia), muntahan, darah, bangkai (kecuali bangkai manusia, belalang, dan ikan), dan minuman keras yang cair.[4]

Najis mugallazah

Najis mugallazah adalah najis yang cara membersihkannya dengan mencucinya sebanyak tujuh kali dan di antaranya satu kali menggunakan air yang bercampur tanah. Contohnya: air liur anjing dan babi.[4]

Penghilangan

Semua mazhab, kecuali Mazhab Hanafi menyepakati bahwa najis tidak dapat dihilangkan menggunakan api atau sinar matahari. Mazhab Hanafi mengemukakan bahwa kulit bangkai dapat tidak dianggap najis ketika telah kering oleh sinar matahari. Hilangnya najis ini berlaku meskipun kulit tersebut melalui penyamakan. Pendapat ini juga diberlakukan oleh Mazhab Hanafi terhadap tanah yang terkena najis tetapi kering oleh sinar matahari. Tanah tersebut dapat digunakan sebagai tempat salat, tetapi tidak dapat digunakan untuk tayamum.[5]

Penajisan

Air

Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali dan Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa air yang dalam kondisi tenang dengan jumlah kurang dari dua kulah akan menjadi najis jika terkena benda najis. Kenajisan ini berlaku meskipun air tidak mengalami perubahan sifat. Sementara itu, beberapa pengikut Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki berpendapat bahwa air tersebut tetap suci selama tidak terjadi perubahan sifat.[5]

Kemudian, Mazhab Hambali dan Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa air tidak menjadi najis jika terkena dengan benda najis saat jumlahnya lebih dari dua kulah. Kondisi najis hanya berlaku pada air ini ketika terjadi perubahan sifat. Sedangkan Mazhab Maliki menetapkan kenajisan air berdasarkan ukuran wadah atau volume. Air dengan wadah berukuran lebih besar dari dua kulah tidak menjadi najis jika terkena benda najis. Hukumnya menjadi najis ketika warna, rasa dan baunya mengalami perubahan. Hukum ini berlaku dalam jumlah air yang sedikit ataupun banyak dengan ukuran wadah tersebut. Sementara Mazhab Hanafi berpendapat bahwa kenajisan air hanya terjadi ketika bercampur dengan benda najis dengan jumlah air yang sedikit. Pada kondisi air yang jumlahnya banyak, meskipun bercampur dengan benda najis, air tetap tidak najis. Ukuran banyaknya air dalam pendapat ini ialah banyak ketika air digerakkan dari satu tepi, tetapi tepi lain tidak bergerak.[6]

Menurut pendapat Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali dan Qaul Jadid dari Mazhab Syafi'i dinyatakan bahwa hukum kenajisan air yang mengalir sama dengan air yang tenang. Mazhab Maliki dan Qaul Qadim dari Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa air yang mengalir tidak menjadi najis jika terkena benda najis selama air tersebut tidak mengalami perubahan sifat dalam jumlah sedikit maupun banyak. Pendapat ini didukung oleh Al-Ghazali, Imam Nawawi, dan Imam Al-Haramain.[7]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ KBBI: najis
  2. ^ Redaksi (2019-02-25). "Fiqh Online : Pembagian Najis dan cara Mensucikannya". Muslimina.id. Diakses tanggal 2020-01-18. 
  3. ^ a b Hambali, Muhammad (2017). Rusdianto, ed. Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari: Dari Kandungan hingga Kematian. Yogyakarta: Laksana. hlm. 41. ISBN 978-602-407-185-1. 
  4. ^ a b Yufidia (2012-04-03). "Najis". Ensiklopedia Islam (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-27. 
  5. ^ a b ad-Dimasyqi 2017, hlm. 12.
  6. ^ ad-Dimasyqi 2017, hlm. 12-13.
  7. ^ ad-Dimasyqi 2017, hlm. 13.

Daftar pustaka

  • Ad-Dimasyqi, Muhammad bin 'Abdurrahman (2017). Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi. ISBN 978-602-97157-3-6.