Efek denominasi
Efek denominasi adalah bentuk bias kognitif yang berkaitan dengan mata uang. Efek denomisasi membuat orang untuk membelanjakan uang dengan nilai mata yang sama tetapi dalam denominasi yang lebih kecil dibanding denominasi yang besar atau dengan kata lain orang cenderung membelanjakan uang dengan pecahan yang lebih kecil.[1] Profesor di Sekolah Bisnis Stern Universitas New York, Priya Raghubir dan profesor di Universitas Maryland, Joydeep Srivastavadalam mengusulkan efek denomasi pada tahun 2009 di makalah berjudul "Denomination Effect".[2][3]
Psikologi |
---|
Dasar ilmu |
Terapan |
Daftar |
Portal Psikologi |
Srivastava dan melakukan Raghubir tiga penelitian mengenai efek denominasi. Mereka menemukan bahwa orang mungkin lebih cenderung membelanjakan uang dengan denominasi yang lebih kecil dan ketika ada kebutuhan untuk mengontrol pengeluaran, orang mungkin lebih suka menerima uang dengan denomisasi besar. Efek denominasi terjadi saat denomisasi kecil dianggap lebih dapat ditukar daripada denomisasi besar.
Efek denomisasi berpengaruh terhadap implikasi keputusan pengeluaran di masyarakat seperti kebijakan moneter, ekonomi kesejahteraan, dan jasa keuangan. Contoh dari efek denomisasi ini adalah seorang pengusaha mengamati karyawannya yang menggunakan lebih banyak uang koin daripada uang kertas di mesin penjual otomatis kantor dan menganggap pelanggan menggunakan uang koin agar merasa lebih hemat selama krisis ekonomi 2008. Srivastava dan Raghubir juga menyatakan efek denomisasi dapat mengubah perilaku masa depan dengan melibatkan insetisitas dan denomisasi besar dapat mencegah keinginan orang untuk berbelanja.
Eksperimen Raghubir dan Srivastava
Raghubir dan Srivastava melakukan tiga penelitian berbeda untuk eksperimen mereka. Eksperimen pertama mereka melibatkan 89 mahasiswa sarjana dari dua universitas Amerika Serikat. Para mahasiswa secara acak diberikan pecahan besar (satu dolar) atau pecahan kecil (four quarter) dan mereka dapat membelanjakan uangnya untuk membeli permen atau menyimpannya. Sebanyak 43 mahasiswa (48% kelompok belajar) diberikan pecahan kecil dan 46 mahasiswa (52% kelompok pelajar) diberikan pecahan besar. Dalam kedua kondisi tersebut, sebanyak 38 atau 39 (44%) peserta memilih untuk membeli persen. Lalu, 63% peserta dengan pecahan kecil membeli permen dan hanya 26% dari peserta dengan pecahan besar yang membelanjakan uangnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa cenderung untuk membelanjakan jika diberi pecahan uang yang lebih kecil.[3]
Studi kedua melibatkan 75 pelanggan SPBU dalam survey singkat mengenai penggunan gas. Ke-75 pelanggan diberikan lima koin satu dolar, satu dolar sebanyak lima lembar, dan satu lembar lima dolar. Pelanggan dengan uang satu lembar senilai lima dolar lebih mungkin untuk tidak membeli sesuatu dibanding pelanggan dengan uang satu dolar sebanyak lima lembar. Sedangkan, pelanggan dengan lima koin satu dolar memiliki kemungkinan pembelanjaan paling rendah, tetapi uang ini beredar relatif rendah dan beberapa uang ini disimpan sebagai cendera mata.[4]
Studi ketiga dilakukan untuk mengetahui apakah memang efeknya khusus untuk budaya Amerika saja atau tidak. Di Tiongkok, 150 ibu rumah tangga (IRT) diberi uang kertas senilai CNY 100 atau lima uang kertas dengan nilai yang sama (pada 2009, CNY 100 setara dengan kira-kira $14,63 USD atau €10,40 EUR[5]). Uang tunai CNY 100 mewakili pendapat bulanan para IRT dengan 28 dari 150 IRT (18,7%) memiliki pendapatan kurang dari CNY 300, 97 dari 150 IRT (65%) memiliki pendapatan bulanan antara CNY 301 hingga CNY 600, dan 25 IRT dari 150 IRT (16,7%) memiliki pendapatan bulanan lebih dari CNY 600. Anggota keluarga di dalam kedua kondisi tersebut rata-rata berjumlah 3,3 orang. Orang-orang yang membeli peralatan rumah tangga merasa kurang puas saat memiliki uang kertas dengan nilai pecahan yang besar. Sedangkan orang yang menghabiskan uang dengan nilai pecahan yang lebih kecil merasa lebih puas.[6]
Studi awal
Profesor pemasaran Arul Mishra, Himanshu Mishra, dan Dhananjay Nayakankuppam melakukan satu studi pada tahun 2006 yang mendokumentasikan fenomena konsumen yang memiliki uang dengan nilai pecahan besar mengeluarkan pengeluaran lebih sedikit. Namun, hal tersebut berbanding terbalik dengan konsumen yang memiliki nilai pecahan uang yang lebih kecil.[7] Dalam studi tersebut, disimpulkan bahwa kesulitan dalam transaksi membuat orang memberikan nilai yang lebih tinggi ketika uang dalam bentuk pecahan tunggal besar. Selain itu, studi tersebut menyimpulkan orang akan menilainya terlalu tinggi dan membuat orang tidak membelanjakannya jika dibandingkan dengan jumlah yang sama pada pecahan uang yang lebih kecil. Tidak seperti studi Arul Mishra dan rekannya yang mempelajari niat pembelian, Raghubis dan Srivastava meneliti keputusan pembelian yang sebenarnya.[8]
Referensi
- ^ Kane, Libby (September 9, 2016). "15 cognitive biases that could keep you from building wealth". Business Insider. Diakses tanggal 25 Januari 2017.
- ^ "Why We Spend Coins Faster Than Bills". NPR. 12 Mei 2009. Diakses tanggal 10 Maret 2022.
- ^ a b Raghubir, Priya; Srivastava, Joydeep; article., John Deighton served as editor and Brian Ratchford served as associate editor for this (2009). "The Denomination Effect". Journal of Consumer Research. 36 (4): 70. doi:10.1086/599222. ISSN 0093-5301.
- ^ Raghubir, Priya; Srivastava, Joydeep (2009-12-01). "The Denomination Effect". Journal of Consumer Research. 36 (4): 706. doi:10.1086/599222. ISSN 0093-5301.
- ^ "Dollar Yuan Exchange Rate - 35 Year Historical Chart". www.macrotrends.net. Diakses tanggal 2022-03-10.
- ^ Raghubir, Priya; Srivastava, Joydeep (2009-12-01). "The Denomination Effect". Journal of Consumer Research. 36 (4): 704–706. doi:10.1086/599222. ISSN 0093-5301.
- ^ Mishra, Arul; Mishra, Himanshu; Nayakankuppam, Dhananjay. "Money: a Bias For the Whole" (PDF). Advances in Consumer Research. 34: 166.
- ^ Raghubir, Priya; Srivastava, Joydeep (2009-12-01). "The Denomination Effect". Journal of Consumer Research. 36 (4): 701, 702, 704, 706. doi:10.1086/599222. ISSN 0093-5301.